"Action Bias" Salah Satu Alasan Mengapa Kita Sulit Berdiam Diri di Masa Pandemi Korona
Bagi beberapa orang,
tinggal di dalam rumah dalam waktu yang tidak ditentukan dapat menjadi hal yang
cukup meresahkan.
Saat tinggal di rumah, pikiran kita
bertualang ke mana-mana.
Banyak yang telah terbiasa dengan
lingkungan kerja di kantor, aktivitas di luar rumah.
Mengunjungi keluarga atau bertemu dengan
teman-teman. Sekarang Jadwal dan rutinitas itu berubah.
Kita diminta untuk bekerja dari rumah, dan
melakukan jarak sosial.
Dan tentu saja, perubahan itu memberikan
dampak pada kondisi mental dan fisik kita.
Menurut penelitian, isolasi sosial dapat
mempengaruhi beberapa hal, misalnya perasaan kepesian, kebingungan, symptom-simptom
stress, hingga rasa marah dan gangguan fisik yang berhubungan dengan
kardiovaskular.
Di tengah-tengah
maraknya himbauan untuk tinggal di rumah, dan penerapan pembatasan sosial
berskala besar di beberapa daerah. Masih banyak yang risau karena beberapa
orang ternyata masih beraktivitas di luar, berkumpul di beberapa tempat dan
seperti tidak peduli dengan anjuran stay at home.
Menurut salah satu teori, hal ini bisa saja berhubungan
dengan ACTION BIAS.
Ini merupakan
pengembangan dari Norm Theory Kahneman dan Miller. Tapi kali ini, kita akan
membahas pendapat seorang psikolog kognitif bernama Eva Krockow, tentang Action Bias dan pandemi Korona.
Apa itu Action Bias?
Ada tiga contoh
sederhana yang dapat menjelaskan mengenai ini.
Pertama, tentang
seorang penjaga gawang. Saat tendangan pinalti, kemungkinan besar seorang
penjaga gawang akan melompat kea rah kanan atau kiri alih-alih berdiam diri di
tengah dan tidak melakukan apa-apa. Meskipun secara statistic kemungkinan
berada tetap di tengah menjadi pilihan untuk dapat menangkap bola. Aksi
melompat sang penjaga gawang adalah sebuah aksi bias. Karena bergerak
memberikan senasi melakukan usaha, memberikan persepsi bahwa sang penjaga
gawang melakukan sesuatu untuk menangkap bola.
Kedua, di
antrian kasir supermarket. Ketika seseorang memilih di antara dua kasir, dan telah mengantri di baris kasir
pertama, dia akan melihat ke baris kasir lainnya. saat orang dibaris depan
bertanya-tanya pada si penjaga kasir mengenai beberapa harga item belanjaan
yang berubah setelah diskon. Yang cukup wajar terjadi di antrian kasir manapun.
Orang itu akan berpikir bahwa antriannya akan menjadi lebih lama. Ia kemudian akan
pindah ke baris antrian kasir dua, meskipun itu berarti berada di baris paling
belakang. Perpindahan orang tersebut juga bisa dikatakan action bias.
Ketiga adalah
seorang investor, yang duduk cemas di depan monitor saat melihat harga anjlok.
Perubahan harga seperti ini adalah hal yang umum terjadi, dan tidak selalu
menentukan tren jangka panjang. Untuk menghindari dampak transaksi yang tidak
diperlukan, strategi yang terbaik adalah dengan tidak bereaksi pada fluktuasi
kecil pasar. Meski demikian, banyak investor memiliki kecenderungan yang kuat
melakukan “overtrade” dan menjual bagian sahamnya sebagai reaksi jatuhnya harga
di pasar.
Dalam banyak
budaya, “aksi” dianggap sebagai kontribusi yang bernilai. Sedangkan “non-aksi”
dianggap sebagai sebuah tindakan kepasrahan atau kemalasan. Kita kerap disuguhi
cerita-cerita heroic, si pahlawan yang menyelamatkan sang korban yang lemah dan
tek berdaya. Dan dan itulah yang membangun preferensi budaya “active heroism”
kita.
Padahal, dalam
beberapa situasi strategi untuk bersabar, dan tenang bisa menjadi tuntunan yang
tepat untuk mencapai hasil yang baik.
Tidak heran,
jika duduk di dalam rumah, atau beraktivitas dari rumah, menjadi sangat sulit,
terlebih ketika dunia sedang menghadapi sebuah masalah.
Yang terpikirkan
adalah, Lakukan sesuatu! Apapun!
Ingatlah, bahwa non aksi adalah sebuah aksi.
Kunjungi juga website indopositive di www.indopositive.org