Rekonstruksi Kebahagiaan ODHA: Selamat Hari AIDS Sedunia, 1 Desember
Setiap 1 Desember, kita memperingati Hari AIDS Sedunia. Dengan cara itu pula, kita belajar untuk memahami dan mempelajari kondisi yang terjadi di seputar mereka yang mesti berjuang melawan HIV/AIDS. Tentu saja, kita dapat belajar banyak hal dari rangkaian peristiwa yang kemudian mesti mereka lalui.
Hari AIDS Sedunia pada mulanya diperkenalkan media saat pemelihan Presiden AS 1988 dan saat itu menjelang Hari Raya Natal. James Bunn, seorang pegawai humas di WHO melakukan kampanye-kampanye terkait dengan HIV/AIDS. Bunn aktif melakukan berbagai kampanye pencegahan bersama Thomas Netter, rekannya di WHO. Tak lama setelah itu, mereka mengajukan rancangan Hari AIDS Sedunia kepada Direktur Program Global terkait AIDS di WHO, Jonathan Mann. Selanjutnya, WHO memutuskan 1 Desember sebagai Hari AIDS Sedunia sejak 1988.
Menjadi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tentu menimbulkan efek psikologis yang berat. Menyambut peringatan Hari AIDS sedunia, yang jatuh pada tanggal 1 Desember, kami akan mengulas perihal kebahagiaan ODHA. Kami merujuk penelitian Beta Kurnia Arriza, Endah Kumala Dewi, Dian Veronika Sakti Kaloet dari Universitas Diponegoro.
Hasil survei menyatakan bahwa
ODHA mengalami ketakutan dan
keputusasaan ketika mengetahui bahwa
dirinya terinfeksi HIV/AIDS. Ketakutan
tersebut biasa dikaitkan dengan kondisi
kesehatan mereka selanjutnya dan muncul
karena kurangnya informasi mengenai
HIV/AIDS itu sendiri. Berdasarkan
beberapa hasil survei tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa ODHA mengalami
ketakutan, putus asa, hingga depresi
yang menunjukkan ketidakbahagiaan yang mereka rasakan, karena mereka lebih
banyak merasakan afek negatif. Padahal,
sedikitnya afek positif (seperti kebahagiaan)
yang dirasakan berhubungan dengan
banyaknya gangguan psikologis yang ada. Namun, tidak menutup ruang bagi ODHA untuk merasakan kebahagiaan layaknya orang normal.
Tiga Tipe Kebahagiaan
Snyder dan Lopez (2007) mengemukakan mengenai tiga tipe
kebahagiaan, yakni sebagai berikut:
a. Teori pemuasan kebutuhan/ tujuan,
bahwa pengurangan ketegangan atau
pemuasan kebutuhan membawa seseorang pada kebahagiaan. Dengan kata lain,
individu bahagia setelah mencapai
tujuannya.
b. Teori proses/ aktivitas, bahwa
melibatkan diri pada aktivitas hidup
tertentu dapat membawa kebahagiaan.
Dengan kata lain, proses mencapai
tujuanlah yang membawa seseorang pada
kebahagiaan.
c. Teori genetis-kepribadian, bahwa
seseorang yang memiliki kepribadian
ekstroversi cenderung bahagia, dan
sebaliknya, seseorang yang memiliki
kepribadian neurotisme cenderung tidak
bahagia. Dengan kata lain, kebahagiaan
bersifat stabil.
Selain dari tiga teori kebahagiaan di atas, masih banyak bentuk kebahagiaan lain yang dijelaskan dalam penelitian psikologi positif. Pada penelitian ini, peneliti menjelaskan beberapa teori kebahagiaan seperti yang dipaparkan Snyder, Carr, dan Seligman.
Pada penelitian ini, dilakukan pada tiga ODHA, dengan inisial TO, AG dan NR. TO (lakilaki; status kesehatan: positif HIV; perilaku
risiko: penggunaan narkotika suntik), AG
(laki-laki; status kesehatan: positif HIV;
perilaku risiko: penggunaan narkotika
suntik), dan NR (perempuan, status
kesehatan: AIDS; perilaku risiko: hubungan
seks dengan suami yang positif).
Pengambilan data dilakukan bulan Juni hingga Oktober 2010.
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan desain penelitian kualitatif,
dengan pendekatan fenomenologis. Data
yang berisi rekonstruksi kebahagiaan ODHA
diungkap dengan menggunakan wawancara
secara mendalam. Metode wawancara yang
akan digunakan oleh peneliti adalah
wawancara semi-terstruktur. Selain wawancara, peneliti juga menggunakan observasi terhadap bahasa nirverbal subjek.
Observasi dilakukan dengan menggunakan
teknik Narrative types, dimana
pengumpulan (pencatatan) data oleh
observer apa adanya sesuai (sama)
dengan kejadian dan urutan kejadiannya
sebagaimana yang terjadi pada situasi nyata.
Rekonstruksi Kebahagiaan ODHA
Dengan proses penyesuaian yang dialami,
maka TO dan AG mengalami rekonstruksi
kebahagiaan, sementara NR mengalami
derekonstruksi kebahagiaan. TO dan AG
melakukan perubahan afeksi untuk dapat
meningkatkan kebahagiaannya, dengan
mengembangkan emosi positif terhadap
masa lalu (rasa syukur, rasa bangga);
terhadap masa sekarang (senang ketika
menolong ODHA, berafiliasi); juga
terhadap masa depan (optimisme dan
harapan).
Selain perubahan afeksi, rekonstruksi
kebahagiaan yang dialami TO dan AG
juga melibatkan perubahan kognisi.
Pertama adalah internal locus of control,
ketika mereka mengambil tanggung
jawab untuk mengontrol penyakitnya dan
menjaga kesehatannya; efikasi coping
yang merupakan kepercayaan yang
dimiliki individu bahwa mereka dapat
memunculkan perilaku yang sesuai untuk
mengelola stresor dengan baik (Passer
dan Smith, 2008); juga kontrol
diri, ketika mereka mengarahkan kognisi,
perilaku dan perasaan untuk dapat
mencapai yang diinginkan.
Ketiga subjek memaknai kebahagiaannya
secara berbeda. TO, memaknai
kebahagiaannya aktivitas (menolong
ODHA) dan pemenuhan kebutuhan
(materi, hubungan baik dengan
keluarga dan pacar). AG, memaknai
kebahagiaannya sebagai aktivitas
(menolong ODHA) dan pemenuhan
kebutuhan (materi). Ketika pemaknaan
kedua subjek tersebut dibandingkan
dengan pemaknaan kebahagiaan subjek
sebelum positif HIV, dapat diambil
kesimpulan bahwa subjek mengalami
pengembangan makna kebahagiaan.
Pemaknaan kebahagiaan tersebut akhirnya
membuat kedua subjek dapat merasakan
kebahagiaan. Kebahagiaan yang diperoleh
ketika melakukan kebaikan ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Otake
dkk (2006), bahwa ketika melakukan
kebaikan, individu menjadi lebih bahagia
dan menjadi lebih bersyukur, di mana
keduanya timbal balik antara kebaikan dan
kebahagiaan.
Kebahagiaan yang dirasakan TO dan AG
tetap tidak lepas dari emosi negatif, di
mana TO mengalami burn out ketika
menghadapi ODHA dengan kondisi
kesehatan yang buruk dan ODHA
yang tetap putus asa; serta kecemasan
akan kondisi kesehatan pasangan ketika
menikah nantinya. AG mengalami
kecemasan akan kondisi kesehatan di
masa datang dan juga penyesalan masa
lalu.
Namun demikian, TO dan AG
mencoba untuk mengelola emosi negatif
tersebut dengan melakukan coping
berfokus pada masalah, sehingga TO dan
AG merasa dapat mengendalikan emosi
negatif tersebut dan tetap merasa bahagia.
Sementara itu, NR memaknai
kebahagiaannya sebagai pemenuhan
kebutuhan (kebutuhan finansial,
perhatian dari suami, penampilan yang
cantik dan menarik, sehat serta kondisi tidak ada beban).
Ketika dibandingkan
dengan pemaknaan kebahagiaan subjek
sebelum positif HIV, dapat diambil
kesimpulan bahwa subjek mengalami
persamaan makna kebahagiaan. NR
memaknai kebahagiaannya tanpa
menyesuaikannya dengan kondisi dirinya
saat ini yang sudah mengalami banyak
perubahan. Pada akhirnya, pemaknaan
tersebut membuat NR lebih banyak
merasakan emosi negatif daripada emosi
positif, dengan berbagai infeksi
oportunistik yang dialami, luka kering
di kulit, kurus, dan suami yang bekerja di
luar rumah.
Demikianlah kondisi kebahagiaan dari ODHA dalam penelitian yang dilakukan di tahun 2010. Sekiranya, ini bisa memberikan kita pandangan atau perspektif untuk dapat berempati kepada ODHA. Selamat Hari AIDS Sedunia!
Referensi:
Arriza, B. K., Dewi, E. K., & Kaloeti, D. V. S. (2011). Memahami rekonstruksi kebahagiaan pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Jurnal Psikologi Undip, 10,(2).
Otake, K dkk. (2006). Happy People
Become Happier Through Kindness:
A Counting Kindnesses
Intervention. Journal of Happiness Studies. September
7(3):361-375.
Passer, M.W. & Smith, E. (2008).
Psychology. The Science of Mind and
Behavior. New York: McGraw Hill.
Snyder, C.R. & Lopez, S.J. ( 2007).
Positive Psychology. The Science
and Practical Explorations of Human
Strengths. London: Sage Publication.