Aku yang Sakit
INDOPOSITIVE.org—Terima
kasih sudah mendengar keluh kesah. Telingamu fungsikan sejenak. Kunci
rapat-rapat mulutmu. Saya tahu kau ingin sekali menanggapi. Tetapi, tolong urungkan
itu. Hari ini, saya cuman ingin didengarkan saja.
Kejadian
ini bermula saat matahari sedang terik-teriknya. Seorang kawan dokter datang
padaku menawari ikut serta mendonorkan darah. Keringat dingin kontan
bercucuran.
Saya
mungkin sudah berkali-kali melakukan donor darah. Tidak ada yang aneh. Hanya
duduk terbaring di kursi. Membiarkan selang donor mengalirkan darah milikku ke
dalam kantong darah. Sambil bermain hp, tidak terasa kantong darah itu akan
terisi penuh.
Setelah
itu, kau duduk sejenak menikmati pusing-pusing. Tubuhmu menyesuaikan diri
dengan keadaan. Bayangkan kau kehilangan darah. Seorang yang baik hati akan
membawakanmu tablet penambah darah, segelas air, dan telur.
Saya
membayangkan kegembiraan itu. Interaksi memberi dan saling peduli.
Kuangkat
pantat dari kursi. Beranjak menuju ke ruang transfusi darah. Sebuah ruangan yang
sejuk. Orang-orang ramah menyambut. Bahkan kau tahu, itu tidak cukup untuk
mengeringkan keringat dingin yang sedari tadi masih mengalir. Saya mengingat
bagaimana jarum drakula pemangsa darah itu menusuk masuk ke urat nadi. Kau
pernah merasakannya, bukan?
Saya
antrian enam. Kuputar-putar nomor kartu antrian. Bolak-balik angka, enam
terlihat sembilan, sembilan sungguh mirip enam. Tidak berhasil mengusir
bayangan ngeri. Sebuah suara memanggil angka enam berulang kali. Dengan gugup,
kuberanikan diri memasuki ruang periksa kelayakkan donor.
Kau
mau mendengar? Masih kuatkah mendengarnya? Jika kau masih kuat, saya akan
melanjutkan. Kalau kau sudah pucat pasi, istirahatlah sejenak dan lanjutkan
mendengar cerita ini.
Ini
bukan ruang kelayanan pendonor. Ruang ini penuh dengan jarum dan tabung
penampung darah. Kau tahu mereka sarapan jeritan manusia. Mereka
berteriak-teriak girang menyambut sarapan mereka. Menyerap nutrisi siksaan.
Seperti saya saat ini, kapas alkohol mengusap-usap target jarum. Kulitku dibuat
layak dimakan oleh jarum.
Pena
menghujam. Cepat, senyap, dan tepat ke arah kepala jari telunjuk. Darah segar
mencuat. Pipa ukuran kecil menyedot darah di atas jari. Sedikit dibuang ke
larutan berwarna biru. Sisanya dibiarkan menggenang di piring kaca datar. Tiga,
mungkin empat, lingkaran merah berada di sana. Huruf-huruf berdiri di sana,
tetapi tidak bisa kukenali. Mereka ruang pengelompokkan kelas tempat nanti
darah akan ditempatkan.
Darah
milikku layak. Seorang mengatakan kepadaku.
Sebelum
masuk ke dalam ruang donor, saya ditempatkan lagi ke sebuah ruangan. Sebilah
tangan mempersilahkan masuk. Lingkar lengkung senyum menyambut. Di atas meja,
tergeletak alat kesehatan. Belakangan, saya baru tahu kalau itu stetoskop dan
tensimeter. Dua alat itu sejenis cangkul bagi paramedis untuk mencari nafkah.
Saya
adalah tahanan. Diintrogasi. Dicerca dengan berbagai pertanyaan. Mulai dari
nama, umur, pekerjaan, sampai hal-hal yang penting dan tidak penting.
“Sudah
berapa kali donor?”
“Dalam
jangka waktu sebulan tidak pernah minum antibiotik, kan?”
“Tidak
pernah keluar negeri dalam beberapa bulan lalu?”
Banyak
pertanyaan. Cuman itu yang bisa saya ingat kembali dan menceritakan kepada
kamu. Kau bisa bantu ingat pertanyaan itu. Syaratnya, kamu juga ikut merasakan
duduk di kursi ini.
Kedua
tangan lembut itu melingkarkan sarung tensimeter. Dipompa. Stetoskop dilekatkan
di urat nadi tepat di denyutannya. Saya merasakan urat nadi pelan-pelan
berhenti bekerja. Semakin besar sarung tensimeter mengembang, semakin pelan
urat nadi berdenyut. Pelan-pelan sampai tidak terasa.
Tiba-tiba.
Sarung
tensi pelan-pelan mengempis. Pelan-pelan mengempis, pelan-pelan juga urat nadi
kembali berdenyut. Sampai-sampai bunyi denyutnya menjalar terdengar ke daun
telinga. Gerakan itu dia ulang, berulang-ulang, seolah tidak percaya pada hasil
dari periksa awal. Stetoskop dilepas dari lubang telinga.
“160/90
tensi ta”
Saya
tahu persis itu angka yang melompat dari angka normal. Hipertensi. Sejenis
penyakit perintis untuk penyakit-penyakit lainnya datang berkunjung ke tubuh.
Dia yang kelak akan merusak elastisitas pembuluh darahmu. Kau tahu bukan di
sekujur tubuhmu semua penuh dengan pembuluh darah. Mau di jantung, paru-paru,
ginjal, kulit, mata, hidung, pokoknya semua.
Saya
sudah membayangkan semua itu. Penyakit itu berdatangan. Kegembiraan tadi untuk
mendonorkan darah, interaksi memberi dan saling peduli, sirna begitu saja.
Saya
betul-betul jadi pesakitan. Penyesalan menjadi pilihan akhir dari pemilihan
pilihan-pilihan yang sudah diambil. Lagi-lagi, seperti kata dokter, saya harus
memperhatikan kesehatan. Katanya, jauhi stress, makanan asin, dan
perihal-perihal yang membuat tekanan darah naik.
Dan,
diakhir perjumpaan saya di ruang kelayakan donor. Saya berakhir dengan nasihat,
terasa janggal sebab biasanya orang sakit diberikan obat bukan nasihat saja.
Iya, bentuk obat itu bukan saja tablet zat kimia, bisa juga telinga yang terbuka
lebar untuk mendengar kegelisahan. Seperti kamu saat ini, terima kasih sudah
mendengar.