Mengapa Kita Kehilangan Empati?
INDOPOSITIVE.org—Sebuah penjajakan yang diterbitkan oleh Dart Center for Journalism & Trauma menjelaskan bagaimana
dekontekstualisasi kisah-kisah tragedi dan penderitaan di berbagai media dapat
menyebabkan kelelahan publik sehingga membuat mereka menolak untuk menolong
orang yang menderita.
Penelitian Jennifer Day &
Anderson Ruth yang berjudul Compassion Fatigue: An Application of the Concept to Informal Caregivers of Family Members with Dementia, menunjukkan aspek yang
melibatkan empati seperti welas asih mengalami penurunan seiring waktu pada
sejumlah perawat yang mengasuh pengidap dimensia. Hal sama juga ditemukan oleh
peneliti lain pada beberapa profesi sosial yang secara persisten melibatkan
empati dalam pekerjaan. Profesi seperti pengacara, relawan bencana, terapis,
dokter, psikolog, guru, bahkan aktivis.
Berkurangnya welas asih pada satu profesi sosial,
sesungguhnya terhubung dengan satu jenis empati yang menyebabkan tekanan
mental, para peneliti sering menyebutnya ‘distress
empati’. Kita mungkin berharap
bahwa empati akan selalu diikuti oleh tindakan menolong. Tapi tekanan mental
yang turut muncul sebagai bagian dari empati, tentu sama melelahkannya dengan
tekanan mental yang disebabkan oleh perasaan lain.
Yoni
K. Ashar, seorang peneliti salah satu Universitas di Colorado di tahun 2017
mencari tahu bagaimana otak manusia bereaksi saat mengalami empati. Penelitian
ini dilaporkan dalam Emphatic
Care & Distress: Predicitive Brain Marker & Dissociable Brain Systems.
Dalam
penelitiannya, Ashar menemukan bahwa otak manusia akan bereaksi terhadap dua
jenis empati. Jenis pertama terhubung dengan kepedulian, ini yang menggerakkan
perilaku menolong. Sementara jenis kedua
inilah yang memberi tekanan pada mental, jenis empati yang membuat manusia
menghindari perilaku menolong.
Ashar bersama sejumlah rekannya dalam penelitian, mengumpulkan
data dengan menguji pola relatif partisipannya terhadap beberapa perasaan
seperti kesedihan, ketakutan, jijik, kemarahan, kebahagiaan, kejutan, valensi
positif, dan valensi negatif.
Selama pengujian, dilakukan pencitraan resonansi magnetik
fungsional (fMRI), di saat yang sama para partisipan dua kali diminta mendengarkan
biografi yang menggambarkan berbagai
penderitaan manusia. Konten biografi menggambarkan anak-anak yang lahir dengan
penyakit bawaan, orang dewasa yang berjuang dengan kanker, pengalaman
tunawisma, dan kesulitan lainnya.
Setiap partisipan kemudian diminta untuk menilai perasaannya.
Apakah tergerak untuk menolong atau justru merasa tertekan. Berdasarkan
pernyataan partisipan, para peneliti akan mengecek hasil pengujian kemudian
mengembangkan pola aktivitas otak partisipan.
Hasilnya, ditemukan bahwa tekanan mental seringkali meningkat
pada pertengahan biografi yang partisipan dengar, sementara kepedulian
meningkat setiap biografi akan berakhir. Ini dapat jadi gambaran bahwa tekanan
mental dan kepedulian yang disebabkan oleh empati mungkin tidak bekerja secara
terpisah melainkan sebagai rangkaian.
Pada penelitian Ashar rasa lelah yang diakibatkan oleh
tekanan empatik mungkin tidak menguras terlalu banyak energi, karena hanya
dilakukan beberapa menit dan dengan intensi yang kecil. Namun bisa dibayangkan
bagaimana jika itu dialami secara persisten oleh seseorang dalam durasi dan
intensi yang besar seperti pada profesi sosial macam wartawan, pengacara,
petugas kesehatan, relawan bencana, psikolog, atau aktivis.
Yang membedakan antara penelitian Ashar dengan Jennifer dan
Anderson adalah situasi dasarnya. Penelitian Ashar dilakukan dalam situasi
rekaan, sebuah ilustrasi kejadian. Sementara Jennifer & Anderson melibatkan
partisipan yang merasakan kenyataan sebagai pemicu empati bertahun-tahun.
Namun kedua penelitian ini pada akhirnya terhubung. Ashar
menjelaskan rangkaian reaksi empati yang dipicu oleh informasi tragis dalam
satu lintasan waktu saja. Sementara Jennifer & Anderson menjelaskan apa
yang akan terjadi jika seseorang terus berhadapan dengan empati secara
repetitif dan terus-terusan memorsir energi untuk memenuhi desakan empatiknya.