Pengertian Teori Atribusi (Atribution Theory)
Kita terus mencoba memahami perilaku seseorang, mengamati hal-hal di sekitar kita, mencoba mempelajari dan menerka-nerka. Salah satu kajian menarik untuk menjawab hal tersebut dalam lingkup psikologi sosial adalah teori atribusi (Atribution Theory).
Pengertian Teori Atribusi
Secara sederhana, teori atribusi merupakan teori berusaha untuk menerangkan perihal perilaku yang ada pada seseorang. Melalui teori ini, kita akan mempelajari proses ketika seseorang menginterpretasikan peristiwa, alasan, atau sebab dari perilaku yang dilakukan.
Teori atribusi dikembangkan oleh Fritz Heider, pada tahun 1958 yang menjelaskan bahwa perilaku seseorang akan ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari diri seseorang, dan kekuatan eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri seseorang. Temuan dan teorinya kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Harold Kelley dan Bernard Weiner.
Teori ini menjelaskan situasi di sekitar yang menyebabkan perilaku seseorang dalam persepsi sosial disebut dengan dispositional attributions dan situasional attributions. Dispositional atributions merupakan penyebab internal yang mengacu pada aspek perilaku individual yang ada dalam diri seseorang, misalnya kepribadian, persepsi diri, kemampuan, dan motivasi. Sedangkan situasional attributions merupakan penyebab eksternal yang mengacu pada lingkungan sekitar yang dapat memengaruhi perilaku, misalnya kondisi sosial, nilai-nilai sosial, dan pandangan masyarakat.
Pada dasarnya teori atribusi menyatakan bahwa bila seseorang mengamati perilaku orang lain, mereka mencoba untuk menentukan apakah perilaku itu ditimbulkan secara internal atau eksternal. Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang diyakini berada dibawah kendali individu itu sendiri, sedangkan perilaku yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar, artinya individu akan terpaksa berperilaku karena situasi atau lingkungan.
3 Faktor Penentu
Penentuan faktor internal atau eksternal tergantung pada tiga faktor yaitu:
1. Kekhususan
Kekhususan artinya seseorang akan mempersepsikan perilaku individu lain secara berbeda-beda dalam situasi yang berlainan. Apabila perilaku seseorang dianggap suatu hal yang tidak biasa, maka individu lain yang bertindak sebagai pengamat akan memberikan atribusi eksternal terhadap perilaku tersebut, sebaliknya jika hal itu dianggap hal yang biasa, maka akan dianggap sebagai atribusi internal.
2. Konsensus
Konsensus artinya jika semua orang mempunyai kesamaan pdanangan dalam merespon perilaku seseorang jika dalam situasi yang sama. Apabila konsesnsusnya tinggi, maka termasuk atribusi eksternal, sebaliknya jika konsensusnya rendah, maka termasuk atribusi internal.
3. Konsistensi
Konsistensi yaitu jika seseorang menilai perilaku-perilaku orang lain dengan respon sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku itu, orang akan menghubungkan hal tersebut dengan sebab-sebab internal dan sebaiknya.
Contoh Atribusi
Selain dari tiga hal ini, masih ada beberapa hal yang menjadi penentu. Contoh atribusi misalnya, apakah seseorang cemas karena mereka memang mudah cemas atau karena ada hal yang buruk terjadi?.
Contoh atribusi misalnya, dalam kehidupan sehari-hari, di dunia kampus kita kerap menilai perilaku sendiri dan juga orang lain yang ada di sekitar kita. Saat nilai ujian kita mendapat hasil yang buruk, kita mungkin menyalahkan dosen karena tidak menjelaskan materi dengan efektif, mengabaikan fakta bahwa kita memang tidak belajar dengan baik.
Saat teman lain mendapat hasil yang bagus, kita mungkin mengira itu sebagai bentuk keberuntungannya, abai terhadap fakta jika dia adalah seorang pembelajar yang tekun.
Mengapa kerap kali kita melakukan atribusi internal untuk beberapa hal sekaligus atribusi eksternal untuk orang lain? Sebagian dari ini berkaitan dengan jenis atribusi yang kemungkinan akan kita gunakan dalam situasi tertentu. Bias kognitif sering memainkan peran utama juga.
Sebagai kesimpulan, teori atribusi membawa kita pada pemahaman bahwa manusia senantiasa termotivasi untuk menetapkan penyebab dibalik tindakan dan perilaku mereka serta orang-orang yang ada di sekitarnya.