Apa yang Bisa Dilakukan Cerita Fiksi Pada Empati Kita Hari Ini
INDOPOSITIVE.org—Kita semakin sulit untuk saling menghargai. Mudah kita temukan
orang-orang menggunakan bahasa verbal dan nonverbal yang vulgar. Di
tempat-tempat umum, orang-orang bisa terdengar saling mencela. Anak-anak dan
remaja melakukan perisakan pada teman sebaya, dan kehilangan rasa penghargaan
pada guru mereka.
Kebiasaan buruk
seperti itu juga terjadi, dalam bentuk lain, di dunia maya. Orang-orang
mengunggah teks, gambar, dan video. Dan luput melihat dampaknya. Mereka
melempar ujaran kebencian, dan menulis komentar yang melukai hati dan menambah
duka orang lain.
Sulit bagi kita
untuk memahami perasaan orang lain. Apalagi merespon perasaan tersebut dengan
tepat. Jika Anda mengalami kesulitan semacam itu, berhati-hatilah. Anda mungkin
memiliki empati yang rendah, atau tidak ada sama sekali.
Baron-Cohen,
seorang psikolog klinis, menyatakan bahwa empati adalah kemampuan untuk
mengetahui dan merasakan emosi orang lain, lalu membalas dan merespon emosi itu
dengan tepat.
Ia membagi
tingkatan empati jadi tujuh level. Mulai dari level 0 sampai level 6.
Orang-orang dengan empati di level 6, kata Baron-Cohen,
menunjukan pemusatan perhatian pada perasaan orang lain dan selalu
berusaha mendukung. Mereka memperlakukan orang lain dengan
baik dan merespon dengan sempurna. Mereka membuat orang lain merasa nyaman
dan membuat orang lain merasa diperlakukan dengan baik.
Sebaliknya,
orang-orang dengan empati di level 0, melakukan perilaku agresif seperti
kejahatan, perampokan, sampai pada pembunuhan. Ketika melakukan kejahatan, mereka
tidak menyesalinya. Mereka tidak merasa bersalah karena tidak dapat memahami
perasaan oranglain.
Semua itu
dijelaskan Baron-Cohen dalam bukunya, Zero Degrees of Empathy, yang
terbit pada tahun 2012.
Lalu bagaimana cara
meningkatkan empati?
Setahun setelah
Baron-Cohen menerbitkan Zero Degrees of Empathy, Matthijs Bal,
seorang profesor Universitas Lincoln, menerbitkan hasil penelitian di PLOS
One yang bisa menjawab pertanyaan itu. Bersama rekannya, Martijn
Veltkamp, Bal menemukan satu resep untuk meningkatkan empati: Cerita fiksi.
Untuk keperluan
penelitian, Bal dan Veltkamp melibatkan 66 siswa-siswi Belanda. Secara acak, 66
siswa-siswi itu dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama berjumlah 36
orang, dan sisanya dimasukkan ke kelompok lain.
Kelompok pertama
diminta membaca cerita fiksi, yaitu bagian pertama cerita pendek milik Arthur
Conan Doyle, The Adventure of The Six Napoleons, sepanjang
2750 kata. Kelompok kedua diminta membaca dua kisah nonfiksi dari koran
Belanda, De Volkskrant. Juga sepanjang 2750 kata yang memuat
kerusuhan Lybia dan bencana nuklir Jepang pada bulan Maret 2011.
Empati mereka
diukur menggunakan skala kepedulian empatik dari Davis. Pengukuran dilakukan
sebanyak tiga kali. Sebelum eksperimen, setelah membaca teks, dan seminggu
setelah eksperimen dilakukan. Hasilnya, kelompok yang membaca cerita fiksi
menunjukkan peningkatan empati. Sementara hasil itu tidak ditemukan pada
kelompok yang membaca nonfiksi.
Di balik hasil itu,
ada satu syarat yang mesti dipenuhi kelompok pertama sebelum empati mereka
meningkat. Syarat itu disebut transportation theory. Cerita fiksi
hanya dapat meningkatkan empati jika pembaca terlibat secara emosional
(transportasi emosi) dengan isi cerita.
Keith Oatley,
seorang novelis dan psikolog Universitas Toronto, punya pendapat yang sama. Ia
menyatakan bahwa ketika kita membaca cerita fiksi, identifikasi dengan karakter
dalam cerita dan keterlibatan emosi menyebabkan kita bersimpati dengan
karakter—bahkan seolah-olah mengalami cerita itu sendiri. Konsekuensinya, kita
jadi empatik saat membaca cerita fiksi.
Oatley, melalui
penelitiannya, menambahkan bahwa lewat proses memahami karakter sebuah cerita,
kita dapat memahami diri sendiri dan orang lain dengan lebih baik. Itu
dijelaskan Oatley dalam penelitian yang terbit pada tahun 2008. Bersama Raymond
Mar, seorang profesor York University, penelitian itu mereka beri judul The
Function of Fiction is The Abstraction and Simulation of Social Experience.
Tentu saja tidak
mudah memulai kebiasaan baru. Seperti kebiasaan membaca cerita fiksi. Sama
tidak mudahnya untuk punya kemampuan membaca yang baik—agar transportasi emosi
terjadi. Tapi saya bisa saja salah. Sebab hanya ada satu cara memastikan.
Memulainya.