Narasi Seperti Apa di Balik Bom Bunuh Diri?
Seminggu
jelang perayaan Paskah, terjadi pengeboman di Gereja Katedral Makassar. Dari
peristiwa tersebut, Kapolda Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa terdapat
sembilan orang korban luka-luka yang dilarikan ke rumah sakit, lima orang
merupakan petugas dan pengurus gereja sedangkan empat lainnya adalah jemaah
gereja.
Pelaku diduga
melakukan upaya bom bunuh diri, setelah sejumlah saksi melihat dua orang berboncengan
menggunakan sepeda motor matic. Setelah terdengar dentuman besar di
depan gereja, ditemukan kendaraan yang sudah hancur, serta beberapa potongan
tubuh berserakan di sekitarnya.
Di tahun
2018, kita juga terpaksa mendengar kabar tentang bom bunuh diri yang melibatkan
satu keluarga dan memakan korban yang lebih banyak di Kota Surabaya. Sejak
serangan Bom Bali I di tahun 2002, yang juga merupakan aksi bom bunuh diri
pertama di Indonesia, kasus serupa dari tahun ke tahun kerap terjadi. Para
pelaku teror tersebut telah menciptakan logikanya sendiri tentang apa yang
hendak mereka lakukan.
Tentu sulit
untuk memahami, apa yang sebenarnya terjadi pada para pelaku bom bunuh diri
itu? Kita tentu akan dibuat bertanya-tanya, atau bahkan mengutuk keras tindakan
mereka. Namun sebenarnya, terdapat sejumlah narasi yang memberi pengaruh pada
tindakan dan pola pikir mereka. Sesuatu yang mungkin dapat menyerang siapa saja
dan patut kita waspadai.
Bom bunuh
diri sudah dikenal sejak dulu, setidaknya tahun 1940 ketika sebuah artikel New
York Times menyebutkan istilah Bom Bunuh Diri sebagai taktik perang Jerman.
Dan kemudian berkembang hingga sekarang.
Sebelum tahun
1983, upaya untuk melakukan bom bunuh diri terbilang sedikit. Namun, saat
Amerika Serikat menempatkan Marinir di Beirut, para pemimpin gerakan perlawanan
Islam Hizbullah mulai untuk membahas menggunakan langkah ini sebagai senjata
utama.
Gelombang
pemboman bunuh diri pun dimulai, pada bulan April 1983 sekitar enam puluh
pekerja di kedutaan AS meninggal dan sekitar 240 orang di kompleks Marinir di
bandara pada bulan Oktober. Langkah itu terbilang efektif sebagai usaha
perlawanan mereka.
Pada tahun
1988 Fathi Shiqaqi, pendiri Palestinian Islamic Jihad, bahkan menulis
seperangkat pedoman (ditujukan untuk melawan keberatan agama terhadap
pengeboman truk tahun 1980-an) untuk penggunaan bahan peledak dalam bom bunuh
diri; lalu menganggapnya sebagai kesyahidan yang luar biasa.
Talal Asad,
dalam bukunya yang berjudul On Suicide Booming, menjelaskan pandangannya
terkait dengan terorisme dan bom bunuh diri. Baginya, tentara dan pelaku bom
bunuh diri dalam usahanya untuk membunuh memiliki alasan yang serupa, sebab
mereka percaya akan pengorbanan mereka penting dan hal itu akan memberikan
mereka keabadian. Buku ini bisa menjadi salah satu bacaan untuk melihat posisi
terorisme dari kacamata seorang antropolog. Sekaligus bisa memperlihatkan suatu
narasi di balik aksi bom bunuh diri itu sendiri.
Dari tahun
1996 hingga 1999, jurnalis Pakistan, Nasra Hassan, mewawancarai hampir 250
orang yang sedang direkrut dan dilatih menjadi pelaku atau mempersiapkan diri
untuk menjalankan misi bom bunuh diri di Palestina.
Dari orang
yang dia wawancarai, Hassan menemukan bahwa para pelaku ini tergolong tidak
memiliki kepribadian yang mengarah pada tindakan bunuh diri. Mereka juga
cenderung berpendidikan. Namun mengapa mereka memilih menjadi pelaku bom bunuh
diri?
Konflik
berkepanjangan antara Palestina dan Israel pun menjadi pemicu motivasi bom
bunuh diri. Sejumlah narasi yang mengajak para pelaku untuk melihat tindakan
bom bunuh diri sebagai sesuatu yang pasti dan mendapatkan imbalan setimpal di
akhirat disebarluaskan. Hingga akhirnya dikenal istilah culture of
martyrdom.
Martyrdom (kemartiran)
pada mulanya menempati ruang sakral dalam tradisi Syiah, sejak cucu Nabi,
Husain sebagai martir dalam Pertempuran Karbala di abad ketujuh. Tetapi ulama
Syiah Imam Musa al-Sadr, pendiri gerakan Amal Lebanon, mengubah narasinya
menjadi alat perekrutan.
Sepanjang
tahun 1970-an, al-Sadr mendorong para pengikutnya untuk mengambil inspirasi
dari kemartiran, dengan harapan bahwa setiap kejadian akan menimbulkan banjir
semangat revolusioner dan dengan demikian memperkuat pasukannya. Rangkaian
inilah yang pada akhirnya terus berkembang dan memicu munculnya gerakan
radikalisme. Menurut para ahli, para pelaku bom bunuh diri melalui proses
indoktrinasi yang luar biasa.
Mereka masuk
ke dalam kelompok-kelompok kecil dan mendapat pelatihan spiritual yang intens
selama berjam-jam. Mereka diajarkan tentang jihad, diingatkan akan pentingnya
balas dendam, serta mendapatkan penguatan akan imbalan yang mereka akan
dapatkan di akhirat.
Martha
Crenshaw yang merupakan seorang ahli dalam studi terorisme juga menjelaskan,
bahwa tindakan bom bunuh diri, bukan sekadar perkara kematian dan pembunuhan.
Ada harapan untuk mendapat status dan rasa hormat sebagai martir karena
perjuangan itu penting. Ada sebentuk pengakuan dan usaha mencapai tanda
kehormatan dalam kelompoknya. Semua ini terjadi bukan tanpa alasan, melainkan
sebagai akibat dari hidup seseorang yang dianggap mengecewakan atau kurang
bermakna.
Pada
dasarnya, ketidakpastian hidup akan mendorong seseorang untuk mencari makna dan
melakukan berbagai hal untuk menemukannya. Beberapa orang merasa sulit untuk
bertahan dalam ketidakpastian hidup, yang pada akhirnya berpeluang membawa kita
pada kepastian semu seperti yang dialami para pelaku bom bunuh diri. Penjelasan
ini, oleh Arie W. Kruglanski menjadi dasar dari teorinya yaitu The Quest for
Significance.
Narasi
kelompok teroris menjanjikan sebuah kepastian yang melampaui kehidupan itu
sendiri. Kekerasan dalam perspektif dunia evolusi pun telah menjadi cara untuk
menyelesaikan konflik dan mendapatkan dominasi. Sebuah pilihan untuk lekas
menemukan makna yang selama ini dianggap kurang atau tidak ada sama sekali. Dan
sekali lagi, narasi dalam agama bagi beberapa orang akan sangat menjanjikan
kepastian yang selama ini hilang. Hanya saja, tanpa disadari ruang refleksi dan
nilai-nilai kemanusiaan, narasi untuk melakukan tindakan kekerasan demi menjadi
yang terbaik dan utama, bukan tidak mungkin untuk dilakukan.
Bercermin
dari sejarah bom bunuh diri di Indonesia, pemerintah sekiranya bisa merumuskan
langkah strategis dalam mengatasi masalah ini dengan cepat dan serius.