Belajar Psikologi dari Olimpiade Tokyo 2020
Ajang multievent olahraga bergengsi yang di gelar di Tokyo, Jepang telah berakhir. Ratusan negara turut berpartisipasi dan saling berkompetisi. Jika melihat dari sejarahnya, olimpiade ditujukan sebagai ajang pemersatu bangsa bangsa di seluruh dunia.
Dari dulu hingga sekarang, setiap olimpiade punya cerita sendiri, baik untuk atlet yang bertanding, hingga cerita untuk negara yang diwakili. Yuk belajar dari kisah tersebut.
First of all, kita simak dulu cerita yang baru saja terjadi bagi Indonesia. Sejak olimpiade di helat tahun 1992, sektor bulu tangkis yang menjadi tumpuan Indonesia untuk meraih medali emas. Tapi sejauh ini, sektor ganda putri menjadi satu2nya sektor yang belum pernah sama sekali menyumbang medali.
Di Olimpiade Tokyo 2020, akhirnya kali ini Indonesia berhasil mencetak
sejarah. Pasangan ganda putri Greysia/Apriani berhasil meraih medali emas Indonesia
untuk pertama kali dalam sejarah. Selain itu, Greysia juga mencetak sejarah
sebagai atlit perempuan tertua yang memenangkan medali. Jika disimak perjuangan
mereka, sudah selayaknya mereka mendapatkan itu.
Greysia Polii selama karirnya bisa
dibilang jatuh bangun. Pernah di diskualifikasi olimpiade, partner cedera,
mentok di SF dan kalah dari jepang berturut turut di turnamen internasional
hingga ingin pension kala itu. Tapi, dia pantang menyerah. Dia pernah
menuliskan mimpinya dalam video klip Agnes Monica “ingin menjadi world champion”.
Begitupun dengan kisah Apriani, sejak kecil
bakatnya di badminton sudah terlihat. Hal ini dibuktikan dengan beberapa
kejuaraan yang dimenangkannya. Dengan segala keterbatasan kala itu, mimpi untuk
menjadi pemain professional tidak pernah dilepasnya. Berkat usaha, tekad,
tujuan dan dukungan dari keluarga akhirnya dia bisa masuk ke pelatnas.
Perjalanan Panjang Greysia Polii dan Apriani
Rahayu ini bisa digambarkan melalui teori psikologi yang dikenal sebagai self-determination.
Singkatnya, teori ini berasumsi
bahwa motivasi internal tercapai melalui pemenuhan kebutuhan dasar pada
indvidu, yaitu otonomi (Autonomy), kompetensi (Competence), dan keterkaitan
(Relatedness).
Penelitian yang dilakukan oleh calvo dan koleganya pada tahun 2010 yang dimuat dalam The Spanish Journal of Psychology dengan judul Using Self-Determination Theory to Explain Sport Persistence and Dropout in Adolescent Athletes. Penelitian ini melibatkan 492 atlit sepakbola berusia antara 13 dan 17 tahun.
Hasil temuan menunjukkan bahwa
keluar/mengundurkan diri/berhenti dalam olahraga disebabkan oleh kurangnya
motivasi, regulasi eksternal, dan regulasi yang diintrojeksi, kepuasan yang
lebih rendah terkait dengan hubungan dan kemandirian.
Apa yang terjadi jika pada saat itu Greysia
down dan pensiun? Ataupun Apri dengan segela ketebatasannya menyerah pada
keadaan? Mereka tidak akan melangkah sejauh ini. Itulah pentingnya
self-determination bagi kita.
Beberapa atlit cabang olahraga lain juga menarik perhatian. Ada beberapa atlit yang harus menunggu hingga puluhan tahun untuk mendapatkan medali emas, ada pula yang bertahap dari perunggu, perak kemudian emas, ada juga yang baru pertama kali mengikuti olimpiade langsung mendapatkan emas.
Yah, setiap orang ada jalannya masing masing, setiap orang
ada waktu untuk bersinar. Kesabaran, tekad dan motivasi yang kuat, Latihan yang
sungguh dan dukungan dari orang2 disekeliling menjadi komponen penting dalam
sebuah pencapaian yang luar biasa.
Kisah sukses atlit ini bisa kita jadikan pembelajaran loh. Selain belajar dari kegagalan, kita juga perlu belajar dari kesuksesan. Penelitian yang dilakukan oleh lauren dan fisbach (2019) yang dimuat dalam journal of Psychological Science dengan judul Not Learning From Failure—the Greatest Failure of All. Peneltiian ini terdiri dari 5 studi dengan melibatkan 1674 partsipan.
Di seluruh studi, peserta menjawab pertanyaan pilihan biner, setelah itu mereka diberi tahu bahwa mereka menjawab dengan benar (feedback sukses) atau salah (feedback gagal). Kedua jenis umpan balik tersebut menyampaikan jawaban yang benar, karena hanya ada dua pilihan jawaban. Namun, pada tes lanjutan, peserta belajar lebih sedikit dari umpan balik kegagalan daripada umpan balik keberhasilan.
Efek ini direplikasi di seluruh
domain profesional, linguistik, dan sosial—bahkan ketika belajar dari kegagalan
tidak terlalu membebani kognitif daripada belajar dari kesuksesan. Peserta yang
menerima umpan balik kegagalan juga mengingat lebih sedikit pilihan jawaban
mereka.
Tim peneliti beranggapan, mengapa kegagalan merusak pembelajaran? Kegagalan adalah ancaman ego, yang menyebabkan orang mengabaikannya. Peserta belajar lebih sedikit dari kegagalan pribadi daripada dari kesuksesan pribadi, namun mereka belajar banyak dari kegagalan orang lain dan juga dari kesuksesan orang lain.
Jadi, ketika kekhawatiran ego
diredam, orang mendengarkan dan belajar dari kegagalan.
Banyak yah yang bisa kita petik dari
olimpiade kali ini. Jadi, jika kalian punya mimpi, pertahankan motivasi kalian,
jangan sampai hilang. Walaupun diperjalannya akan ada banyak cobaan, tetaplah
berusaha, sampai pada akhirnya kalian sukses dan kisah kalian dapat
menginspirasi orang lain.