Pak Tua Penjual Tala
Perihal kebahagiaan memang adalah hal yang sangat
subjektif dan dalam penggambarannya tidak akan pernah akan sama seperti apa
yang sebenarnya terasa dalam diri. Aku lupa tepatnya hari apa,tanggal dan bulan berapa,
satu yang kutahu, aku mengingat
peristiwa ini karena bahagia turut mengambil peran dalam kejadiannya.
Malam adalah waktu
menuju penghujung hari yang sangat melelahkan,
saat peluhku genap melengkapi lelah dan padatnya kegiatan hari itu di
sekolah dan lampu jalan terang menyinari keramaian jalanan kota, aku berjalan
di trotoar tengah kota dan berhenti sejenak untuk menunggu mobil angkutan
dengan harap ada angkutan yang masih ramai penumpang. Belum cukup lama menunggu, mini bus berwarna
merah dengan tulisan “Angkutan Kota”
di badan bus tersebut singgah tepat di hadapanku, dengan langkah gontai aku pun
naik ke mobil tersebut. Masih cukup ramai, seingatku ada empat orang perempuan
paruh baya, satu orang gadis yang mungkin seumuran denganku, dan satu lagi
gadis yang lebih tua dariku duduk tepat di dekat pintu mobil. Sambil
memperbaiki posisi dudukku, aku memperhatikan
setiap orang yang ada dalam mobil angkutan, yang sangat kuingat, aku duduk
disamping seorang perempuan paruh baya yang berbadan cukup gemuk, selebihnya
karena aku bukanlah penyandang photogenic
memory, aku lupa.
Waktu berlalu, dan mobil angkutan pun melaju. Waktu
saat itu menunjukkan telah lewat pukul 20.00 entahlah pastinya lewat berapa,
mobil angkutan singgah untuk mengambil penumpang lain di pinggir jalan. Ini
adalah salah satu bagian yang paling kusukai dari menumpang di mobil angkutan,
melihat siapa saja yang naik, cara mereka masuk dalam mobil dan menangkap kesan
di wajah mereka begitu duduk. Kali ini adalah seorang lelaki tua, yang berjalan
dengan agak membungkuk dengan sebatang kayu dipundakknya, dan di ujung kedua
kayu tersebut ada bungkusan kantong plastik berwarna putih yang berisi buah tala, lelaki tua itu berjalan menuju
mobil angkutan dan membuka pintu bagian depan, rupanya ia memilih duduk di
samping pak supir.
Begitu duduk, mobil pun kembali melaju. Hal lain yang kusenangi
dalam mobil angkutan adalah, mendengarkan percakapan orang-orang, percakapan
penumpang lain yang kadang menurutku sangat menarik ketika mereka membahas
kejadian-kejadian tertentu yang sedang hangat di masyarakat, atau bahkan
sekedar mengomentari keadaan kota atau pengendara lain, entahlah, menurutku itu
sangat menyenangkan. Sayang sekali, mungkin karena ini sudah malam, dan
kebanyakan dari penumpang telah lelah, sehingga mereka malas berkomentar, atau
mungkin juga, mereka semua adalah pemalu yang malas untuk mengeluarkan suara.
Entahlah, tapi sejauh ini, belum ada suara yang bisa
terdengar dari para penumpang. Tiba-tiba suara asing mulai terdengar, dan itu
berasal dari samping pak supir, yah lelaki tua itu bersuara, “ada mau tala?” tanya lelaki tua sambil
menjulurkan beberapa kantong putihnya ke arah penumpang lain dibelakangnya yang
berisi buah tala, tidak ada jawaban suara,
hanya pandangan datar yang terlihat terlempar dari wajah orang-orang, begitupun
aku. “ada mau tala?” ulangnya. “Gratis”
sambungnya.
Seketika seorang perempuan paruh baya meraih kantongan
tersebut, sambil berkata, “ooh, gratis? Sini pak, siapa lagi mau?” tawaran juga
ditujukan padaku, tapi berhubung aku tidak begitu suka dengan buah tala, maka aku menggeleng dan
memberikannya pada perempuan lain di sampingku. Dua, tiga, empat, dan lebih
dari lima kantong, mungkin enam kantong, kini berada di tangan
penumpang-penumpang lain. “Ngapai na
nipassareang?” kira-kira begitulah pertanyaan si supir pada lelaki tua,
yang artinya, “kenapa diberikan?” Dengan bahasa dan dialek makassar lelaki tua
pun menjawab, kira-kira artinya begini, “tidak laku, daripada saya yang makan
lebih baik dibagi ke orang lain.” Entahlah, tapi percakapan singkat dari
seorang supir dan lelaki tua malam itu, membuat sesuatu dalam diriku bergetar
dan bibirku menarik senyum. Sesuatu telah ditunjukkan padaku oleh Tuhan melalui
lelaki tua itu. Aku merasa bahagia, karena adegan seperti ini biasanya hanya
terlihat di televisi, sekarang kau melihatnya langsung.
Mungkin sederhana, bahkan sangat sederhana menurutku bahagia lewat kejadian seperti ini. Sekalipun lelaki
tua penjual buah tala itu tidak mengalami keutungan hari ini dari hasil
penjualannya, namun ia telah memberi kebahagiaan dan membagi kebahagiaan dengan
orang-orang disekitarnya pada malam itu di mobil angkutan kota, memberi
pelajaran hidup, bahkan mungkin bukan hanya padaku, tapi juga pada penumpang
lain. Siapa yang tahu? serumit dan sekompleks apa pun kisah hidup si lelaki tua
penjual buah tala, tetap tidak menyurutkan niatnya untuk berbuat baik.
Dan di akhir perjalanannya bersama kami dalam mobil
angkutan malam itu, ia turun dari mobil dan begitu ingin membayar sewa
tumpangan sang supir tersenyum dan memberikan kembali uang lelaki tua tersebut,
supir tidak mau menerima uang sewa dari lelaki tua itu, mereka pun tersenyum
dan lelaki tua itu berterimakasih!. Lagi, aku tersenyum dan perasaan bahagia
segera menjalar di tubuhku, betapa indahnya malam itu dalam mobil angkutan, dua
orang lelaki cukup untuk membuatku bahagia dan tersenyum tulus sebab
memperlihatkan segi lain dari kehidupan manusia. Itu adalah kebahagiaanku yang
berharga.
Perihal kebahagiaan, memang adalah hal yang sangat
subjektif dan dalam penggambarannya tidak akan pernah akan sama seperti apa
yang sebenarnya terasa dalam diri.
_____________
*Nurul Fitroh, Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar.