Menulis Membantu Kita Pulih dari Rasa Sakit dan Itu Gratis!
INDOPOSITIVE.org— Saya
mulai mimisan, saat cuaca terlalu panas atau terlalu dingin, ketika kuliah saya
memasuki tahun kedua. Itu mulai terjadi saat saya pertama kali mendaki gunung.
Sewaktu
SMP, pada hidung saya memang terasa ada yang salah. Saat berbaring menjelang tidur
saya selalu kesulitan bernapas, seolah ada yang menghalangi udara masuk ke sana.
Ketika siklus mimisan saya berlanjut hingga tahun kelima kuliah, saya semakin
yakin bahwa ada yang salah.
Saya
membawa kecurigaan itu ke puskesmas salah satu kabupaten saat mengikuti sebuah
kegiatan pelatihan. Dari pemeriksaan singkat para dokter di puskesmas, saya
didiagnosis mengidap sinusitis.
Hasil
diagnosis itu menjadi tegak setelah saya berkonsultasi dengan salah satu dokter
praktik di Makassar beberapa minggu lalu, karena merasa kondisi pernapasan
makin buruk.
Melalui
sebuah prosedur medis yang dokter sebut rhinoskopi,
saya dibaringkan di sebuah ruangan berdinding dan berperabot serba putih. Di
hadapan saya, sebuah monitor terhubung dengan mesin.
Itu
adalah mesin yang digunakan untuk menjelajahi hidung lewat mikro-kamera berdiameter
serupa selang infus. Sementara itu, antarmuka di monitor menampilkan proses
penjelajahan mikro-kamera.
Lewat
monitor itulah saya mengetahui bahwa ada gumpalan cairan di dinding hidung
sebelah kiri saya. Sesuatu yang disebut sinusitis.
Setelah
pemeriksaan, saya diberi empat bungkus pil dan sebotol antibiotik untuk
diteteskan ke hidung. Semua obat itu, jika ditotal dengan biaya pemeriksaan,
dapat menyentuh angka jutaan.
Saya
akhirnya merelakan uang dalam jumlah tersebut karena telanjur melewati
prosedur. Uang yang harusnya saya gunakan sebagai modal turun lapangan untuk
pengerjaan tugas akhir.
*
Sinus,
sebenarnya, bukan penyakit mematikan. Tapi gejalanya benar-benar mengganggu
aktivitas. Puncak gangguan sinus adalah pada malam hari, dan itu sudah saya
rasakan sejak sekolah menengah pertama.
Untuk
mengalihkan gangguan, biasanya saya memilih cara termudah: membaca buku,
menonton film atau menulis di blog. Tapi membaca dan menonton biasanya tidak
membantu saya teralih.
Saya
benar-benar teralih hanya saat menulis—tentang masa-masa sulit—di blog. Pengalihan
itu membuat gangguan sinus berangsur-angsur reda dan saya bisa tidur dengan
tenang.
Saya
akhirnya terdorong untuk mencari tahu. Apakah aktivitas menulis tentang situasi
sulit dapat membantu pemulihan pada gangguan medis. Hal itu juga saya lakukan,
mengingat pengetahuan populer tentang manfaat menulis kebanyakan hanya mengeksplorasi
aspek psikologis.
*
Temuan
paling awal tentang manfaat medis dari aktivitas menulis berasal dari tahun
1986. Ditulis oleh profesor James Pennebaker, dalam laporan Confronting A Traumatic Event. Toward An
Understanding of Inhibition and Disease. Laporan ini terbit dalam Journal
of Abnormal Psychology.
Pennebaker
bersama beberapa rekannya menguji 46 mahasiswa dalam kelas pengantar psikologi.
Mahasiswa yang menjadi subjek diminta menghabiskan lima belas menit selama
empat hari untuk menulis tentang trauma terbesar dalam hidup mereka. Sementara
mereka yang tidak memiliki trauma, diminta menceritakan tentang waktu tersulit
dalam hidupnya.
Dari
dua puluh orang mahasiswa dalam kelompok eksperimen yang menulis tentang
pengalaman traumatik dan waktu tersulitnya, sebagian besar menangis di tengah
sesi, namun tetap melanjutkan aktivitas menulisnya . Sementara kelompok kontrol
menulis deskripsi tentang sesuatu yang netral seperti pohon atau kamar asrama.
Ada
dua temuan dalam penelitian ini yang memengaruhi banyak penelitian serupa di
tahun-tahun selanjutnya. Temuan pertama menunjukkan bahwa mahasiswa yang
mengungkap pengalaman traumatik dan waktu tersulitnya benar-benar mengurangi kunjungan
untuk pemeriksaan kesehatan ke dokter secara signifikan saat dipantau selama
enam bulan. Sementara mahasiswa yang menulis tentang deskripsi netral tidak
menunjukkan perubahan signifikan.
Sedangkan
temuan kedua, adalah temuan khusus. Disebut demikian karena hanya diuji pada
beberapa subjek yang bersedia. Mereka diberi anestesi dan melewati proses biopsi (pengangkatan jaringan atau sampel sel dari
tubuh untuk mendiagnosis suatu penyakit).
Luka
dari biopsi umumnya berukuran empat millimeter, dan sembuh dalam beberapa
minggu. Proses penyembuhan rupanya terjadi lebih cepat pada subjek yang
sebelumnya menghabiskan waktu untuk menuliskan tentang trauma, waktu tersulit,
atau pikiran lain yang dirahasiakan.
Untuk
temuan kedua, menjadi hal yang secara konsisten muncul pada beberapa penelitian
replikasi atau dengan tema serupa. Sedangkan temuan pertama tidak muncul
sesering temuan kedua.
Temuan
dalam penelitian ini awalnya diasumsikan hanya terjadi karena katarsis. Dengan
spekulasi bahwa orang merasa lebih baik karena mereka membiarkan perasaan
terpendam mereka. Tapi saat Pennebaker menggali lebih jauh pada bahasa yang
digunakan orang-orang dalam tulisan mereka, dia menemukan hal lain.
Rupanya,
jenis kata yang digunakan tiap subjek terus berubah selama empat sesi. Mereka
yang lukanya sembuh lebih cepat mulai dengan menggunakan banyak kata “aku”,
lalu sesi selanjutnya menggunakan kata ganti orang kedua seperti ”dia”.
Mereka
juga menggunakan kata seperti “karena”, yang menunjukkan pemahaman terhadap
peristiwa dalam narasi. Hal ini meyakinkan Pennebaker bahwa tindakan menamai
perasaan dan menceritakannya dalam tulisan, entah bagaimana, memengaruhi sistem
kekebalan tubuh.
Satu
dekade kemudian, Joshua Smyth yang merupakan rekan penelitian Pennebaker dalam
penelitian sebelumnya, kembali menguji temuan mereka.
Smyth
tidak mengujinya ke 46 mahasiswa. Tapi pada 112 pasien dengan artritis atau
asma. Smyth ingin melihat apakah aktivitas menulis tentang pengalaman stres
dapat mengurangi penderitaan fisik pada pasien dengan penyakit kronis.
Smyth
meminta 112 pasien ini untuk menulis dalam jurnal dalam waktu dua puluh menit selama
tiga hari berturut-turut tentang insiden yang menimbulkan tekanan emosional
atau rencana mereka untuk hari itu.
Penelitian
ini berhasil mengungkap, bahwa mereka yang menulis tentang kecemasannya di atas
kertas, 50% menunjukkan beberapa pemulihan setelah empat bulan. Sementara pada pasien
yang menulis topik netral hanya sekira 25% yang menunjukkan gejala pulih.
Terakhir.
Bukankah ini aneh? Mengapa dengan banyaknya temuan soal manfaat medis dari aktivitas
menulis, para dokter masih menganjurkan prosedur pengobatan yang sudah digunakan
sejak abad pertengahan? Bukankah menulis lebih murah dari empat bungkus pil
pahit seharga 1.000.000 rupiah?