Inilah Efek Psikologis Akibat Para Pemberi Harapan Palsu (PHP)



INDOPOSITIVE.orgSaat bertemu dengan seseorang dan kita merasa kagum, mungkin saja itu bisa jadi peluang baru untuk membuat kita mulai mencari. Bukan sekadar mencari nama, tapi media sosial dan berbagai hal penting lainnya.  Perasaan seringkali mudah tumbuh namun mudah juga untuk pupus. Benarkah? Tak jarang kita mendengar istilah Pemberi Harapan Palsu alias PHP. Kadang sesuatu yang cepat diraih, cepat pula lepasnya. Celakanya, yang hilang tiba-tiba kadang menyisahkan sesak di dada. Tak seindah di tahap awal PDKT, rajin chat sambil tertawa, senyum sendiri dan berbagai ekspresi lainnya.

Dari bagian ini, yang menarik dari psikologi terdapat perilaku yang serupa dengan PHP. Perilaku seperti itu disebut ghosting. Istilan ini asal usulnya barasal dari ghost (hantu), bocah lelaki yang bernama Casper dalam film Demi More 1990 yang melihat kematian dan memutuskan dan mengakhiri hubungan yang romantis dengan upaya untuk tidak dapat dijangkau lagi. Kemudian di tahun 2011 marak digunakan pada ranah online, kemudian popular di tahun 2015 yang juga dijelaskan dalam buku Esther Peler, yang berjudul Intelegencia Erotica bahwa ghosting merupakan perikaku yang dilakukan oleh orang terdekat dianggap telah peduli, penuh perhatian dan dipercaya namun menghilang tanpa sebab dan jejak.

Senada dengan yang dikemukakan oleh LeFebvre beserta rekannya dalam penelitian di tahun 2017 dengan judul Ghosting as a relationship dissolution strategy in the technological age, bahwa ghosting merupakan bubarnya hubungan dengan tidak adanya informasi dan komunikasi dari pasangan. Dan di tahun ketika teknologi semakin maju, hal itu semakin berpeluang terjadi.

Ghosting ini bukanlah fenomena baru yang pernah kita dengar bahkan kita sendiri pun pernah mengalaminya, atau mungkin saja kita adalah pelaku ghosting itu sendiri. Menurut statistik survei yang dilakukan Plenty of Fish (POF) terhadap 800 pengguna milenial yang berusia 18 sampai 33 tahun, menunjukkan bahwa perilaku ghosting jauh lebih umum daripada yang dipikirkan sebelumnya. Tetapi istilah ghosting masih baru digunakan dan masih sedikit yang melakukan penelitian tentang ghosting. Olehnya itu penyebab terjadinya pelaku ghosting masih menjadi teka-teki saat ini.

Di era digital ini banyak perilaku ghosting sudah sangat umum terjadi. Yang menjadi objek pelaku dan korban pada umumnya adalah generasi millenials lajang. Survei yang dilakukan oleh Valentina Zara yang dimuat dalam artikel Fortune  pada 2016 menemukan bahwa 78 persen orang lajang dari usia 18 sampai 33 pernah mengalaminya. Perilaku ini merupakan perilaku tidak sopan. Bagaikan hanya datang tak diundang tiba-tiba memgetuk pintu hati lalu pulang tak diantar pergi tak pamit. Mungkin saja perilaku ini benar menurut mereka yang melakukannya. Tetapi dampaknya akan berbekas bagi korban perilaku ghosting ini.

Pada umumnya ghosting akan mengakibatkan perasaan tak dihargai bahkan ketika hubungan sudah terlalu jauh akan lebih traumatis akibatnya. Dengan meninggalkan begitu saja ada isyarat penolakan sosial dengan perasaan tak dihargai. Ketika seseorang merasa tidak dihargai lalu ditinggalkan begitu saja atau mengalami penolakan sosial, itu jelas akan menimbulkan emosi negatif. Dalam penelitian Williams di tahun 2009 dengan judul Ostracism: A temporal need-threat model. In M. Zanna (Ed.), Advances in experimental social psychology bahwa saat seseorang merasa ditinggalkan atau ditolak, hal itu akan mengancam kebutuhan fundamental seseorang seperti kepemilikan, harga diri, keberadaan dan kebermaknaan sehingga akan meningkatkan kemarahan dan kesedihan. Hingga akhirnya perilaku agresif akan muncul.

Tentu saja tidak ada yang sepakat dan menerima perilaku ghosting ini. Hanya saja orang yang pernah melakukan mungkin tidak mengetahui dampak terhadap korbannya. Bagi para ghoster cobalah kembalilah ke jalan yang lurus, beri kepastian dan langsung saja bertemu orang tua si dia.   


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel