Berbahagia dengan Sederhana

Ada masa di kala sedih dan bahagia menghampiri silih berganti. Ketika kau sedih, ingatlah bahwa sesungguhnya kebahagiaan kan menyambut di ujung elegi. Tak ada yang mampu memahami kerja Allah SWT, yang kita tahu bukanlah sesuatu yang pasti. Allah SWT. ingin menguji hati hamba-hambaNya, memberi setetes kesedihan kemudian membayarnya dengan nikmat yang tiada tara.
Harusnya tak perlu terlalu larut dalam sedih, tak jua harus meratapi. Nikmati saja jalanan ilahi ini, hingga akhirnya kau temukan kebahagiaan sejati. Ya Allah, terima kasih atas fluktuasi asa dan rasa hari ini. Karena kini ku mengerti, gelak tawa tak sekadar pembunuh sepi. Lebih dari itu, persaudaraan ini menguatkan lagi menyembuhkan.

***


November tahun ini terasa ajaib bagi saya. Betapa tidak, demikian banyak episode ‘mengagumkan’ yang saya lalui. Begitu banyak kisah terangkai membingkai hari-hari penuh ‘gairah juga derita’ (eh, hiperbolis nih). Saya sempat tertawa jika mengingatnya. Keteguhan mental dan kedewasaan berpikir saya diuji setiap hari. Antara amarah dan sabar bertarung silih berganti mewarnai hari-hari. Hingga pada satu titik, saya hampir memutuskan untuk berhenti dari jalan ini. Tak tahan lagi, air mata pun menjadi kawan kala sepi. Kala itu, pagi nan cerah terasa dingin membeku. Sedih, mungkin kata ini yang mampu menggambarkan kondisi hati saya saat itu.

Ah, sedikit berkisah tak apalah. Ketika itu, saya tengah mengemban suatu amanah di sebuah agenda di kampus. Bersama beberapa kawan, saya menyanggupi untuk menerima amanah lebih. Saya yakin bahwa tim kami cukup kuat dan tangguh untuk melaksanakan amanah tersebut. Optimisme saya ini bukannya tidak beralasan lho! Saya merasa cukup mengenal mereka dan mengetahui potensi hebat mereka setelah hampir 2 tahun bekerja sama dalam berbagai agenda. Namun, hipotesis awal yang saya buat tadi mulai saya pertanyakan kembali suatu pagi.

Saat itu, tim tidak dalam performa terbaiknya padahal kami dituntut untuk bekerja secara maksimal mengingat agenda kami akan dilaksanakan dalam hitungan jari kedepan. Saya mencoba memahami dan berempati dengan kondisi anggota tim, tetapi saya tetap mengingatkan mereka bahwa amanah adalah hutang yang harus ditunaikan. Sayangnya, respon tak terduga muncul dari salah seorang kawan. Respon yang demikian membuat saya freeze dan ternyata cukup memberi luka. Apalagi respon itu dilontarkan oleh salah seorang kawan yang saya percaya benar selama ini. Saya tak ingat persis bagaimana ekspresi raut muka saya seketika itu, yang jelas satu kata yang dapat mewakili adalah sedih. Dalam benak saya, terus terngiang : bagaimana bisa dia merespon seperti itu? Andai saja ia tahu, mungkin ia tak mungkin tega merespon seperti itu. Mengapa hanya karena hal sepele, sebuah hubungan menjadi berubah seketika.

Air mata masih masih terurai. Saya sendiri pun sadar, tak patut berlama-lama dalam kesedihan. Saya mencoba mengendalikan apa yang masih bisa dikendalikan. Orang bilang, air mata tak akan menyelesaikan masalah. Sebanyak apapun air mata keluar, persoalan tak akan menuju titik terang selama hanya berpangku tangan. Sebanyak apapun air mata tak akan mengubah tangis menjadi tawa.

“Ah, ada satu hal yang bisa mengubah tangis menjadi tawa. Bukankah segala hal yang hadir di depan pandangan kita akan senantiasa membawa dua kemungkinan : kebahagiaan dan kesedihan?  Artinya, kita masih bisa memilih ketika merespon hal-hal yang terjadi pada diri kita. Satu hal yang mampu mengubah tangis menjadi tawa adalah diri kita. Kata orang, ini tentang penyikapan hati kita. Ini tentang posisi dalam memandang suatu hal, point of view.” Salah seorang kawan menyampaikannya penuh kesejukan di sore harinya. Jujur, ucapannya memang benar. Hmmm, seketika perasaan gundah yang bersemayam seharian tadi perlahan mulai terkikis. Perlahan, kristal es yang membeku di hati seolah tercairkan oleh nuansa sore itu. Bakso bakar di sore itu ternyata pilihan tepat untuk menghangatkan. Melihat ide mereka yang brilian ini, saya tersenyum simpul. Mungkin untuk hari ini, harga sebuah kebahagiaan bisa semurah bakso bakar. 

Saya bersedih, ya. Saya ingin tak lagi bersedih, harus. Oleh karena itu, saya memberanikan diri mengatakan dalam diri saya : terima saja responnya, tetapi jangan jadikan ia alasan kesedihanmu. Jadikan ia alasan kebahagiaanmu, entah bagaimana caranya. Sesungguhnya, menjadi bahagia tak perlu alasan. Cukup menerima segala hal yang mampir dalam hidup kita secara lapang dan berprasangka baik atasnya. Percayalah, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua akan terjadi dengan skenario terbaikNya. Mungkin, kita perlu meminjam kaca mata untuk hati kita masing-masing. Agar mata hati tak lagi memandang sesuatu yang kabur. Berbahagia itu sederhana.




*Agak heran juga, mengapa kesedihan itu menjelma menjadi rasa bahagia seketika? Karena saya ingin bahagia, that’s it!

_______________


Aulya Vidiana I, Penulis merupakan mahasiswa Universitas Brawijaya

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel