Usia 25 Tahun Idealnya Punya Apa Sih?
Beberapa waktu lalu, dunia Twitter dihebohkan dengan trending
topic "Usia 25 tahun". Kehebohan ini berawal dari konten yang
bertuliskan "Usia 25 tahun idealnya punya apa? Tabungan 100 Juta, cicilan
rumah sisa 20% lagi, punya kendaraan pribadi, dan gaji minimal 8 Juta".
Namun, apakah ini kondisi ideal bagi seseorang di usia tersebut?. Memang,
sesuatu itu bukanlah hal yang luar biasa. Namun, bukan juga hal yang dapat dijadikan
tolak ukur. Pasalnya, setiap orang memiliki pencapaian yang berbeda-beda dengan
prioritas yang berbeda-beda juga.
Namun,
ada beberapa hal yang kiranya dapat kita miliki saat memasuki usia 25 tahun, yaitu
:
1.
Punya dana darurat
Seseorang
yang sudah memasuki usia 25 tahun diasumsikan sudah bekerja dan memiliki
penghasilan, terlepas dari seseorang tersebut sudah menikah atau belum. Namun,
seseorang di usia tersebut harus sudah memiliki dana darurat.
2.
Kemampuan manajemen keuangan
Akan
ada biaya yang tidak terduga, seperti sakit atau kecelakaan. Sehingga seseorang
membutuhkan manajemen keuangan yang baik untuk mengatur pengalokasian dana yang
akan disisihkan, seperti asuransi hingga jaminan kesehatan.
3.
Memiliki aset investasi
Seseorang
di usia 25 tahun, harus mulai membiasakan diri untuk menyisihkan pemasukannya
(gaji) guna membeli aset investasi, seperti emas, saham, hingga properti.
Seseorang juga harus memiliki kemampuan untuk melihat dan mengatur kebutuhan
dalam jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang.
Umumnya, usia 25 tahun dapat menjadi penanda fase kehidupan seseorang. Misalnya seperti seseorang yang sudah menikah dan memiliki momongan, seseorang yang masih sibuk meniti karir, hingga seseorang yang masih berjuang untuk membuka usaha. Meskipun begitu, apapun penanda fase kehidupannya, usia 1/4 abad ini adalah tanda bahwa seseorang harus menjadi lebih dewasa dan matang dalam mengatur kehidupannya.
Usia
25 tahun adalah usia produktif untuk melakukan berbagai perkembangan diri.
Namun, apabila seharusnya di usia tersebut sudah melakukan dan mencapai apa
saja dan seseorang belum mencapai satu pencapaian yang ditetapkan oleh
masyarakat, maka hal tersebut berada di luar kemampuan seseorang itu. Hal ini
dikarenakan setiap orang memiliki proses dan waktu yang berbeda-beda dalam
mencapai kesuksesan. Tak jarang juga, di Usia 25 tahun seseorang mengalami Quarter Life Crisis atau yang biasa
disebut dengan krisis identitas dan insecurity.
Hal ini kerap kali terjadi di fase kehidupan 20 hingga 30 tahun.
Tidak
jarang, di usia 25 tahun seseorang mulai mempertanyakan arah hidupnya. Mulai
dari tujuan hidup, passion, apa yang
sudah dilakukan, dan apa yang sudah dicapai. Namun, sejatinya setiap orang
memiliki waktu masing-masing untuk mewujudkan mimpinya. Dari pada terus memikirkan
dengan keresahan dan kekhawatiran, mending menikmati sambil terus berusaha
sesuai kemampuan.
Banyak
momen di sekitar yang terjadi ketika seseorang memasuki usia 25 tahun, seperti
lingkungan/teman-teman yang sudah menikah, memiliki jabatan tinggi dalam
pekerjaan, memiliki cukup banyak uang untuk jalan-jalan ke luar negeri, hingga
rasanya lingkungan sekitar terus berkembang dan menemukan jalan hidupnya
masing-masing. Namun, jangan sampai pencapaian orang lain justru menjadi
tekanan bagi diri sendiri. Momen-momen seperti itu justru menjadikan seseorang
sadar bahwa "hidup bukanlah
perlombaan". Karena setiap orang akan menjalani kehidupan dengan cara
dan kecepatan yang berbeda.
Di
usia 25 tahun, seseorang juga akan merasakan
toxic friends : lingkungan/teman yang membawa dampak buruk bagi
perkembangan diri. Disini seseorang harus mampu untuk memilih lingkungan/teman.
Sehingga, datang dan pergi teman dalam kehidupan sudah menjadi hal yang sangat
biasa. Ini juga merupakan proses dari seleksi alam. Hal lain yang perlu
diperhatikan di usia 25 tahun ini adalah seseorang harus mampu menekan
pemborosan pada keuangan karena akan banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi,
seperti kebutuhan untuk membeli rumah, kendaraan pribadi, bahkan properti.
Seseorang tidak lagi melakukan pemborosan hanya untuk bersenang-senang, seperti
nongkrong setiap waktu bersama teman karena di usia ini seseorang telah
memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan. Sehingga harus mampu membagi waktu
libur untuk keluarga, teman, bahkan kekasih.
Tak hanya finansial, di usia 25 tahun seseorang juga harus mampu mengontrol emosinya. Penambahan usia menuntut seseorang untuk bisa mengelola emosi secara baik. Bahkan seseorang juga tidak lagi dapat mempertahankan sifat egosentrisnya di usia ini. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan, salah satunya adalah berpikir sebelum berbicara. Zaman digitalisasi ini juga menuntut seseorang dalam berhati-hati ketika bermain sosial media. Di usia ini, seseorang harus mampu memilah apa yang perlu dikonsumsi secara publik dan dikonsumsi secara pribadi. Hal ini memperlihatkan bagaimana batasan yang seseorang berikan dalam memposting sesuatu karena bisa saja, perusahaan tempat seseorang bekerja akan menjadikan sosial media sebagai salah satu tolak ukur dalam kinerja bekerja.
Dan apa yang diposting di sosial
media dapat memperlihatkan kepribadian seseorang. Perihal cinta, usia 25 tahun
ini juga menuntut seseorang agar membangun hubungan yang menuju jenjang lebih
serius (pernikahan). Seseorang hanya memiliki dua pilihan, yaitu serius atau
meninggalkan karena akan menjadi hal yang tidak baik jika terus terjebak dalam
hubungan yang tidak sehat.
Banyak
hal yang bisa dilakukan di usia 25 tahun, daripada terus membandingkan
pencapaian orang lain dengan diri sendiri, misalnya melakukan perjalanan
sendiri ke negara/kota lain. Seseorang bisa menjajaki tempat yang memiliki
kultur yang berbeda atau berpergian ke tempat yang memiliki agama yang berbeda
juga. Hingga mengekspos tempat terpencil yang dapat memberikan ketenangan dan
rehat setelah penat. Hal lain yang dapat dilakukan adalah memilih pekerjaan
sesuai passion, atau menjadikan passion sebagai sebuah pekerjaan
tambahan.
Pada
akhirnya, usia 25 tahun idealnya punya 100 Juta belum tentu menjadi ideal untuk
orang lain. Mari kurang-kurangi ke-ideal-an seseorang ke orang lain. Mari
kurang-kurangi membandingkan pencapaian diri dengan orang lain karena setiap
orang memiliki jatah pencapaiannya masing-masing.
Penulis
Elys Krisdiana, biasa
disapa dengan Elys. Saat ini penulis berstatus sebagai mahasiswi Universitas Islam
Indonesia, Hubungan Internasional. Senang menulis, sangat senang menulis
tentang sastra, seperti cerita pendek dan puisi. Cerpen pertama yang telah diterbitkan adalah “Pertemuan Kita Adalah Konspirasi Semesta”. Serta menulis buku
antologi puisi bersama penerbit Halaman Indonesia “Datang Aku dari Kenangmu”
dan “Berangkat Aku ke Keningmu”. Penulis juga menggeluti dunia pendidikan terkait
HAM dan saat ini berstatus sebagai ketua divisi pendidikan dalam organisasi
Klinik Advokasi Hak Asasi Manusia. Serta beberapa kali menjadi moderator dalam
diskusi HAM bersamaYLBHI dan KontraS. Serta penyelenggara dari Seminar Nasional
Memperingati Hari HAM Internasional yang bekerja sama dengan komunitas
Millennial Youth Action. Penulis dapat dijumpai di @elyskrisdianaa