Teman dan Kesehatan Mental, Studi Memberikan Temuan Menarik!



Apakah manusia bisa hidup sendiri? Kalau pertanyaannya seperti ini mungkin jawaban setiap orang akan berbeda beda. Tapi, pada dasarnya tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri, yang ada mungkin mampu mengandalkan diri sendiri. 

Kita paham bahwa manusia adalah mahkluk sosial, yang butuh berinteraksi dalam lingkungan sosial pula tentunya. 

Dari jutaan manusia yang ada di sekeliling kita setiap hari, pasti kita punya pilihan orang orang dengan siapa kita ingin menghabiskan waktu, bermain maupun bercerita. Sejumlah orang itu tidak lain adalah teman. 

Ternyata manfaat memiliki teman tidak hanya sebatas memenuhi aspek manusia sebagai mahkluk sosial, melainkan juga dapat memberi kontribusi bagi kesehatan dalam kajian ilmu psikologi Kesehatan. 

Penelitian studi jangka panjang (long term study) yang dilakukan oleh Almquist pada tahun 2012 dengan judul Childhood friendships and adult health: Findings from the Aberdeen children of the 1950s cohort study yang dimuat dalam The European Journal of Public Health mencoba menjelaskan hal tersebut. 

Penelitian ini melibatkan 5.814 anak sekolah Skotlandia sebagai partisipan kemudian peneliti menilai jumlah pertemanan dan menghubungkannya dengan penilaian kesehatan diri 36-39 tahun kemudian. 

Hasilnya menemukan bahwa pada partisipan dengan jenis kelamin perempuan, memiliki lebih banyak teman masa kecil berkorelasi dengan peringkat kesehatan dewasa yang lebih tinggi. Pada partisipan jenis kelamin laki-laki, mereka yang tidak mencantumkan teman pada saat survei awal melaporkan kualitas kesehatan dewasa yang lebih rendah. 

Studi skala besar lainnya juga dilakukan oleh Ehrlich, dkk pada tahun 2015 dengan judul Quality of relationships with parents and friends in adolescence predicts metabolic risk in young adulthood yang dimuat dalam jurnal Health Psychology. 

Peneliti melakukan riset terhadap 11.617 remaja yang melaporkan pengalaman mereka dengan teman dekat. Empat belas tahun kemudian, analisis HBA1C (glikohemoglobin, salah satu komponen darah atau kadar glukosa yang terkait dengan pemantauan  diabetes mellitus) menunjukkan bahwa untuk partisipan perempuan yang memiliki persahabatan dekat dengan laki-laki dikaitkan dengan penurunan kemungkinan peningkatan penanda risiko metabolik.

Studi terbaru dengan pendekatan neurosains yang dilakukan oleh Güroğlu, B tahun 2022 dengan judul The power of friendship: The developmental significance of friendships from a neuroscience perspective. 

Peneliti meninjau pencitraan otak tentang persahabatan dan menyoroti kontribusinya terhadap pemahaman manusia tentang bagaimana interaksi teman berhubungan dengan well-being atau kesejahteraan. 

Studi menunjukkan bahwa persahabatan melibatkan proses penghargaan dan motivasi (melibatkan striatum ventral dan korteks prefrontal ventromedial), dan proses mentalisasi diri dan terkait lainnya (melibatkan korteks prefrontal medial dan temporoparietal). Peneliti menyimpulkan dengan saran untuk penelitian tentang bagaimana pola saraf berhubungan dengan perbedaan individu dalam hasil psikososial dan kesehatan mental. 

Pada dasarnya pertemanan merupakan bagian dari social support yang mana mekanisme ini mampu meminimalisir efek stres yang menyerang setiap individu dalam kesehariannya, entah itu penat dalam hal pekerjaan, masalah asmara, dan masalah lainnya. 

Saling berbagi cerita, bernyanyi dan olahraga, seru-seruan dan healing bareng adalah hal sederhana yang dapat kita lakukan. Hal demikian mendorong kita untuk mempromosikan perilaku sehat. 

Walaupun dunia telah menyetel “people come and go”, paling tidak kita masih punya andil untuk bisa membiarkan orang orang datang dan tetap bertahan dalam hidup kita dengan melakukan komunikasi dalam bentuk apapun. Trying to find your circle, and if you already found it, keep them gaes!!!  


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel