Menelisik Kognisi Sosial dalam Hubungan Antara Sartre dan Beauvoir

 


Simone de Beauvoir menuliskan sebuah buku yang berjudul Adieux: A Farewell to Sartre pada tanggal 12 Februari 1985. Buku yang dicetak melalui penerbit Pantheoin itu hadir di tangan pembaca menjelang lima tahun kematian Jean Paul Sartre. Setahun setelah buku itu terbit, Simone de Beauvoir pun menghembuskan napas terakhirnya di Paris dalam usianya yang mencapai 78 tahun.

Bukan tanpa alasan Simone de Beauvoir menuliskan buku tentang Sartre, buku itu semacam usahanya untuk mengenang dan merekam berbagai peristiwa yang mereka lalui. Menulis buku untuk orang terkasih yang telah meninggal tentu saja bukanlah hal yang baru. Pablo Neruda, seorang penulis asal Chili pun menulis buku untuk mengenang kepergian istrinya, Matilde Urrutia, yang berjudul, Cien Sonetos De Amor (100 Soneta Cinta). Begitu pun yang pernah dilakukan B.J. Habibie yang berjudul “Habibie dan Ainun”, dibagian pengantar buku itu B.J. Habibie menceritakan betapa sulit dan beratnya ditinggalkan Ainun, akhirnya menulis menjadi sebuah terapi dan usahanya untuk menerima kenyataan.  

Berbeda dengan kisah Neruda atau Habibie, Simone de Beauvoir menyimpan keunikan tersendiri atas hubungannya bersama Sartre. Awalnya, Sartre dan Beauvoir bertemu di Paris sekitar tahun 1929. Kala itu mereka berdua belajar untuk agregration, ujian kompetensi karir di bidang filsafat dalam sistem sekolah Prancis. Selisih usia mereka tiga tahun, Sartre 24 tahun dan Beauvoir 21 tahun. Mereka berdua kemudian kerap bertemu dan berbincang di café, membicarakan atau mendiskusikan banyak hal. Termasuk beberapa karya yang mereka garap dan hendak diterbitkan. Beauvoir menjadi pembaca pertama dari karya-karya Sartre, dan berkat kritik tajamnya, Sartre dapat menghasilkan karya-karya yang lebih baik dari sebelumnya.

Di sisi lain, pemikiran Sartre tentang eksistensialisme ikut memberi gambaran bagi Beauvoir dalam merumuskan pikiran-pikirannya. Misalnya saja konsep Liyan dalam buku Le deuxième sexe (The Second Sex) diambil dari konsep eksistensialisme Sartre. Beauvoir pun sempat berniat untuk meninggalkan dunia akademis dan dunia tulis lalu beralih ke dunia yang dijalani perempuan pada umumnya. 

Akan tetapi, Sartre dengan tegas memperingatkannya perihal apakah dia ingin menjadi perempuan dalam ranah domestik. Pada masa itu, ketika perempuan memilih berkeluarga, tidak akan ada lagi ruang untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya. Diskusi-diskusi panjang yang mereka lalui membuat mereka semakin dekat dan tampak menjalin sebuah hubungan. Setelah Sartre meninggal, Beauvoir sempat menerbitkan surat-surat cinta Sartre yang dikirimkan untuknya.

Meski pun sebelum Beauvoir menerbitkan surat-surat cinta tersebut, orang-orang pun paham bahwa mereka berdua memiliki hubungan yang tidak sekadar teman diskusi. Melainkan ada sesuatu yang lebih dari itu dan istimewa. Pada akhirnya dua orang ini dikenal sebagai pasangan filsuf yang memiliki pemikiran dan perenungan yang sampai hari ini terus dibicarakan. Sejak 1929, kedua filsuf ini menjalin hubungan, keduanya saling cinta, menjalani diskusi panjang bersama, saling berbagi pendapat atas karya masing-masing, tinggal di tempat yang sama namun sepakat untuk tidak menikah. Keputusan untuk tidak menikah bukan tanpa alasan, melainkan sebentuk perlawanan dari dua orang filsuf tersebut.

Pengalaman kisah antara Beauvoir dan Sartre tentu akan menarik bila dikaji dalam lingkup kognisi sosial di hubungan interpersonal. Bahwa pada mulanya, pertemuan mereka sebagai mahasiswa filsafat memberi ruang untuk saling mendukung dan berada pada wilayah yang sama. Mark R. Leary dalam tulisannya yang berjudul Interpersonal Cognition and the Quest for Social Acceptance menjelaskan tentang kecenderungan kita melakukan sejumlah upaya untuk menentukan sejauh mana orang lain menghargai dan menerima kita. Kemudian sadar atau tidak, kita akan selalu berharap agar mampu diterima dalam proses interaksi itu sendiri.

Dalam proses kognisi sosial yang kita alami, sebisa mungkin kita berusaha untuk mencari tahu bagaimana persepsi orang lain terhadap kita. Manusia memiliki kemampuan untuk membayangkan bagaimana pandangan orang lain terhadapnya. Melalui kelebihan inilah, kita mendapatkan kemampuan untuk berinteraksi dan mencoba saling memahami dengan orang lain. Mark R Leary dalam salah satu artikel ilmiahnya yang berjudul The Evolution of the Human Self: Tracing the Natural History of Self-Awareness menjelaskan bahwa berdasarkan bukti arkeologis manusia baru memiliki kemampuan berpikir refleksi seperti itu saat ditemukannya perhiasan tubuh pertama sekitar 50.000 tahun lalu, yang menjadi bukti bahwa orang mampu membayangkan bagaimana mereka dipersepsikan orang lain. Lalu dengan tindakan simbolik berusaha memberi kesan pada orang lain dengan cara yang diinginkan.

Pada kasus yang terjadi antara Beauvoir dan Sartre proses persepsi satu sama lain terbentuk melalui proses diskusi yang terjadi secara rutin. Berbagai hal kemudian dikonfirmasi melalui pernyataan atau hasil diskusi yang memperlihatkan kesamaan atau mungkin ketidaksesuaian pendapat. Namun demikian, proses yang terjadi secara tidak langsung membangun kesadaran antara keduanya untuk merasa saling diterima satu sama lain. Hal tersebut tentu saja memberikan efek penerimaan interpersonal yang mendalam. Menurut Mark R Leary, bagaimana seseorang memperlakukan kita akan sangat berdampak terhadap bagaimana kita merespon hubungan tersebut. Nilai relasi akan terbentuk dan memberi pengaruh terhadap jalannya hubungan tersebut.

Bersama Deborah Downs, Mark R. Leary menyebut sistem yang memperhatikan nilai relasional seseorang (atau, dalam bahasa sehari-hari, penerimaan sosial orang lain) disebut dengan istilah “sosiometer” Hadirnya sosiometer tersebut akan memberikan tiga fungsi utama: fungsi pertama, memperhatikan isyarat lingkungan sosial yang sesuai dengan nilai relasional individu dengan orang lain; fungsi kedua, menanggapi pengaruh negatif saat mendeteksi nilai relasional seseorang rendah atau menurun, sehingga dapat merespon secara sadar, dan fungsi terakhir, memberi motivasi untuk meningkatkan nilai relasional.  

Hubungan yang terjalin antara Beauvoir dan Sartre setidaknya berhasil memperlihatkan tiga fungsi dari sosiometer tersebut. Fungsi pertama, baik Beauvoir maupun Sartre membawa atau memberikan isyarat satu sama lain dalam memulai proses hubungan di antara mereka berdua. Kemampuan intelektual mereka dan cara pandangannya terhadap kebebasan, membuatnya tampak serasi dan saling menerima. 

Saling dukung satu sama lain, membuat hubungan tersebut kian dekat. Buku Beauvior yang berjudul The Second Sex konon lahir dari jawaban Sartre atas kegamangan Beauvoir.  Masa ketika Beauvoir tak tahu harus menulis apa, dan kemudian Sartre menjawab, “Lihat dirimu lebih dekat. Sebagai perempuan, kamu tidak dibesarkan dengan cara yang serupa dengan laki-laki.” Dari pernyataan itulah Beauvoir mulai mengusung gagasan feminisnya dan menulis buku The Second Sex.

Fungsi kedua, selama diskusi antara Beauvoir dan Sartre, tidak selamanya terjadi kesepahaman, bahkan tak jarang perdebatan yang memicu pertengkaran.Misalnya perbedaan pandangan filsafat tentang eksistensi Liyan (Yang lain). Bagi Sartre, Liyan benar-benar ada dan menyarankan agar kita untuk menerima dan belajar untuk memahami keberadaannya. Akan tetapi, Beauvoir melihat sesuatu yang lebih besar dari itu. Baginya, Liyan tidak harus diterima begitu saja, melainkan memberinya kebebasan bagi Liyan karena itu adalah sesuatu yang esensial terhadap kebebasan manusia itu sendiri. Beauvoir juga hendak meluruskan konsep feminis yang kerap disalah artikan, bahwa feminisme adalah gerakan perlawanan perempuan terhadap laki-laki. Menurutnya, feminisme adalah usaha untuk mengakui sepenuhnya eksistensi manusia, perempuan dan laki-laki, dan menciptakan ruang kebebasan yang setara untuk keduanya.

Tentu saja, perbedaan tersebut sudah biasa terjadi dan secara sadar mereka atasi. Hal tersebut dapat memperkuat atau mempertahankan hubungan interpersonal menjadi lebih baik. Dan dalam fungsi ketiga sosiometer, adalah memberi motivasi dalam penguatan hubungan. Baik Sartre maupun Beauvoir, keduanya saling memberi komunikasi timbal balik dan terbuka. Bahkan dalam menjalin hubungan mereka yang bebas tanpa ikatan, mereka sepakat untuk saling bertukar cerita siapa dan bagaimana mereka dengan seseorang.

Hal menarik dari hubungan antara Sartre dan Beauvoir ini juga tercermin dari proses penerimaan satu sama lain dan kurangnya penolakan (rejection). Salah satu penelitian Mark R Leary bersama rekannya yang berjudul Reactions to acceptance and rejection: Effects of level and sequence of relational evaluation membagi dua kelompok eksperimen yang akan menerima respon penerimaan dan penolakan yang berbeda. Hasil penelitian itu memperlihatkan bahwa penolakan menimbulkan kemarahan, kesedihan, dan perasaan sakit hati yang lebih besar daripada penerimaan, serta peningkatan kecenderungan untuk menyerang terhadap si penolak. 

Meski tidak menikah, lantaran mereka berdua percaya bahwa cinta tak butuh lembaga pernikahan dan pernikahan sebenarnya hanya tradisi kaum borjuis hubungan mereka terus terjalin hingga akhir hayatnya. Tentu saja, mencoba melakukan hubungan dekat tanpa menikah di Indonesia akan menentang norma budaya dan agama sehingga sulit membayangkan hadirnya Sartre dan Beauvoir di Indonesia, meskipun tidak menutup kemungkinan pasangan seperti itu ada di luar sana. Kesamaan yang dimiliki Sartre dan Beauvior menjadi kekuatan tersendiri untuk mencoba melawan norma atau situasi pada masanya.

Namun dalam situasi di Indonesia, salah seorang teman penulis yang berinisial A mencoba melakukan perlawanan bersama kekasihnya saat hendak menikah. Di budaya Bugis Makassar, uang panai (semacam uang belanja untuk proses pernikahan di luar mahar) menjadi simbol kuasa dan harga diri. Semakin tinggi uang panai, itu akan menjadi kebanggaan tersendiri. 

Beberapa kalangan orang kaya bahkan pernah mencapai ratusan juta hingga angka miliar untuk dijadikan uang panai. Sadar akan hal tersebut, bersama kekasihnya (calon istrinya) mereka sepakat untuk menolak uang panai dan mengadakan pesta besar-besaran. Akhirnya, melalui diskusi dan negosiasi yang cukup panjang bersama keluarga pihak perempuan, uang panai dihilangkan dan acara dilangsungkan dengan sederhana, sesuatu yang jarang terjadi di keluarga Bugis Makassar, terlebih untuk kelas masyarakat yang terbilang mapan.

Sekiranya, hubungan interpersonal yang kuat membantu kita untuk bertahan dan belajar untuk memahami dunia dan diri kita untuk semakin lebih baik. Di Cimetière de Montparnasse sebuah pemakaman yang kini menjadi tempat wisata, lantaran pemakaman tersembut menjadi peristirahatan terakhir beberapa orang terkenal, seperti Charles Baudelaire, Guy de Maupassant, Marie Duras, Simone Beckett, Julio Cortazar, Emile Durkheim, Jean Baudrillard, termasuk Sartre dan Simon de Beauvoir, sepasang filsuf yang dikuburkan di bawah nisan yang sama. Di sana kita bisa berkunjung sekaligus mengenang kisah dan memahami proses hubungan mereka yang rumit namun penuh makna.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel