Apa itu Berpikir Kritis (Critical Thinking)?



Berpikir kritis (critical thinking) adalah sebuah mode berpikir yang melibatkan kemampuan kognitif dan disposisi dalam prosesnya untuk mengambil keputusan, menyelesaikan masalah atau membangun ide atau konsep tertentu. 

Critical thinking adalah sebuah kemampuan higher order thinking, kemampuan untuk berpikir mengenai cara berpikir, dan dalam level taxonomy Bloom, critical thinking ini berada pada level analysing, evaluating dan creating. Maksudnya mampu untuk menganalisis atau memeriksa bagian-bagian dari data atau informasi yang ada, proses pengambilan sudut pandang, mempertimbangkan berbagai bias dalam proses berpikir, mengevaluasi hasilnya dan akhirnya mampu menciptakan konsep atau ide baru. 

Sebagai sebuah proses, critical thinking menuntut individu untuk selalu mampu mengidentifikasi bagian-bagian dalam proses berpikir itu dan juga mampu mengukur kualitas berpikir yang dimilikinya. 

Misalnya, mampu melihat tujuan, membuat pertanyaan yang tepat, membangun asumsi-asumsi yang berdasarkan informasi data dan fakta sebagai bukti, lalu menganalisisnya dengan baik sehingga berhasil menemukan konsep atau ide yang cukup kuat untuk dijadikan sebuah kesimpulan yang pada akhirnya akan menuntun pada sebuah implikasi tertentu. 

Dalam melakukan proses ini, individu juga harus bisa mengukur seberapa jelas pertanyaan, asumsi-asumsi bahkan konsep yang lahir dari critical thinking ini. Seberapa dalam ide yang ditawarkan, seberapa luas sudut pandang yang tercakup di dalamnya, apakah penyususnan asumsi telah logis, apakah bukti atau data yang menjadi penyokong untuk membangun idenya relevan dan akurat, semua itu harus selalu diukur oleh individu yang berpikir kritis. 

Sembari individu berusaha untuk memenuhi standart tersebut, maka secara bersamaan individu juga harus selalu memperhatikan beberapa sikap yang akan dibutuhkan dalam critical thinking, yakni berusaha untuk selalu rendah hati, menghargai pendapat atau pandangan orang lain, memiliki keberanian intelektual, integritas intelektual, berpikir dengan adil dan selalu mengasah rasa empati. Semua hal itu, kemampuan untuk memenuhi bagian demi bagian proses berpikir, mengukur standar kualitas berpikir, dibarengi sikap intelektual yang baik dan terpuji dapat menggambarkan kualitas critical thinking yang baik.

Jika memperhatikan proses yang telah dijelaskan sebelumnya, critical thinking adalah sebuah proses yang melibatkan strategi mental yang kompleks, maka hal ini akan mengantar kita pada apa yang disebut dengan metacognitive. 

Critical thinking tidak dapat dipisahkan dari metacognitive, karena dalam metacognitive terdapat proses critical thinking. Dalam metacognitive ada yang disebut dengan metacognitive knowledge dan self-regulation. 

Metacognitive knowledge mencakup beberapa hal, pertama pengetahuan deklaratif, yakni pengetahuan yang berkaitan dengan individu sebagai subjek dalam berpikir, misalnya mengetahui bagaimana individu memproses informasi, bagaimana pengetahuan dasar yang dimiliki individu sebagai subjek dan segala hal lainnya yang mencakup pengetahuan mengenai individu. 

Kedua, procedural knowledge, hal ini mencakup tugas yang dikerjakan si individu, mengenai proses penyelesaian tugas, pendekatan yang akan digunakan, manfaat dari tugas ini dan lainnya. 

Ketiga, conditional knowledge, hal ini mencakup strategi yang di gunakan si individu untuk menyelesaikan tugas yang akan dilakukan, misalnya kapan dan dimana tugas itu akan dilakukan. 

Hal selanjutnya yang penting dalam metacognitive adalah adanya self-regulation, yakni bagaimana individu membuat regulasi pada dirinya, Menyusun rencana, memonitori hingga mengevaluasi proses berpikirnya.  Dalam proses perencanaan hingga evaluasi, hal yang mencakup self-regulation adalah mengontrol kognisi, yakni memperhatikan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan dalam berpikir. 

Mengontrol perilaku, yakni melihat segala perilaku nyata yang dapat dilakukan dengan baik dan efisien misalnya mencatat, merangkum informasi, menulis laporan. Mengontrol emosi, yakni memperhatikan pengalaman emosi yang mungkin untuk mendukung atau menghambat tugas, dan mengontrol motivasi, yakni memperhatikan motivasi atau ketertarikan individu pada tugas yang dilakukan.

Dalam belajar ada yang disebut dengan self-regulation learning, hal ini melibatkan forethought phase, yakni fase persiapan untuk melihat tugas yang diberikan, tujuan dari tugas apa saja yang dibutuhkan dan kesiapan diri yakni rasa percaya diri untuk menyelesaikan, kemampuan melihat hasil dari usaha yang akan dikerahkan, nilai tugas itu bagi diri individu. 

Selanjutnya performance phase, yakni tahap ketika mengerjakan tugas yang diberikan dimana proses kontrol diri dan selalu mengobservasi dan memonitor diri berlangsung selama pengerjaan tugas dan terakhir, Self-reflection phase yakni tahap evaluasi dan reaksi yang dapat dilakukan atas evaluasi akhir yang telah dicapai, hal ini dibutuhkan untuk menciptakan proses belajar yang berkesinambungan, sehingga proses belajar tidak berhenti, dan dapat dimulai lagi dari tahap awal untuk melanjutkan ke dalam level belajar yang lebih tinggi.    


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel