Kasus Corona dan Kesehatan Mental Kita

Corona Virus




Sejak pemerintah mengumumkan perihal masuknya kasus Corona di Indonesia, proses penyebaran Corona pun kian bertambah. Beberapa kota di Indonesia kemudian diumumkan positif terjangkit. Masalah ini bukan hal sepele. Bahkan World Health Organization (WHO) merilis bahwa Corona sebagai pandemi global. 

Berdasarkan data terakhir (15/3) dari worldometers.info/coronavirus/ tercatat bahwa Coronavirus COVID-19 telah menjangkau 155 negara dengan jumlah total korban sebesar 159,751 orang. Sebanyak 5.961 dinyatakan meninggal dan 75.959 masih dalam tahap penyembuhan. Celakanya lagi, peneliti belum menemukan vaksin yang tepat untuk menangani virus Corona ini. 


Pemerintah Indonesia dinilai lamban dalam merespon kasus ini. Terbukti dengan surat dari WHO tertanggal 10 Maret 2020 yang ditandangani langsung oleh Direktur Jenderal WHO, Thedros Adhanom. Salah satu amanat dari surat itu meminta agar Jokowi lekas mendeklarasikan darurat nasional virus corona. 

Lambannya respon pemerintah terhadap kasus ini jelas akan berdampak pada respon masyarakat kita. Rasa was-was tentu saja terus bertambah, belum lagi pemerintah tidak mempersiapkan secara matang upaya melawan Corona. Berdasarkan data dari laman Kementerian Kesehatan, data terbaru (15/3) kasus Corona di Indonesia kini mencapai 117 orang.

Salah satu dampak yang jarang diperhatikan adalah dampak psikologis yang terjadi. Berbagai dampak psikologis seperti cemas, ketakutan, hingga panik yang berlebihan. Ada juga yang mesti menghadapi depresi lantaran pekerjaan terhambat hingga penghasilan menjadi tak menentu. Salah seorang kawan yang bekerja di bidang pariwisata bercerita jika memberhentikan pegawainya untuk sementara akibat pendapatan yang terus berkurang. 

Selain pariwisata, sektor ekonomi pun dapat membawa guncangan psikologis pada kita. Beberapa barang, seperti masker dan handsanitizer mampu meningkat sebesar sepuluh kali lipat dari harga aslinya. Sembako pun terancam meningkat harganya. Belum lagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mengalami bearish dan nyaris dihentikan di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, pandemi COVID-19 jelas mengancam perekonomian dunia.

Menguji Kesehatan Mental Kita

Kasus Corona ini tentu akan memuculkan perilaku yang berbeda dari biasanya. Salah satu yang paling tampak dan mudah kita amati adalah, panic buying. Kondisi ini membuat seseorang membeli barang dalam jumlah yang besar sebagai bentuk antisipasi dari bencana atau musibah yang tengah terjadi. Terlebih lagi saat diperkuat atas insting hidup yang dimiliki manusia, perilaku ini akan semakin menguat dan termasuk sebagai perilaku kolektif. 

Hanya saja, perilaku ini akan berdampak pada kelompok masyarakat yang secara ekonomi tak berdaya. Kepanikan yang muncul disertai dengan ketakutan kerap membuat nalar seseorang berhenti bekerja. Satu-satunya yang dipikirkan hanyalah keselamatannya sendiri. Tapi di sisi lain, ini menjadi penentu untuk melihat bagaimana kondisi mental kita bekerja. 

Bagaimana kesehatan mental memberi pengaruh dalam menghadapi kasus Corona? Patut dipahami, kepanikan bisa dibilang seperti nyala api yang bila terus dijaga akan terus membesar dan membakar apa saja. Termasuk dengan rasa aman hingga empati kita pada sesama. Maraknya kasus timbun menimbun, mungkin bisa menjadi cerminan betapa banyaknya orang-orang yang masih mencari keuntungan dalam kondisi yang lebih menuntut nilai-nilai kemanusian kita dijalankan. 

Mereka menimbun lalu menjual dengan harga mahal, dan lantaran panik dan takut, orang pun rela membeli meski harga tak lagi seperti sediakala. Belum lagi pemerintah tidak membuat kebijakan khusus terkait maraknya kasus timbun menimbun, membuat orang-orang bebas berbuat apa saja. Lalu, sampai kapan kita ingin menjaga kepanikan tersebut? Secara biologis pun, kepanikan dapat melemahkan imun dan hal itu tentu tak semakin memberi ruang sehingga kita terserang Corona lebih mudah.  

Melawan Corona

Selain yang sempat dijelaskan di atas, masih banyak kemungkinan yang mungkin belum sempat diamati. Namun pada kondisi seperti ini, pemerintah memiliki peran besar dalam mencipta dan mengambil kebijakan yang mampu memberi perubahan signifikan. Selain pemerintah, peran media pun memberi kontribusi besar dalam membentuk situasi psikologis masyarakat kita. 

Penyebaran informasi yang simpang siur, ketidakjelasan penanganan, serta bertebarannya hoax akan kasus Corona dapat memperburuk situasi. Belum lagi derasnya arus informasi melalui media sosial membuat kita mesti leih cermat untuk menyaring berbagai informasi yang bertebaran. Di luar dari semua itu, bertanggungjawab atas diri sendiri akan memberi 

Dalam menghadapi kasus Corona ini, salah seorang profesor di Universitas Carnegie Mellon dan seorang ahli dalam persepsi publik tentang risiko dan penilaian manusia dan pengambilan keputusan memberikan tiga saran penting yang dapat memberi pengaruh pada kesehatan mental kita nantinya. 

Pertama, masyarakat harus bijak dan mampu melihat berita atau informasi yang terpercaya. Hal itu jelas akan memberikan ketenangan dan menghilangkan rumor yang tidak baik untuk kesehatan mental kita. 

Kedua, kita dapat melakukan analisis risiko secara sederhana. Kita dapat membuat pertanyaan perihal kemungkinan kita terjangkit atau tidak, menganalisis beberapa kejadian yang memiliki risiko kita terkena Corona. Dengan itu, kita bisa mengatur perencanaan lebih baik. Terakhir, membuat manajemen risiko. Bila kita paham bahwa situasi masih terbilang aman, kita dapat melakukan langkah pencegahan. Begitupun sebaliknya. 

Tentu saja, menghadapi kasus Corona bukan hal yang mudah. Tapi setidaknya, dengan menyusun rencana atau strategi yang tepat, kita dapat menghadapinya lebih tenang. Serta tidak diserang kepanikan, ketakutan, hingga stres yang berlebih. Semoga saja kasus Corona segera berlalu dan kita tetap kuat mental menghadapi segalanya.  

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel