Diskriminasi di Sekolah dan Cara Guru Mengatasinya
INDOPOSITIVE.org—NWA, pelajar
perempuan yang mendaftar di SMP 3 Genteng Kabupaten Banyuwangi hari itu menarik
berkas pendaftarannya.
Dia lebih pilih mencari sekolah lain, ketimbang
mengikuti aturan sekolah yang mengharuskan penggunaan jilbab bagi siswi non
Islam. Berita
ini sempat tayang di berbagai media menjelang 2017 lalu, meskipun itu bukan
kasus pertama.
Di tahun yang sama ketika berita NWA tayang, Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, seperti dilansir
dari CNN, juga menerima sejumlah laporan
mengenai penolakan peserta didik di sekolah karena perbedaan agama. Laporan itu
berasal dari seluruh sekolah di Indonesia. Setidaknya ada 15 sekolah dari
negeri sampai swasta.
Dalam konteks yang berbeda, Komisioner
Komnas HAM Beka Ulung Hapsara baru-baru ini menyatakan bahwa hampir semua
wilayah di Indonesia ada diskriminasi pembangunan rumah
ibadah. Diskriminasi tidak hanya terjadi pada agama yang diakui oleh
negara, agama-agama lokal juga mengalaminya. Agama-agama lokal yang membangun
rumah ibadah juga kerap didiskriminasi.
Diskriminasi sendiri sudah sejak lama populer sebagai tema
dalam kajian tentang prasangka. Dovidio, John,
Peter Glick, dan Laurie Rudman dalam On the Nature of Prejudice menulis
tentang sebuah penelitian yang dilakukan pada mahasiswa Amerika Serikat, siswa yang melaporkan agama sangat berpengaruh dalam
kehidupannya cenderung memiliki tingkat prasangka lebih tinggi daripada siswa yang
melaporkan tidak beragama. Buku Dovidio bersama rekannya ini dimulai dengan
sebuah pernyataan.
“Di saat berbagai agama mengajarkan
anggotanya untuk toleran terhadap mereka yang berbeda dan memiliki belas kasih,
sepanjang sejarah ada peperangan dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang
dimotivasi oleh kebencian terhadap kelompok-kelompok agama”
Dovidio beserta rekannya juga mengutip
temuan berbeda dari penelitian lain, yang menjelaskan bahwa agama memiliki efek
positif pada orang-orang sejauh menyangkut prasangka.
Perbedaan hasil ini dapat
dikaitkan dengan perbedaan praktik beragama atau interpretasi keagamaan di
antara individu. Mereka yang mempraktekkan “agama yang dilembagakan”, dan
lebih memfokuskan pada aspek sosial dan politik dari peristiwa keagamaan,
cenderung lebih berprasangka.
Gordon Allport, dalam bukunya The Nature
of Prejudice mendefinisikan prasangka sebagai perasaan, seperti tidak
senang terhadap seseorang atau sesuatu, sebelum, atau tidak didasarkan pada,
pengalaman aktual.
Allport sendiri adalah salah satu tokoh pertama dalam
psikologi yang berfokus pada studi kepribadian. Allport juga mengaitkan
prasangka dengan pemikiran kategoris.
Dia mengklaim bahwa prasangka adalah
proses alami dan normal bagi manusia. Menurutny, pikiran manusia harus
bekerja dengan bantuan kategori.
Dekade 1950 di Amerika adalah masa desegregasi sekolah
umum. Sekolah-sekolah yang sebelumnya berdiri untuk ras-ras atau kelompok
tertentu disatukan. Hal ini menyebabkan sekolah-sekolah diisi perkelahian,
diskriminasi, dan ujaran kebencian.
Kelompok supremasi kulit putih dan
mahasiswa kulit putih meneror para siswa baru. Ini membuat siswa merasa
tidak aman di sekolah mereka dan mengganggu proses belajar mereka.
Siswa
sering tidak bisa duduk di ruangan yang sama bersama tanpa insiden, apalagi
bekerja sama. Hal Ini menjadi masalah bagi guru, siswa, orang tua,
komunitas, dan negara, karena seluruh generasi siswa teralihkan dari belajar
karena kebencian dan diskriminasi yang merajalela.
Pada tahun 1971,
Dr. Elliot Aronson
dipekerjakan untuk memberi saran kepada
sebuah distrik sekolah di Austin, Texas tentang bagaimana
mengatasi masalah-masalah ruang kelas yang tidak bersahabat dan
ketidakpercayaan di antara siswa.
Aronson adalah
psikolog dari University of Texas di Austin saat itu, dan mengambil
pendekatan psikologis untuk membantu memperbaiki masalah di kelas.
Aronson menyadari bahwa sifat kompetitif dari kelas mendorong siswa saling ejek
dan mendiskriminasikan mereka yang berbeda untuk status para perundung.
Untuk mengatasi masalah ini, seperti
ditulis Lestik dan Plous dalam Jigsaw Classrom, Aronson menempatkan
siswa dalam kelompok yang beragam. Mereka kemudian diminta untuk bekerja sama
dan mengurangi suasana kompetitif.
Awalnya siswa mengalami kesulitan
beradaptasi dengan pencampuran etnis di kelas. Aronson lalu menciptakan
atmosfer untuk peningkatan kerja sama dan pengurangan resistensi untuk bekerja
dengan satu sama lain.
Aronson membuat
tugas yang membuat setiap anggota kelompok sama pentingnya. Para siswa
harus memperhatikan dan memperoleh banyak informasi dari anggota kelompok
lainnya. Ini memungkinkan setiap anggota kelompok untuk menambahkan bagian
kecil dari gambar yang lebih besar sehingga semuanya penting bagi tiap
kelompok. Hal ini mengajarkan siswa untuk bergantung satu sama lain dan
mengurangi sikap kompetitif diantara satu sama lain.
Mereka membutuhkan semua
orang dalam kelompok mereka untuk melakukannya dengan baik, karena nilai mereka
bergantung pada siswa lain.
Dari pengalamannya
menguji teknik Jigsaw itulah Aronson bersama Akert dalam Social Psychology kemudian
punya bahan untuk menulis tentang enam kondisi yang harus dipenuhi untuk
mengurangi prasangka.
Pertama kelompok-kelompok di dalam
dan di luar harus memiliki tingkat saling ketergantungan yang saling
menguntungkan. Kedua, kedua kelompok harus berbagi tujuan
bersama. Ketiga, kedua kelompok harus memiliki status yang sama.
Keempat, harus
sering ada kesempatan untuk kontak informal dan interpersonal antar
kelompok. Kelima, harus ada beberapa kontak antara grup-grup yang masuk
dan keluar. Akhirnya, norma sosial kesetaraan harus ada dan hadir
untuk mendorong pengurangan prasangka.