Usaha Saya Memaknai Rasa Iri
INDOPOSITIVE.org—Di kamar 710 di salah satu penginapan yang cukup
mewah. Perabotnya dilengkapi pendingin ruangan Daikin, juga televisi Philips
yang menampilkan gambar jernih, meja dan kursi, di setiap sudut ruangan
dilengkapi sumber listrik sebagai hal yang paling dicari setiap saat, dua
ranjang empuk untuk tidur nyenyak, di antara dua ranjang disiapkan telepon
rumah dan menu makanan. Sewaktu-waktu saat lapar atau haus tak perlu banyak
bergerak untuk mengeluarkan banyak energi untuk meraih semua alat dan bahan dapur, tapi cukup
dengan menggapai telepon dan menekan angka untuk menghubungi resepsionis. Hanya
menunggu selama beberapa waktu, seorang pelayan akan mengetuk pintu di balik
kamar mengantarkan pesanan.
Apakah yang saya akan lakukan di ruangan ini? Ada konflik
dalam diri untuk merasakan nikmatnya bermalas-malasan atau melawan itu dan melakukan
sesuatu yang berbeda. Saya meraih tas dan melihat satu buku terjemahan kumpulan
esai George Orwell, buku yang saya bawa tiap saat untuk menemani waktu luang.
Buku itu hanya berjumlah 116 halaman, saya baca dalam beberapa minggu. Setelah
membacanya saya pun terlelap.
Lalu, saya terbangun dalam mimpi yang tak jelas dan
kabur pada pukul 05.33, melihat buku itu masih tergeletak. Beranjak dari
ranjang menuju kamar mandi, saya membasuh muka dengan air hangat sebelum melanjutkan
bacaan. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk menyelesaikannya.
Ternyata sedikit lebih cepat menyelesaikan ratusan
halaman dibanding menghisap empat batang rokok dan menghabiskan satu gelas
kopi. Tidak ada lagi buku untuk dibaca. Mengingat kembali esai seorang Orwell
yang menceritakan dirinya seorang perokok dan pembaca buku sekaligus sebagai
penulis yang membandingkan harga setiap batang rokok yang telah dihabiskan
dengan membeli sebuah buku untuk diselami. Di dalam salah satu esainya yang menuangkan
tulisan tentang bom atom yang hanya sekejap dapat melenyapkan kehidupan.
Menceritakan Ghandi, Hitler dan masih banyak gagasan pikiran yang
dituangkannya.
Iri kepada Orwell yang dapat memikirkan hal yang
sangat rumit seperti itu untuk dipirkan oleh saya. Apakah saya akan memukul,
melempari dan menembak seorang Orwell lantaran karena saya iri padanya? Saya
jelas merasa iri.
Kadang kala perasaan iri akan muncul dalam diri
ketika melihat seseorang memiliki hal yang lebih dari kita. Namun apakah karena
iri kita harus melakukan kekerasan atau perilaku yang agresif. Perasaan Iri
hati (envy) dijelaskan oleh Geoffrey
Chaucer dalam karyanya The Canterbury
Tales, dia adalah seorang sastrawan, sekaligus filsuf dan diplomat birokrat
inggris, sering juga disebut sebagai bapak Sastra Inggris. Chaucer menjelaskan
bahwa ada dua cara berbeda di mana kata iri hati digunakan.
Pertama adalah iri hati bersifat destruktif atau yang merusak dan dipakai untuk menyerang individu
atau kelebihan, kebaikan dan kebajikan yang
kita kagumi.
Kedua adalah iri hati yang konstruktif tidak memiliki
sifat merusak, terdiri dari kesedihan yang datang begitu saja saat mengagumi
sesuatu yang dimiliki orang lain sehinga kita akan menyadari akan kekurangan
dalam diri.
Saya tidak akan membunuh Orwell atau membumi
hanguskan karya-karyanya yang luar biasa. Namun saya terinspirasi untuk menghormati
karyanya dengan membaca dan menyimpan bukunya dengan rapi di rak buku. Saya
mencoba memahami diri ketika iri hati menyerang. Saya memilih iri hati yang
membangun sesuai kemampuan yang saya miliki seperti yang telah diajarkan
Ghandi. Karena itu akan membangun peradaban tanpa menghancurkan atau membunuh
manusia.
Saya ingin mengajak anda jalan-jalan ke kota saya
dilahirkan. Di perbatasan salah satu kota, ketika kita melangkahkan kaki untuk
berjalan di sana, setiap saat akan merasakan
suasana yang hangat. Sepanjang jalan protokol penyambung kota lainnya kita akan
melihat sawah yang hijau saat musim tanam tiba dan pemandangan yang hijau saat
musim panen dipestakan.
Ketika kita
memperhatikan atau melihat kehidupan di setiap sudut kota, sangatlah
memprihatinkan, tidak diisi oleh kedamaian seperti padi mengisi sawah-sawah
yang humus. Perasaan yang mencekam akan dirasakan karena dihuni oleh masyarakat
yang dipenuhi iri hati. Sangat berasalan saya mengatakan itu, karena jarang
kita temukan suatu kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat disebabkan oleh iri
hati. Taruhlah saya menceritakan peristiwa penikaman yang dilakukan oleh antar
petani seperti adegan perang Spartacus dengan musuhnya. Kejadian ini disebabkan
hanya karena posisi sawah salah seorang petani letaknya dekat dengan irigasi
pengairan, sedangkan salah satunya letaknya di belakang sawah tersebut. Timbul
rasa iri hati destrukif sebab dari
keberuntungan orang lain, pemilik sawah yang letaknya di belakang menyerang
keberuntungan tetangganya.
Kasus di atas adalah contoh iri hati destruktif,
dengan melawan keberuntungan orang lain. Bukan hanya keberuntungan tapi
kebaikan pun akan dilawan oleh iri hati. Seperti saat memenuhi panggilan Tuhan
untuk berangkat ke tanah suci bagi orang yang beragama islam adalah salah satu
kehormatan yang harus diperjuangkan untuk mewujudkannya. Namun kebaikan itu
sia-sia saja kita lakukan setelah kembali menunaikan ibadah haji, karena akan
mendapatkan protes atau komentar negatif dari masyarakat. Biasanya, orang yang
telah menyandang gelar haji akan diselidiki seluk-beluknya, kenapa bisa naik
haji, uang yang dia pakai dari mana, bahkan perliakunya pun akan dihubungkan
dengan gelar hajinya. Iri hati seperti ini akan membawa murka bagi kehidupan
kita yang akan menghasilkan dosa.
Hidup dengan membawa jenis iri hati yang destruktif akan sangat berat,
menimbulkan rasa jengkel, seperti halnya Iago, tokoh jahat yang terkenal dalam
karya sastra, dalam Othello dari karya Shakespear. Iago tidak ingin melihat
Othello bahagia dengan Desdemona istrinya karena tidak adanya toleransi dalam
dirinya, belas kasih tidak ada padanya. Dengan iri hati itu Iago merencenakan
untuk menjerumuskan Othello ke dalam kecemburuan abadi terhadap istrinya
Desdemona, kecemburuan itu berhasil dibuat dan akhirnya Othello mencekik
istrinya. Toleransi harus dihadirkan dalam diri saat iri hati muncul untuk
mengatur perasaan iri hati. Memilih untuk melawan objek iri hati, atau
menjadikan objek iri hati sebagai inspirasi untuk membangun potensi yang
dimiliki.
Menjadikan orang lain atau objek iri hati yang juga
akan menghubungkan kita ke arah yang lebih baik. Dengan kemampuan menerima sejauh
mana memandang potensi yang kita punya, tapi jangan pula menjadi orang patuh
untuk menerima keadaan begitu saja, karena orang yang selalu menerima keadaan
tidak akan pernah maju selangkah pun. Namun iri hati perlu kita syukuri selagi
iri hati itu dapat kita toleransi demi membawa kita untuk berusaha mewujudkan
apa yang kita inginkan. Dengan menghargai kelebihan dan kebaikan orang lain
kita juga akan turut menikmati kelebihan dan kebaikan tersebut. Tapi sekali
lagi, saya mencoba memaknai semua itu. Masih mencoba dan jelas akan berulang.