Mengenal Geographical Psychology: Pengertian, Tiga Masa Perkembangan, dan Sejumlah Penelitian



Pengertian Geographical Psychology


Lingkungan individu dapat memberikan pengaruh pada perilaku manusia. Hal tersebut pada akhirnya menghasilkan bidang kajian yang disebut sebagai geographical psychology. Adapun tujuan dari bidang ini adalah: 


“to integrate psychology and the different levels of geographic analysis by focusing on the spatial distribution of psychological phenomena and their relations to features of the macro environment”


Tiga Masa Perkembangan Geographical Psychology


Dalam perkembangannya, terdapat tiga masa penting dalam bidang ini:


Pertama, pada rentang tahun antara 1940-an hingga 1960-an, di mana sejumlah penelitian antropologi dan psikoanalitik mencoba mengkaji hal tersebut. Akan tetapi, terdapat banyak kritik atas studi seperti itu karena tidak didukung oleh berbagai penjelasan teoritis. Sehingga membuat kajian dalam bidang ini meredup dalam kurun waktu yang cukup lama. 


Kedua, pada rentang tahun antara 1990-an dan 2000-an, perkembangan teori dan alat kepribadian mendorong peneliti kembali tertarik mengkaji bidang ini. 


Ketiga, hampir pada periode yang sama dengan perkembangan di gelombang kedua, mulai dilakukan penelitian dengan menggunakan data online skala yang besar, dan beberapa peneliti merintis untuk menggunakan jejak digital di media sosial (twitter dan facebook) atau mesin pencari (Google dan Yahoo) yang berasal dari jutaan pengguna, yang dapat mewakili variabel psikologis dan perilaku.


Terdapat beberapa fenomena psikologi yang disebabkan oleh perbedaan geografis, beberapa di antaranya adalah:


1. Perbedaan geografis dalam kepribadian


Berbagai penelitian membuktikan bahwa letak geografis memberikan pengaruh dalam kepribadian. Salah satu penelitian dari Allik dan McCrae (2004) dengan menggunakan model FFM menganalisis kepribadian di 36 negara. Hasil tersebut memperlihatkan perbedaan profil kepribadiaan berdasarkan letak geografis. Pada daerah dan budaya Amerika Utara, Kanada, bila dibandingkan dengan budaya Indonesia, mereka memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam extraversion (ekstraversi) dan openness (keterbukaan) terhadap pengalaman.


Schmitt et al., (2007) menjelaskan bahwa negara-negara Asia dan Afrika lebih tinggi dalam conscientiousness (kesadaran), negara-negara Amerika Selatan dan Eropa lebih tinggi dalam openness (keterbukaan) terhadap pengalaman, negara-negara Asia Timur lebih rendah dalam openness (keterbukaan) terhadap pengalaman, dan negara-negara Afrika lebih rendah dalam neuroticism.


2. Perbedaan geografis dalam Individualisme dan Kolektivisme


Keunikan pada diri seseorang berkaitan dengan individualisme, sedangkan keterhubungan antara diri sendiri dan orang lain berkaitan dengan kolektivisme  (Xu et al., 2016).


Van de Vliert et al. (2013) menjelaskan bahwa provinsi di Cina dengan pendapatan rendah dan suasana yang menantang menunjukkan skor kolektivisme yang tinggi.


3. Perbedaan geografis dalam Budaya yang Tightness-Looseness


Negara yang tightness (ketat) menunjukkan norma sosial yang kuat dan toleransi yang rendah terhadap perilaku menyimpang sedangkan negara yang loseness (longgar) menunjukkan norma sosial yang lemah dan toleransi yang tinggi terhadap perilaku menyimpang (Gelfand et al., 2011).


4. Perbedaan geografis dalam Subjective Well Being


Terdapat beberapa penelitian yang membuktikan bagaimana letak geografis terhadap Subjective Well-Being. Salah satunya, studi yang menunjukkan Subjective Well-Being yang lebih tinggi di negara-negara Eropa Barat, terutama Swedia dan Denmark, dan kesejahteraan subjektif yang lebih rendah di negara-negara Afrika dan bekas komunis (Oishi dan Graham, 2010)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel