Perjalanan Teori Psikoanalisis Sigmund Freud (Bagian I)
Vienna (1882)
Seorang perempuan yang mengalami kelumpuhan kaki dan
tangan, mengalami gangguan penglihatan dan berbicara hingga memiliki
kecenderungan kepribadian ganda. Bertha Pappenheim yang lalu dijuluki sebagai
“Anna O” oleh Dr. Josef Breuer dan Sigmund Freud karena memiliki serangkaian
symptom-symptom neurosis dari A-Z, sebelumnya adalah perempuan muda yang cerdas,
dan menarik. Ayahnya yang sakit keras lalu meninggal membuatnya mengalami
trauma hingga berdampak pada kesehatan jiwa dan raganya. Penyakitnya ini
kemudian didiagnosis oleh Breuer sebagai hysterical neurosis. Sebuah gangguan
neurosis yang hinggi saat itu tidak diketahui pasti penyebabnya.
Terapi awal dijalani Bertha melalui metode yang
disebut “talking cure”, sebuah metode katarsis verbal, dan beberapa symptom
Bertha hilang. Kondisi Bertha kemudian semakin membaik seiring dilakukannya
hypnosis. Terapi dihentikan ketika istri Breuer mulai cemburu atas interksi
Breuer yang begitu sering menghabiskan waktu dan tertarik pada fenomena yang
dialami Bertha. Setelah proses ini selesai, Bertha kemudian mengalami gangguan
lain yakni pseudocyesis atau kehamilan palsu. Rupanya Bertha melakukan proyeksi
perasaan dan peran pada Breuer. Ia melihat Breuer sebagai kekasih, ayah, musuh
sekaligus pahlawan. Kejadian ini dikemudian hari disebut Freud sebagai
transference.
Pengalaman ini membawa kontribusi bagi perkembangan
ilmu psikologi. Symptom-symptom hysterical mulai dapat dijelaskan sebagai
sesuatu yang memiliki dasar yang logis. Fenomena hysterical dilatarbelakangi oleh
pengalaman hidup yang tidak menyenangkan yang dimiliki seseorang. Pengalaman
tersebut terus terproses di alam bawah sadar, yang menuntut untuk diekspresikan
dan mengakibatkan kekacuan emosi. Symptom ini dapat dihilangkan dengan cara
merespon emosi terpendam ini, bereaksi atau memberi tanggapan melalui metode
katarsis. Serangkaian proses ini kemudian didokumentasikan dalam karya Studies
on Hysteria tahun 1895.
Paris ( Oktober 1885 -
Februari 1886)
Freud mendapat hibah
untuk berkesempatan mempelajari teknik hypnosis di Paris, yang dibawakan
langsung oleh ahli neuropatologis terkenal, Jean-Martin Charcot. Charcot
mengemukakan bahwa gangguan hysteria adalah gangguan fungsi dan bukan struktur
atau organ sehingga hypnosis adalah sebuah anestesi fungsional yang digunakan
dalam terapi hysteria. Setidaknya Freud mulai mengetahui bahwa hysteria
didasari oleh sesuatu yang psikologis bukan fisik dan fisiologi. Hysteria juga
terjadi pada lelaki, ini membuktikan asumsi bahwa hanya perempuan yang memiliki
rahim yang bisa menderita gangguan ini adalah keliru. Symptom-symptomnya bisa
dihilangkan, dimodifikasi atau dipulihkan melalui hypnosis. Bukan patologi
fisik, namun Ide lah yang menjadi dasar symptom-symptom pasien.
Vienna (1989)
Setelah banyak mempelajari
hypnosis dan menerapkannya dalam paraktek terapi, Freud menyadari bahwa teknik
ini tidak selalu berhasi. Bahwa tidak semua orang bisa berada pada kondisi
trance, yang memungkinkan proses hypnosis berhasil. Hingga akhirnya Freud mulai
untuk mencari teknik alternative yang kemudian secara tidak sengaja ditemukan
melalui proses terapi bersama pasiennya bernama Frau Emmy.
Frau Emmy, berusia 41 tahun beranama asli Fanny Sulzer
Wart Moser, merupakan istri kedua dari seorang manufacturer kaya Swiss bernama
Hendrich. Fanny memiliki gangguan halusinasi repetitif. Fanny sering berteriak
“Tetap ditempat!-Jangan mengatakan apapun!-jangan sentuh saya!” setelah
diterapi melalui katarsis dan hypnosis beberapa halusinasi Fanny hilang lalu
berubah. Seringkali ketika Freud meminta Fanny untuk mengingat sesuatu atau
menggali alas an-alasan mengapa symptom tertentu muncul Fanny selalu membuat
alasan, dan membuat metode hypnosis tidak begitu berhasil.
Freud kemudian memberi Fanny kebebasan untuk mengikuti
aliran perasaannya dan keinginannya dalam percakapan diluar hypnosis, karena
Fanny memninta agar ia bisa mengutarakan pikirannya tanpa di interupsi. Akhirnya
Freud beralih dari hypnosis yang mengutamakan teknik konsentrasi dan
pengendalian oleh terapis menjadi asosiasi bebas, dimana setiap prosesnya
didasari oleh keinginan otonom pasien.
Freud mulai berhipotesis bahwa pikiran dapat diarahkan
untuk membela ego seseorang secara sadar karena menyadari ketakutan,
ketidaknyamanan atau pikiran-pikiran yang sulit diterima. Freud mulai mengamati
bahwa emosi masa kecil, kejadian masa kecil dan konflik-konflik masa kecil
dapat menjadi rantai penyebab perilaku saat dewasa, hal ini ditandai dengan
kenangan Fanny semasa kecil tentang kematian, dan makanan tidak menyenangkan
yang masih tinggal dalam ingatannya. Penyelidikan yang mendalam harus dilakukan
untuk benar-benar mengetahu penyebab dasar munculnya symptom.
Vienna (1892)
Metode asosiasi bebas ini mulai bervevolusi ketika
Freud bertemu dengan salah satu pasiennya, Fraullein Von R. Tidak bisa
sepenuhnya bekerjasama dalam metode hypnosis akhirnya membuat Freud melakukan
metode percakapan yang lebih leluasa. Hal ini membuat Freud menemukan beberapa
hal, misalnya teknik konsentrasi, melihat pentingnya konflik dan represi, simbol
dan percakapan yang berlangsung juga apa yang kemudian disebut resistensi dan
defensif. Hingga akhirnya menemukan
metode asosiasi bebas. Berdasarkan pengalaman terapi yang diterapkan dan dari
pesan seorang penulis Ludwig Borne untuk menuliskan apa saja yang ada dalam
pikiran selama tiga hari akan membantu proses berpikir. Freud akhirnya
menerapkan teknik aosisasi bebas pada pasien-pasiennya. Mengutarakan secara
verbal semua hal di pikiran, tanpa sensor, tanpa memilah-milih dalam alasan
apapun. Cukup mengikuti alur pikiran, apapun yang dipikirkan saat itu. meskipun
banyak pasien yang kelihatannya sulit untuk mengikuti aturan baru ini, namun
Freud sering mengingatkan dan menggiring agar pasien untuk mengikuti alur
pikirnya, karena dari sanalah Freud akan berusaha mengurai logika kejadian
dalam diri pasiennya.
Referensi:
Sollod, R. N., & Monte, C. F. (2008). Beneath the mask: An introduction to theories of personality. John Wiley & Sons.