Algoritma dan Keinginan Kita yang Rapuh
Dalam sebuah adegan di West World, Dolores mengatakan
"Algoritma kami cukup rumit, sedang kalian, manusia begitu mudah
dibaca" kira-kira seperti itulah yang disampaikan Dolores.
Saya tentu tidak akan mengulas
film serial itu, namun saya hanya ingin bercerita tentang algoritma instagram
atau sebut saja media sosial. Setelah beberapa pekan saya menikmati foto
tanaman hias, beberapa kali membagikan, dan menekan tombol suka, saya yakin
instagram akan segera memunculkan foto sejenis.
Hanya berselang sehari,
instagram saya dipenuhi dengan foto-foto tanaman hias. Saya diikuti beberapa
akun jualan tanaman hias atau informasi tentang tanaman hias. Itu juga yang
sebenarnya membuat kita selalu betah dengan instagram atau media sosial yang
kita mainkan.
Mereka (media sosial) seperti
dunia yang mewujudkan segala keinginan-keinginan kita. Tentu akan menjadi
pelarian atau sesuatu yang menyenangkan dibanding bertahan di dunia nyata,
dunia yang kian hari menuntut kita untuk lebih tabah menerima kenyataan.
Algoritma sendiri muncul
seperti sesuatu yang dengan mudah mengerti dan memahami manusia. Selain
memberi kemudahan, algortima tentu bisa jadi jebakan.
Kita pada akhirnya lebih banyak hidup dalam ilusi atau dunia yang
dengan cepat memberi keinginan kita. Bukan hal yang mengherankan bila seorang
teman bisa memilih menghabiskan berjam-jam di dunia maya.
Sebuah pelarian yang tak membutuhkan usaha keras. Di titik inilah,
kita masuk dalam jebakan yang bisa membuat kita tanpa sadar lupa dengan waktu.
Di tambah lagi dengan Covid-19 yang menuntut kita berdiam diri di rumah, hal
ini akan semakin memperkuat dorongan seseorang untuk masuk ke dalam dunia maya.
Beberapa peneliti bahkan telah memperlihatkan sejumlah temuan,
bahwa waktu kita bisa tersita cukup banyak hanya dengan menggunakan ponsel.
Belum lagi setelah kenyamanan media sosial kita nikmati. Belakangan kita pada
akhirnya menemukan penelitian tentang kecanduan internet atau bermain media
sosial.
Di masa yang akan datang, di tengah kerumitan dunia kita hanya
akan jadi orang-orang yang sulit peka atau mungkin tak peduli lagi. Kebiasaan
kita setelah terjebak akan memberi pengaruh pada perilaku itu.
Kebiasaan baru terbentuk, dan melumpuhkan kebiasaan lainnya. Coba
bayangkan, di masa ketika kita terbiasa mendapatkan segala yang kita senangi
dan harus menerima kenyataan yang tidak kita senangi. Apa yang akan kita
lakukan?
Barangkali, setelah menikmati foto-foto tanaman hias, saya perlu
mengatur ulang algoritma baru di media sosial saya. Sebelumnya, foto-foto sampul
buku yang keren memenuhi feed instagram.
Setelah mengelolah akun instagram toko buku @bookslab, saya menyadari
jika orang-orang yang menyukai gambar buku atau sampul buku tidak lebih banyak
dari mereka yang senang dengan foto wajah sendiri atau orang lain.
Hanya saja, belajar dari beberapa akun toko buku yang lebih
sukses, mereka tampak sadar, untuk menjual buku di instagram, tak perlu
menampilkan satu sampul buku sepenuhnya. Mereka menggantinya menjadi kutipan,
dan orang-orang cenderung menyukai kutipan-kutipan. Bahkan sampai dibagikan dan
itu jelas akan membuat algoritma bekerja untuk menyodorkan sejumlah kutipan
lainnya.
Sepertinya, memang benar apa yang dikatakan Dolores. Kecuali untuk
beberapa orang yang memang belajar dan berusaha untuk melepaskan diri dari
tebakan algoritma atau sejenisnya. Tapi itu sulit sih!