Cara Mengatasi Rasa Takut di Wabah Corona
Wabah Corona (Covid-19) dilaporkan terus
bertambah dari hari ke hari. Bahkan, Indonesia menjadi negara dengan tingkat
kematian tertinggi di dunia. Jumlah korban positif sebanyak 514 korban dan 48
dilaporkan meninggal dunia. Angka ini membuat Indonesia memiliki tingkat
kematian akibat Corona sebesar 9,3 persen. Angka ini bahkan mengalahkan tingkat
rata-rata dunia yang hanya berkisar sebesar 4,2 persen.
Laporan ini bersumber
dari Data Coronavirus Research Center Johns Hopkins University, per pukul 16.00
waktu setempat, Minggu (22/3) menunjukkan total kasus 307.297 dan kematian
13.049. Kabar buruk lainnya, Centre for Mathematical Modelling of Infectious
Diseases (CMMID), bahkan memprediksi virus Corona di Indonesia telah menelan
korban sebesar 70.000 atau lebih, hanya saja tidak terdeteksi dengan cermat.
Situasi ini tentu saja dapat menimbulkan
kecemasan hingga ketakutan bagi kita semua. Belum lagi sikap pemerintah yang
kurang responsif dalam menanggulangi penyebaran wabah Corona sedari awal. Dari
situasi ini pula, kita bisa melihat berbagai respon masyarakat dalam menghadapi
wabah ini.
Sejak pemerintah menerapkan himbauan social distancing,
beberapa di antara kita masih sulit untuk menerimanya. Bila belajar dari
Italia, social distancing yang gagal dijalankan di tengah merebaknya
wabah corona, berbanding lurus dengan jumlah kematian yang pesat bertambah.
Tentu saja tidak semua orang mampu
melakukan social distancing atau berdiam diri di rumah saja. Pasalnya,
ada beberapa yang menggantungkan hidupnya di luar rumah, wong cilik serta para
pekerja informal tentu harus mengalami rasa takut lain dibanding ketakutan akan
virus corona.
Pada titik ini, pemerintah sekiranya segera mencari strategi,
semisal memberi subsidi seperti yang dilakukan beberapa negara lainnya. Di
tengah kebuntuan ini, kita harus menerima kabar buruk lainnya, bahwa, para
wakil rakyat lebih mengutamakan kesalamatan diri mereka dibanding rakyat.
Kebijakan untuk melakukan tes covid-19 bagi wakil rakyat dan keluarganya secara
gratis tampaknya akan membuat kita semakin khawatir. Masihkah pemerintah
memberi prioritas pada masyarakat yang lebih membutuhkan?
Selain sikap pemerintah yang seperti itu,
beberapa kelompok masih tetap saja bebal untuk tetap beraktivitas bahkan
menciptakan keramaian yang mengundang tersebarnya virus corona lebih cepat.
Misalnya saja, aktivitas Ijtima Ulama Dunia 2020 Zona Asia di Desa Pakkatto,
Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Meski dibatalkan,
tapi para peserta telah berkumpul dan bertemu dari lintas daerah. Salah seorang
peserta bahkan dinyatakan telah mengalami demam tinggi setelah mengikuti
kegiatan ini. Pada kasus ini, mereka sama sekali tak punya rasa takut akan
terserang virus corona. Pasalnya, keyakinan lain yang membentuk persepsi
tersebut menjadi benteng untuk menolak fakta dan data ilmiah.
Perihal Rasa Takut
Rasa takut kadang digunakan senjata untuk
mencegah sesuatu terjadi lebih buruk dari sekarang. Seperti halnya yang
dilakukan pihak kesehatan dengan membuat iklan yang menawarkan rasa takut.
Dengan cara memperlihatkan efek atau kemungkinan buruk dari sebuah penyakit.
Berdasarkan sebuah meta-analysis berjudul The Impact of Vulnerability to and
Severity of a Health Risk on Processing and Acceptance of Fear-Arousing
Communications: A Meta-Analysis dari Natascha de Hoog bersama rekannya,
salah satu temuannya menjelaskan bila rasa takut dalam iklan atau penyebaran
informasi sulit tersampaikan bila penerima belum pernah mengalaminya.
Bahkan,
semakin banyak informasi ketakutan akan hal tersebut cenderung akan membuat
seseorang tak lagi peduli dengan pesan yang ingin disampaikan. Seperti yang
terjadi pada iklan di kemasan rokok sekarang.
Menyikapi respon tersebut, kita butuh strategi
komunikasi yang lebih solutif. Mulai dari membangun rasa percaya dengan lebih
terbuka kepada masyarakat. Lalu menyiapkan langkah-langkah sistematis bagi masyarakat
untuk memeriksakan kesehatan. Tentu saja, ini berpeluang untuk menekan
menyebarnya Corona.
Belum lagi, hoax yang terus bertebaran di
tengah maraknya wabah corona. Seseorang yang belum positif pun kerap kali
diisukan sudah terjangkit dan menyebarkan ketakutan atau rasa cemas berlebih. Di
sisi lain, ketidakpastian yang terus terjadi dalam penanganan wabah corona
membuat masyarakat kita panik dan takut dengan situasi ini.
Akibatnya, mereka
berani membeli barang dalam jumlah banyak atau dapat disebut sebagai panic
buying. Bahan konsumsi hingga alat kesehatan pun menjadi target hingga
ketersedian itu tak lagi tersebar secara merata.
Menghadapi Rasa Takut
Di tahun 1999, sebuah gempa besar melanda
Turki. Bencana alam tersebut menewaskan kurang lebih 17.123 orang dan sebanyak
43.953 orang mengalami luka-luka. Dari peristiwa ini, Metin Başoğlu, seorang
profesor sekaligus pendiri Instanbul Center for Behavior Research &
Therapy, mencoba melakukan sebuah penelitian. Sekiranya penelitian ini bisa
kita kaitkan dengan wabah corona yang kian hari semakin mencemaskan.
Sebelum membahas wabah corona hari ini,
mari kita kembali ke penelitian Metin Başoğlu terlebih dahulu. Pada dasarnya,
penelitian Metin bertujuan untuk melihat respon emosional dari para penyintas
yang masih bertahan dari bencana. Data awal sebelum penelitian dimulai
memperlihatkan bilamana sebagian besar korban tidak ingin kembali ke rumah
lantaran rasa takut dan trauma yang muncul seketika. Tentu saja respon itu
terbilang wajar sebagai hasil dari guncangan psikologis saat bencana besar
menimpa seseorang.
Berawal dari itu, peneliti kemudian mulai
bertanya, apa yang mesti kita lakukan untuk menghadapi rasa takut? Metin
beserta rekan-rekannya kemudian menguji sebuah bentuk terapi yang diberi nama, Control
Focused Behavioral Treatment (CFBT). Secara mendasar, para peserta penelitian
menerima informasi yang menguatkan keyakinan mereka dan tidak terpapar dengan
ketakutan yang selama ini tersimpan dibenaknya. Peneliti mencoba mengendalikan
stres atau rasa cemas dengan memberikan intervensi psikologis.
Pelajaran penting dari penelitian tersebut
sekaligus bahan diskusi, adalah sangat penting untuk menjaga atau menghindari
informasi berlebih yang dapat mengancam kesehatan mental kita. Situasi sekarang
amat rentan untuk menghadapi tekanan berlebih. Hal itu akan buruk terhadap
pengambilan keputusan serta cara pandang kita. Selain itu, dukungan sosial dari
orang-orang di sekitar akan sangat penting untuk tetap membangun rasa percaya
dan aman.
Selain keluarga, sekiranya negara pun turut ambil bagian dalam
membangun rasa percaya dan aman kepada masyarakatnya, bukan malah menambahkan
rasa takut yang tak bertepi.