Mengapa Harus Memilih Psikologi Eksperimen?
Di dalam kelas online, saya duduk
dan terpaku mendengar penjelasan yang padat, singkat, dan cepat. Tentu saya
tidak sepenuhnya paham dengan poin-poin serta penjelasan dosen. Sebisa mungkin
saya mencoba memahami dengan membuat catatan-catatan kecil, sesekali bertanya
bila diberi kesempatan.
Saat mengikuti kelas ini, kelas
metode riset dan analisis data, saya selalu dihantui dengan kemungkinan-kemungkinan
pertanyaan yang tidak menentu. Pikiran-pikiran yang bercampur antara senang, cemas,
semangat, khawatir, hingga takut silih berganti mencuat dan cukup sulit untuk
ditenangkan. Saya curiga, membiarkan rupa-rupa pikiran itu tetap hadir adalah
pilihan yang mesti kutempuh.
Bila belajar dari pengalaman mencari
atau menemukan ide riset, perasaan seperti itu juga kerap muncul tiba-tiba.
Saya tidak bisa memberi nama perasaan itu, tapi barangkali adalah gabungan dari
rasa ingin tahu dan ketidaktahuan itu sendiri.
Setidaknya, belajar psikologi,
khususnya metode riset psikologi membantu saya untuk menerima kemungkinan
seperti itu. Bahwa ada kondisi di mana kita dituntut dan dibentuk menjadi
sesuatu yang rumit dan sulit terjelaskan. Alam pikiran begitu luas dan para pakar
akan mencoba mengkaji dan mencari ruang-ruang yang belum terjemah dengan jelas.
Di pertemuan pertama, dosen menegaskan
bahwa psikologi lahir dari budaya riset eksperimen. Beliau lalu memberi kritik
tentang banyaknya penelitian psikologi di Indonesia yang kurang mengedepankan
metode eksperimen. Tentu saja, ini membuat saya bertanya-tanya “mengapa harus
memilih metode eksperimen?”
Psikologi Eksperimen
Psikologi ekperimental
pada mulanya dikembangkan untuk mengetahui proses kognitif dasar seperti
sensasi, persepsi, ingatan, dan perhatian. Semua bermula ketika paruh kedua
abad kesembilan belas, Wilhm Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama.
Tepatnya pada tahun 1879,
ia mendirikan laboratorium formal pertama untuk riset psikologis di Universitas
Leipzig, dan membuat jurnal riset psikologis pertama pada tahun 1881. Hal itu
kemudian membuatnya dikenal sebagai bapak psikologi eksperimen sekaligus bapak
psikologi modern. Selain Wundt beberapa nama kemudian ikut melanjutkan langkah
Wundt, seperti Fechner, Helmholtz, Wundt, Ebbinghaus, Müller, dan Külpe.
Setelah di Jerman, G.
Stanley Hall membuka laboratorium psikologi eksperimental pertama pada tahun
1883 di Amerika Serikat di Universitas John Hopkins. Setelah itu, perkembangan
psikologi eksperimen kian pesat.
Penelitian eksperimen
sekiranya membuka ruang-ruang baru dalam memahami pikiran dan perilaku
seseorang. Ditambah lagi, peneliti sebenarnya bisa menemukan berbagai
kemungkinan yang sekiranya akan menjadi hasil yang menarik dari dugaan awal
kita.
Tentu akan menarik jika
kita bisa membahas berbagai penelitian eksperimen awal di psikologi hingga
kontemporer. Memasuki kelas metode riset tentu saja bisa menjadi kesempatan
saya untuk melatih diri sendiri dan belajar kembali tentang berbagai hal
menarik yang ada di dalam psikologi.
Saya juga belum menjawab
pertanyaan “mengapa harus memilih metode eksperimen?” meski di kelas, dosen sudah
menjelaskan dengan caranya sendiri, namun beberapa catatan yang sementara anda
baca ini barangkali adalah usaha saya untuk menjawabnya. Pun jika belum menemukan
jawaban, saya pikir pencarian itu kadang tak kalah menyenangkan dibanding
jawaban itu sendiri.