Standar Ganda Menafsirkan Bencana
INDOPOSITIVE.org—Ketika kabar tentang bencana di Sulawesi Tengah mulai
jadi obrolan nasional, teman saya, Ian, sibuk di instagram. Fitur cerita di
akunnya penuh kutipan kritis. Dia sebal dengan orang-orang yang lebih banyak
ceramah, tapi tidak mengambil tindakan apapun untuk menolong korban gempa.
Dalam kesibukan instagramnya itu, dia sering menyebut satu frasa. Standar
ganda.
Istilah itu, standar ganda, mulai dikenal tahun 1872,
lewat Unjust Judgments on Subjects of Morality. Beberapa
tahun kemudian, 1886, Josephine E. Butler menulisnya kembali
dalam The Double Standard of Morality. Standar
ganda dalam dua tulisan itu dibahas sebagai koreksi atas fakta struktur moral
dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Misalnya, laki-laki dengan banyak pasangan dalam hubungan seks dianggap
hebat, sementara perempuan dengan tindakan serupa dianggap murahan. Dalam
contoh yang lebih sederhana. Ketika seorang jatuh saat bersepeda, orang di
sekitarnya mengatakan itu terjadi karena dia bodoh. Tapi, saat mereka yang
jatuh dari sepeda, maka itu kecelakaan.
Singkatnya, standar ganda itu ukuran moral yang menilai
subjek berbeda, dengan cara tidak sama dalam satu kejadian atau objek yang
sama. Kesannya sering jadi tidak adil dan tidak proporsional. Salah satu
penyebabnya adalah bias konfirmasi. Scott Plous dalam The Psychology
of Judgment and Decision Making menyebut bias konfirmasi sebagai
kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, mendukung, dan mengingat informasi
dengan cara yang menegaskan keyakinan atau hipotesis yang sudah ada sebelumnya.
Bias konfirmasi seringkali mengabaikan fakta lain dan hanya mempercayai fakta
yang terlanjur dia yakini. Cenderung hanya menguatkan asumsi yang mapan meski
itu salah.
Dalam menilai bencana, orang yang tidak terkena dampak
tentu mudah menafsirkan bencana sebagai peringatan dari Tuhan, azab, yang
terjadi karena dosa-dosa manusia. Tapi, penafsiran tentang bencana bisa berubah
secara radikal jika seseorang sedang dalam posisi korban. Bencana yang
sebelumnya dinilai azab jika menimpa orang lain, mungkin akan ditafsirkan
sebagai ujian jika menimpa diri sendiri. Begitu kira-kira bentuk standar ganda
menafsirkan bencana menurut teman saya, Ian.
Keresahan Ian dapat saya mengerti, dalam kasus bencana
alam sulit menyalahkan siapapun. Bencana alam adalah hal natural, dia adalah
efek samping utama yang dihasilkan dari proses alami Bumi. Tapi beberapa orang
terlalu malas mengecek pelajaran geografi tingkat SD untuk mendapat penjelasan
tentang hal itu. Memang jauh lebih mudah menilai sesuatu berdasarkan fakta yang
telah diketahui ketimbang mencari fakta baru.
Orang-orang yang tamat SD di tahun 2006, pasti pernah
mendapat penjelasan seperti ini, terutama karena di tahun-tahun itu tsunami adalah
kata populer setelah menimpa Aceh di tahun 2004:
“Indonesia adalah negara kepulauan,
tempat pertemuan empat lempeng tektonik; lempeng Benua Asia dan Benua
Australia, juga lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Interaksi lempeng
tektonik sendiri bisa membawa gelombang pasang apabila terjadi di samudera.
Sedikit saja lempeng tektonik bergerak, atau ada gempa tektonik kecil, maka
tsunami akan datang jika terjadi di sepanjang daerah subduksi dan daerah
seismik aktif.
Sementara di bagian selatan dan timur Indonesia
melintas sabuk vulkanik dari Pulau Sumatera, Jawa — Nusa Tenggara, hingga
Sulawesi. Sebaran pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian
didominasi oleh rawa-rawa di sepanjang daerah itu menyebabkan kerawanan bencana
seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor.”
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
Memang, tindakan manusia punya andil menciptakan
bencana. Tapi itu berlaku untuk pengrusakan lingkungan seperti menguruk laut,
membantai satu populasi makhluk hidup yang berperan menjaga keseimbangan
ekosistem, pembakaran hutan, atau pembangunan yang mengabaikan daya dukung
lingkungan. Untuk tindakan seperti itu, manusia layak disalahkan sebagai
penyebab bencana.
Ceritanya jadi lain ketika menyalahkan tindakan-tindakan
yang tidak punya hubungan langsung dengan perubahan bentang alam. Masalah
individual yang kita sebut dosa, seperti hubungan seks di luar nikah, LGBT,
orang-orang minum alkohol, atau tradisi lokal yang lebih tua dari negara. Jika
memang itu penyebabnya, maka Dinosaurus yang punah karena bencana, jauh sebelum
kita mengenal agama, pasti pernah melakukan dosa besar.