Fenoma Golput dalam Psikologi Kepercayaan (Trust)



INDOPOSITIVE.orgSeberapa percaya anda dengan para calon yang akan dipilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 ini? Menjawab pertanyaan di atas bisa jadi akan memperlihatkan bagaimana bentuk pilihan kita nantinya. Bila saja rasa tak percaya kita pada pemerintah menguat, tentu saja memilih untuk tidak ikut berpartisipasi akan menjadi satu pilihan tersendiri. Sesuatu yang akhir-akhir ini kembali muncul, yaitu fenomena golongan putih alias golput. Tak dapat dipungkiri, golput akan selalu ada di tiap pemilu.

Belajar dari penelitian yang dilakukan Sri Yuniarti, Golput dan Pemilu di Indonesia, diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Politik, kita dapat belajar beberapa hal.Ada dua faktor utama golput yang terjadi selama pemilu dilangsungkan. Pertama, mereka yang memilih untuk golput lantaran merasa tak puas terhadap partai politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Kedua, ada yang bermasalah dengan persoalan administratif – seperti nama pemilih yang belum terdaftar. Namun, mari melihat pada faktor ketidakpuasan para pemilih tersebut. Ketidakpuasan itu pula yang pada akhirnya menimbulkan rasa tak percaya.

Sekiranya pilihan orang-orang golput tetap dihargai. Sikap politik mereka dapat tercermin melalui keputusan tersebut. Sayangnya, pemerintah tak pernah benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ada proses berbenah sama sekali. Kepercayaan yang diberikan rakyat, tidak sepenuhnya dihargai dan menjadi modal untuk mengabadi. Padahal dari masa ke masa tingkat golput semakin meningkat. Data tersebut tak cukup untuk membuat mereka melakukan refleksi atas kinerja yang telah atau belum dituntaskan.

Data penelitian “Potret partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam pemantauan pemilu 1999–2014” menjelaskan jika Pemilu Legislatif tahun 2009 memperlihatkan tingkat partisipasi politik pemilih yang semakin menurun, yaitu hanya mencapai 70,9 persen dan jumlah golput semakin meningkat yaitu 29,1 persen. Sedangkan pada Pemilu Presiden, tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7 persen dan jumlah golput mencapai 28,3 persen. Terakhir di Pemilu Legislatif 2014, angka partisipasi pemilih menyentuh angka 75,11 persen. Sedangkan pada Pemilu Presiden 2014, jumlah partisipasi pemilih ada di angka 70 persen. Angka golput pun rata-rata mencapai 25-30 persen.

Hal yang disayangkan dari fenomena ini adalah kurangnya usaha para politikus untuk membangun kepercayaan pada rakyat. Sebaliknya, perilaku mereka hanya memperlihatkan ketidakpedulian atas amanah yang telah diberikan pada pemilu sebelumnya. Bahkan mereka yang pernah menjadi pelaku korupsi, tetap memilih untuk kembali mencalonkan. Organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis nama-nama calon anggota legislatif yang ingin kembali berlaga di pemilu legislatif 2019. Pasalnya, calon anggota legislatif tersebut merupakan orang-orang yang pernah terseret kasus korupsi.  Setidaknya ada sekitar 46 caleg yang dicatat oleh ICW. Kasus korupsi yang hampir setiap saat dapat kita dengar dilakukan oleh orang-orang yang kita pilih saat pemilu.

Golput menjadi sebuah bentuk protes. Hal itu juga yang menjadi perlawanan, semacam bentuk teguran yang nyaris terabaikan oleh para politikus kita. Sayangnya, ketika masa menjelang pemilu tiba, para golput kemudian disalahkan begitu saja. Seolah, golput menjadi sebuah kesalahan yang mesti kita hindari. Masalah golput ini sudah diatur jelas dalam undang-undang. Pasal 308 UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu memberikan ruang bagi penegak hukum untuk menjerat orang siapa pun yang mengajak orang lain untuk golput. Dengan hadirnya pasal tersebut, kasus golput secara paksa atau menghalangai orang lain untuk memilih, dapat terjerat sanksi hukum. Kecuali, keputusan tersebut merupakan pilihan sendiri, hal tersebut tak terhitung melanggar aturan hukum sama sekali.

Trust in Modern Societies: The Search for the Bases of Social Order yang ditulis oleh Barbara Misztal, mengajarkan kita betapa pentingnya kepercayaan di masa modern seperti sekarang ini. Penting untuk dipahami, masa modern akan menciptakan sebuah kepercayaan yang sulit untuk diraih. Buku ini juga sebenarnya menjadi pengingat bagi kita, betapa pentingnya untuk menjadi kepercayaan dalam usaha menjaga situasi sosial yang ada di sekitar kita. Misztal pun menjelaskan jika dengan kepercayaan, kita bisa melakukan prediksi terhadap kondisi sosial yang terjadi. Jika pemerintah benar-benar gagal menerima kepercayaan rakyat, besar kemungkinan golput akan semakin berkembang.

Hanya saja, pilihan untuk golput tentu akan memberikan dampak tersendiri bagi kondisi politik Indonesia. Semakin tinggi golput, maka dapat dipastikan partisipasi pemilu menjadi berkurang. Hal tersebut akan berdampak pada legitimasi sebuah pemerintahan yang terpilih. Legitimasi menjadi hal mutlak secara politik atas kuat atau lemahnya pemerintahan. Belajar dari negeri Paman Sam, konon jumlah pemilih golput yang meningkat telah memberikan peluang terpilihnya Trump lebih besar.

Berbeda dengan masa ketika Obama hendak terpilih, jumlah partisipasi politik meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya. Rakyat Amerika tentu menyimpan harapan pada Barack Obama, berbeda dengan pemilu antara Trump dan Hillary. Hilangnya rasa percaya juga menjadi faktor yang membuat pemilu tak berarti apa-apa. Maka, sudah saatnya para politikus mulai memikirkan cara untuk membangun kepercayaan rakyat dan menghidupkan harapan yang selama ini hilang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel