Memahami 3 Teori Pertukaran Sosial

 


Teori pertukaran sosial memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antar pribadi (interpersonal). Melalui teori tersebut, dapat dipelajari bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling memengaruhi. 


Adapun tujuan dari tulisan ini adalah menjelaskan tiga teori pertukaran sosial yang dapat dijadikan landasan untuk memahami situasi yang ada di sekitar kita. Dalam teori pertama, teori Homans akan dibahas dengan menjelaskan enam proposisi yaitu proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, agresi-penerimaan, dan rasionalitas.

 

Pada teori kedua, yaitu interdependensi (interdependence) dari Thibaut dan Kelley. Teori ini juga mengkonsepkan interaksi antara costs dan benefits. Namun berfokus dalam empat prinsip utama. Pertama, prinsip struktur, kedua, prinsip transformasi, dan yang ketiga, adalah prinsip interaksi, terakhir adalah prinsip adaptasi.


Pada teori ketiga, yaitu perspektif ekuitas dari Adams dan Walster. Dengan berfokus pada empat proposisi. Pertama, keuntungan maksimal, kedua, berperilaku adil, yang ketiga tidak adil berakibat stres, dan terakhir, individu membuat kembali setara.


Ketiga teori tersebut berfokus pada pertukaran sosial, namun masing-masing memiliki konsep yang berbeda satu sama lain.


Pertama, Perpektif Perilaku Elementer (George Homans, 1974)

 

Dalam gagasan yang diusung oleh George Homans, dia mencoba menantang gagasan awal dari Emile Durkheim. Bahwa sosiologi merupakan disiplin ilmu yang bebas dan fakta sosiologis tidak dapat dijelaskan dengan pendekatan psikologi. Akan tetapi, Homans tidak menerima hal tersebut. Baginya, seluruh perilaku sosial akan berhubungan erat dengan unsur psikologis.

Gagasan dalam teori pertukaran milik Homans bertumpu pada asumsi bahwa seseorang akan terlibat dalam perilaku guna memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Prinsip transaksi ekonomi pun ikut memberi pengaruh dalam gagasan tersebut. Adapun asumsi teori ini adalah interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Hanya saja dalam teori pertukaran, tidak dapat diukur dengan uang namun terdapat sejumlah hal nyata dan tidak.

Homans kemudian menjelaskan teori pertukaran sosialnya dalam enam proposisi, yaitu proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, agresi-penerimaan, dan rasionalitas.

Pertama, proposisi sukses

Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu. Proposisi ini menyatakan bahwa bila seseorang berhasil memperoleh ganjaran, maka ia akan cenderung mengulangi tindakan tersebut.

Kedua, proposisi stimulus

Jika di masa lalu, sebuah stimulus tertentu muncul, atau serangkaian stimulus, kemudian memberikan ruang di mana tindakan seseorang akan dihargai, maka semakin mirip stimulus yang terjadi saat ini dengan yang lalu, maka kemungkinan besar semakin peluang tindakan serupa terjadi saat itu juga.

Ketiga, propsosisi nilai

Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu. Apabila nilai sebuah tindakan makin bermakna, makin besar atau makin sering dia akan mengulangi tindakan tersebut.

Keempat, proposisi deprivasi-satiasi

Proposisi ini menjelaskan bahwa makin sering seseorang menerima ganjaran dari orang lain di masa lalu, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.


Kelima, proposisi agresi-penerimaan

Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya atau menerima hukuman yang tidak diinginkannya maka ia akan marah. Ia cenderung menunjukkan perilaku agresif dan hasil perilaku tersebut bernilai baginya. Bila tindakan seseorang memperoleh ganjaran yang lebih besar dari yang diperkirakan atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya, maka ia akan merasa senang.

 

Keenam, proposisi rasionalitas

Dalam memilih di antara tindakan alternatif, seseorang akan memilih yang mana, seperti yang dirasakan olehnya waktu, nilai hasil, dikalikan dengan probabilitas mendapatkan hasil, yang lebih besar.

 

Kedua, Perpektif Interdependensi (Thibaut & Kelley, 1959)

 

Teori interdependensi adalah teori pertukaran sosial yang menyatakan bahwa hubungan interpersonal didefinisikan melalui interdependensi interpersonal, yaitu “proses di mana orang-orang yang berinteraksi saling memengaruhi pengalaman satu sama lain”.

Teori Interdependensi pada awalnya diperkenalkan oleh Thibaut dan Kelley (1959) untuk menjelaskan bagaimana aspek dependensi bekerja dalam berbagai tema, misalnya konflik dan resolusi, atribusi, emosi, kepercayaan, komunikasi, motivasi, dan interaksi sosial. Tema pokok dalam kajian teori interdependensi adalah mengenai interaksi sosial.

Berbagai emosi dan motivasi manusia berakar dalam kajian interaksi sosial. Berbagai pemikiran dan perasaan yang dialami manusia juga bepijak pada interaksi sosial di masa lampau atau di masa depan. Misalnya, sepasang suami-istri yang saling memahami bagaimana pasangannya merasa tersinggung ketika diperlakukan oleh orang lain akan berpengaruh terhadap bagaimana suami atau istri memperlakukan pasangannya ketika menghadapi situasi yang sama.

Teori ini menjelaskan bagaimana interaksi sosial memegang peranan penting pada relasi interpersonal manusia. Secara teoretis, teori interdependensi merupakan teori yang komprehensif dalam menjelaskan konseptualisasi struktur dan proses dalam relasi interpersonal.

Teori interdependensi menggunakan dua alat untuk mengeksplorasi hasil dari relasi. Pertama adalah matriks dan kedua adalah daftar transisi. Tujuan dari representasi formal ini adalah bagaimana individu dapat mempengaruhi individu lainnya selama mereka berinteraksi. Interaksi merupakan relasi kebutuhan, motif, dan perilaku dari individu A kepada individu B pada sebuah situasi interdependen yang spesifik yang biasa dilambangkan dengan I = f (S, A, B).

Terdapat empat asumsi dasar teoretis dari teori interdependensi sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

Prinsip struktur

Untuk memahami fitur-fitur situasi interdependensi, maka hal yang harus dipahami adalah proses psikologis (motif, kognisi, dan afeksi), perilaku, dan interaksi sosial seperti apa yang terjadi pada pasangan. Situasi terkristal dalam taksonomi situasi, yakni derajat dependensi, mutualitas dependensi, kovariasi kepentingan, basis dependensi, struktur temporal, dan ketersediaan informasi.

Prinsip transformasi

Interaksi situasi dapat menjadi transformasi ketika seorang individu mempertimbangkan konsekuensi dari perilakunya dan perilaku orang lain, baik dampak pada dirinya maupun terhadap orang lain, dan juga dampak jangka pendek maupun dampak jangka panjang. Transformasi merupakan proses psikologis yang melibatkan unsur tujuan interaksi, yang melibatkan unsur afeksi, kognisi, maupun proses motivasional.

Prinsip interaksi

Interaksi adalah fungsi dari dua individu dan properti objek dari situasi. Situasi dapat mengaktivasi pengalaman spesifik yang menggambarkan motif, kognitif, dan afektif yang melibatkan dua individu sehingga menghasilkan respons yang bersifat mutual.

Prinsip adaptasi

Pengalaman berinteraksi secara berulang akan menimbulkan adaptasi yang akan membawa kedua individu masuk ke dalam proses tansformasi yang stabil. Adaptasi ini dapat menggambarkan perbedaan orientasi di antara pasangan, orientasi yang dianut oleh kedua belah pihak yang berinteraksi, serta kaidah-kaidah norma sosial yang disosialisasikan oleh golongan masyarakat tertentu.

 

Ketiga, Perspektif Ekuitas dari Adams (1963) dan Walster (1976)

 

Seorang individu akan mempertimbangkan bahwa ia diperlakukan secara adil jika ia melihat rasio input untuk hasil untuk menjadi setara dengan orang-orang di sekelilingnya. Teori Ekuitas terdiri dari empat proposisi:

1. Seseorang berusaha untuk memaksimalkan hasil mereka (di mana hasil didefinisikan sebagai hadiah dikurangi biaya).

2. Kelompok dapat memaksimalkan manfaat kolektif dengan mengembangkan sistem diterima untuk adil berbagi imbalan dan biaya di antara anggota. Sistem ekuitas akan berkembang dalam kelompok, dan anggota akan berusaha untuk membujuk anggota lain untuk menerima dan mematuhi sistem ini. 

Dalam kelompok, cara yang dapat mendorong anggotanya untuk bersikap adil adalah dengan membuatnya lebih menguntungkan untuk berperilaku secara adil. Dengan demikian, kelompok umumnya akan pahala anggota yang memperlakukan orang lain secara adil dan umumnya menghukum (meningkatkan biaya untuk) anggota yang memperlakukan orang lain tidak adil.

3. Ketika orang menemukan diri mereka yang berpartisipasi dalam hubungan tidak adil, mereka menjadi tertekan.Semakin tidak adil hubungan, individu-individu lebih merasa tertekan. Menurut teori keadilan, baik orang yang mendapat “terlalu banyak” dan orang yang mendapat “terlalu sedikit” merasa tertekan. Orang yang mendapat terlalu banyak mungkin merasa bersalah atau malu. Orang yang mendapat terlalu sedikit mungkin merasa marah atau malu.

4. Individu yang merasa bahwa mereka dalam upaya hubungan tidak adil untuk menghilangkan penderitaan mereka dengan memulihkan ekuitas. Semakin besar ketidakadilan, orang-orang kesusahan lebih terasa dan semakin mereka mencoba untuk memulihkan ekuitas.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel