Kasar? Siapa?

Jakarta sepertinya terlalu keras untuk saya. atau bisa jadi Makassar yang mungkin mendidik saya terlalu lembut

Seperti biasa, setiap kali ada tawuran dan demonstrasi di Makassar, media akan meliput dan menyiarkannya dengan penuh suka cita. Tidak jarang sebagian media menampilkannya dengan begitu mendramatisir, begitu berlebihan. Semua itu dilakukan untuk kepentingan rating tentu saja. Seperti biasa pula, setiap kali ada berita televisi tentang kekacauan di Makassar, teman-teman dekat saya dijakarta selalu menanyakan perihal watak orang-orang makasar yang menurut mereka "kasar". Setiap kali mendapat pertanyaan seperti itu,  saya dengan penuh semangat biasanya akan menjawab bahwa itu sebuah bentuk solidaritas, meskipun dalam hati sepertinya saya juga tidak yakin. Paling tidak itu yang selalu saya dengar dari teman-teman Makassar saya. 

Terlepasa "kasar" atau "tidak" nya watak orang-orang Makassar, saya tetap harus mengakui bahwa saya mengagumi budaya mereka. Saya bukan orang Makssar, tapi saya bisa saja meneteskan air mata jika saya mendengar lagu daerah Makasar dinyanyikan di cafe-cafe ibu kota. Saya bahkan lebih paham budaya Makassar dari pada budaya saya sendiri.

Sejauh yang saya alami selama saya enam tahun di Makassar, saya melihat bahwa orang-orang makassar adalah orang-orang yang sangat menjunjung tinggi budayanya. Mereka dengan senang hati menggunakan bahasa daerah bahkan dalam lingkungan-lingkungan formal. Mereka tak pernah khawatir akan terstigma sebagai individu "kampungan" ketika berbahasa daerah dalam situasi resmi. Orang-orang makasar sangat menghaargai hak-hak orang lain. Pantang bagi mereka untuk saling merendahkan harga diri. Meskipun belakangan presepsi terhadap "harag diri berlebih" yang kerap kali menjadi biang kerok perselisihan. Tapi menurut saya, hal tersebut adalah sesuatu yang dibangun diatas landasan budaya yang cukup luhur, yang tujuan sebenarnya adalah baik. Pendapat saya ini tentu saja tidak merepresentasikan budaya Makassar secara keseluruhan. Tetapi paling tidak, ini adalah hal-hal menarik yang pernah saya jumpai di Makassar.  Pendapat ini tentu akan dinilai sebagai sesuatu yang bias, tapi diluar itu semua, saya harus bersyukur  bahwa saya pernah menjadi bagian dari Tanah Makassar.

Ketika kemudian saya berdomisili di Ibukota, saya merasakan suasana yang begitu kontras. Suasana yang jauh berbeda dengan nuansa ketika di Makassar dulu. Bukan, ini bukan soal mana yang lebih ramai dan modern. Anak SD juga pasti tau bahwa Jakarta sebagai Ibu kota negara jelas akan lebih ramai dan modern dibanding Makassar. Disini, ditempat yang selalu menghukumi orang-orang Makassar dengan stereotype berwatak "kasar", ternyata malah lebih "kasar" daripada yang pernah saya jumpai di Makassar. Orang-orang dengan individualitas yang tinggi, jiwa kompetisi yang berlebihan, dan rasa iri yang tidak wajar adalah indiviu-individu "kasar" dalam terminologi yang lain. Disini orang-orang hidup dibawah bayang-bayang rasa curiga, individu dianggap sebagai ancaman individu lain dan usaha untk saling menjatuhkan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Awalnya saya beranggapan bahwa kekerasan fisik aalah sesuatu yang menakutkan, ternyata kekersan psikologis adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Berdasrakan alasan-alasan tersebut saya hanya ingin mengatakan bahwa tidak tepat rasanya orang-orang Jakarta menyebut kita, orang-orang Makassar, sebagai orang-orang yang berperilaku kasar

Satu hal yang lupa saya tulis, beberapa kali saya pernah jatuh hati pada gadis Makassar. Dengan perilaku lembut yang mereka tunjukan, sulit rasanya bagi laki-laki normal seperti saya untuk tidak jatuh hati. Sekali lagi, ini bukti bahwa Makassar adalah tempat dengan sejuta kelembutan.

Penulis.
*Muhrajan | @huruf_R
Alumni Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel