Nilai Dari Sebuah Pengalaman Berharga
“Bahagia bukanlah sesuatu
hal yang terjadi pada kita tapi adalah bagaimana respon kita terhadap apa yang
terjadi”
Saya sangat suka kata-kata itu. benar
sekali, bahagia itu tergantung kita menyikapi sesuatu yang terjadi. Kita pun
bisa bahagia di kondisi apa pun itu. bahagia itu ada di mana-mana dan itu
tergantung kita apakah kita lantas mencari dan menemukannya atau diam saja
tidak dicari lantas tak akan menemukan. Kebahagiaan itu akan lebih indah dan bermakna bila dapat
kita bagi ke orang-orang sekitar kita.
Mungkin kali ini saya akan berbagi
melalui tulisan dan melalui pengalaman saya. Bahagia saya ini mungkin bukan
karena saya meraih sesuatu yang besar atau mendapat hadiah tapi saya bahagia
karena mampu merasakan pengalaman ini. Tulisan ini adalah repost dari blog saya
dengan sedikit perubahan.
Kebahagiaan ini berupa pengalaman saya
mengikuti IPB goes to field beberapa bulan kemarin. Program yang selama 3
minggu kemarin mengisi hari-hari saya. Hari-hari saya yang semestinya telah
dapat diisi dengan kegiatan liburan menyenangkan bersama keluarga maupun
teman-teman yang merelaxkan dan menghibur diri. Program IGTF Bogor adalah
posdaya di 4 desa, masing-masing desa dibagi menjadi satu tim yang terdiri dari
3 atau 4 orang. Program IGTF ini tak seperti bayangan awal saya ketika diajak
seorang teman mengikuti program ini. Jujur, saya awalnya tak berminat maupun
pernah mendengar tentang program ini. Kemudian, karena keisengan belaka di
akhir deadline waktu pengumpulan berkas peserta, saya mengikutinya. Tak
disangka saya diterima.. program di Garut.
Namun, melewati beberapa
pertimbangan, pikiran dan segala rayuan, saya mengajukan pindah ke program di
Bogor. Tepatnya pada tanggal 24 Juni kemarin, saya dan 14 peserta lain
berangkat ke tujuan Kecamatan Klapanunggal. Bersama tim saya kami menginjakkan
kaki di Desa Kembang Kuning pada tanggal 25 Juni, di sebuah rumah kontrakan
milik sekretaris desa yang 2 bulan belum ditempati. Kondisi rumah yang saat itu
terbilang kurang layak dengan banyak bolongan di sana sini, kotor, rumput liar
memenuhi halaman depan dan tanpa fasilitas yang ada. Keinginan dan harapan awal
yang membayangkan akan tinggal di tempat nyaman memandang hijaunya sawah dan
mendengar kicauan burung sirna sudah. Bahagia? Rasanya kata bahagia itu tidak
mungkin saat itu. Di kondisi seperti itu, bagaimanapun saya dan tim tetap harus
survive untuk menjalankan program
yang tak saya kira seperti di awal.
Kadangkala terbersit lagi
bayangan, expectacy, harapan saya di masa awal mengikuti program
ini. saya mengira saya akan bisa menikmati sejuknya udara pedesaan, memanjakan
mata dengan hijaunya persawahan dan langit biru. Namun, ternyata tak seperti
itu. tak ada sawah hijau luas nan membentang, yang ada angin debu. Desa Kembang
Kuning menurut saya tidak tepat lagi disebut desa, keadaan masyarakat telah
bergeser ke kehidupan industri. kecewa memang ada di awal. Tapi saya harus
menjalani apa yang ada di depan mata. Di awal mungkin saya merasa bergerak di
tekanan namun seiring berjalan saya menyadari, hal ini akan menjadi pengalaman
yang akan dikenang dan memberi nilai untuk menjadi lebih baik.
Salah satu hal yang sangat
bermakna bagi saya adalah hal yang saya peroleh melalui kegiatan wawancara
warga. Suatu waktu, untuk menyelesaikan tugas kuisioner program, saya dan tim
harus mewawancarai warga langsung. Salah satu pengalaman berharga untuk
mendengar langsung dan merasakan langsung sebuah nilai dan keluhuran seseorang.
Saya dan tim waktu itu mewawancarai seorang kakek petani berusia 80-an tahun yang
masih sehat dan kuat. Kami agak kesulitan dalam mewawancarai beliau karena di
samping faktor usia, beliau juga kurang mengerti yang kami tanyakan dan tidak
bisa baca tulis. Hingga isi wawancara kadang tidak sesuai kuisioner.
Sesuatu hal yang sangat saya
kagumkan adalah nilai kebaikan beliau. Beliau adalah petani yang menggarap
lahan bukan miliknya. Di usia tua itu masih bergerak untuk mencari sesuap nasi.
Beliau menggarap di mana saja. Menggarap dengan hasil yang sangat sedikit,
mungkin hanya untuk dapat dimakan sendiri. Beliau bercerita bahwa kadang hanya
dapat memanen 2 sampai 3 ikat singkong. Jumlah yang sangat sedikit dibanding
waktu dan keringat yang dihabiskan bukan? Dan bila pun dijual hanya berapa
lembar ribuan yang didapat, tak sebanding dengan rasa lelahnya. Suatu hal dari
perkataan beliau seakan palu yang memukul diri saya, di tengah kesulitannya
beliau tetap berbagi.
Ketika saya bertanya:”hasil singkongnya dikemanain pak?”.
Beliau menjawab dengan tenang:“kalo sedikit makan sendiri atau kasih ke
tetangga. Saya juga tidak kuat makan ini sendirian, jadi dikasih aja”. Wow,
sesuatu yang mengertak hati saya. Saya sadar saya yang memiliki lebih daripada
beliau ini masih jarang berbagi apalagi bila di kondisi kekurangan. Di sana ada
nilai yang saya rasakan, yang menjadikan saya sebagai mahasiswa (yang mungkin merasa
kaya ilmu-ilmu pengetahuan) menjadi merasa lebih sedikit dalam nilai-nilai
kehidupan. Kita tidak bisa hanya melihat dari keadaan seseorang yang terlihat
tidak mampu dan maaf mungkin miskin dari luarnya. Namun, justru mereka lebih
kaya pengalaman dan nilai-nilai daripada kita.
Nilai-nilai ini tidak saya
dapat dari pendidikan formal bangku perguruan tinggi maupun pendidikan formal
lain. Sebuah nilai kehidupan yang menyadarkan bahwa kita semua itu sama, tak
ada yang lebih baik atau lebih tinggi derajatnya. Semua manusia ada kekurangan
dan kelebihannya. Bahagia sekali saya rasakan terlebih saat ini bila
mengingat-ingat hal itu. bahagia yang saat itu terlihat samar bagi saya dan
baru saya sadari sekarang. Terima kasih YaAllah karena berkesempatan merasakan
dan diberi kemampuan nurani dan pikiran untuk memaknainya.
*Deya Silviani, Penulis adalah Mahasiswi Gizi Masyarakat 2011, Institut
Pertanian Bogor.
Asal dari Palembang-Sumatera Selatan.