Virus Corona: Pentingnya Online Resilience Saat di Rumah Saja
Pembatasan
sosial diterapkan guna menangkal penyebaran virus supaya tidak menulari banyak
orang dengan membatasi pergerakan manusia yang tidak terlalu penting. Masa
pemberlakuan pyshical atau social distancing
dengan di rumah saja diperpanjang hingga kondisi dan situasi kondusif.
Pyshical atau social distancing berdampak
pada kegiatan perkuliahan, sekolah, dan instansi pemerintahan lainnya. Selama
masa pandemi kegiatan perkuliahan, sekolah, dan bekerja dilakukan secara daring
dengan istilah School From Home dan Work From Home. Pembatasan sosial mulai
diterapkan pada tanggal 16 Maret hingga waktu pandemi ini tidak lagi menulari
banyak orang.
Pada
masa pandemi ini, teknologi dan internet sangat laris digunakan untuk menunjang
fasilitas semua kegiatan mulai dari siswa, mahasiswa, dosen, hingga pekerja
kantoran lainnya. Data dilansir CNNIndonesia.com
bahwa lonjakan pengguna aplikasi belajar
online meningkat lebih dari 5404 persen imbas dari pandemi COVID-19 begitupun
dengan aplikasi media sosial mengalami peningkatan 34 persen serta penyedia
jasa internet seperti Telkom meningkat 15 persen dan Biznet 20 persen.
Berbagai
banyak manfaat dari peningkatan penggunaan teknologi dan internet untuk memberi
kemudahan bagi penggunanya dalam berbagai fitur aplikasi media sosial lainnya.
Namun juga memberikan berbagai dampak negatif jika tidak digunakan dengan bijak
dalam mencari dan menerima informasi.
Sebagian
besar orang sekarang menghabiskan terlalu banyak waktu online. Selama tinggal
di rumah peningkatan intensitas penggunaan media sosial dengan berbagai fitur
aplikasi pada masa pendemi tidak lagi terelakkan. Akibatnya potensi mengalami
penyusutan kesehatan mental sangat tinggi pula.
Menurut guru besar pakar
kesehatan masyarakat Prof. Siswanto Agus Wilopo pada publikasi ilmiah Universitas Gadjah Mada terkait media sosial jadi pemicu depresi dikatakan
bahwa di media sosial orang memperoleh banyak informasi, banyaknya informasi
tanpa disaring dengan baik dapat memberikan dampak buruk pada kondisi
psikologis.
Tingginya
intensitas menggunakan media sosial di tengah pandemi membuat banyak pengguna media
sosial memiliki potensi tinggi menjadi panik, cemas bahkan hingga depresi.
Pada
penelitian yang dilakukan Young dan Robert The relationship between depression
and internet addiction yang dipublikasikan jurnal Cyberpsychology and
Behavior dengan 259 profil survei yang valid dari
total 312 survei pada pengguna internet dengan intensitas yang tinggi
menunjukkan hasil bahwa penggunaan intensitas internet tinggi memberikan
pengaruh pada kondisi psikologis dengan tingginya tingkat depresi.
Ditambah
juga dengan informasi penyebaran COVID-19 yang terus meluas penyebarannya yang
membuat ruang virtual mengalami kepanikan dan kecemasan.
Kadang
kita lupa bahwa media sosial adalah ruang publik virtual di luarnya ada ruang
publik kehidupan nyata yang harus dijalani. Akibuat pengaruh psikologis ruang
publik virtual akan mempengaruhi kehidupan nyata menjadikan emosi berubah,
tanda kesehatan mental menjadi menyusut jika mengalami emosi negatif.
Penyusutan kesehatan mental dikarenakan timbulnya kecemasan dan depresi di
tengah pandemic COVID-19 dapat ditekan dengan melakukan online resilience untuk kembali dengan keadaan normal pada kehidupan
yang nyata. Menurut d’Haenens, Vandonink, Lee, dan Danoso dalam bukunya How to cope and build resilience bahwa online resilience merupakan kemampuan
untuk menghadapi pengalaman negatif yang mengandung bahaya dalam aktivitas
online.
Kunci
dari resiliensi adalah koping yang efektif. Berdasarkan riset yang dilakukan di
25 negara Eropa oleh d’Haenens dkk menyimpulkan bahwa ada tiga strategi koping
ketika mendapat konten berisiko dalam pengalaman aktivitas online, yaitu proactive coping, communicative coping, dan
passive coping.
Proactive coping bisa
dilakukan dengan menghapus informasi dengan konten yang negatif atau
membahayakan, dan mengisolasi diri dengan menghindari akun yang mengirim
informasi yang negatif.
Communicative coping dilakukan
dengan mengkomunikasikan pengalaman atau aktivitas online kepada lingkungan
sekitar, keluarga, kerabat, dan teman media sosial yang dapat dipercaya.
Passive coping dilakukan
dengan melepas tanggung jawab diri sendiri terhadap informasi dengan konten
negatif atau berbahaya untuk menghindari stressor dengan introspeksi diri,
berdoa, dan berharap untuk lebih baik.
Kemampuan
resiliensi ini mampu mengubah situasi dalam konteks yang menantang, mengancam
seperti dampak dari bencana untuk menjadi netral kembali, emosi negatif berubah
menjadi emosi positif. Memiliki kemampuan resiliensi merupakan suatu kemampuan
yang harus dimiliki di tengah kondisi teknologi digital ditambah kondisi
pandemi penularan COVID-19 demi menjaga kesehatan mental.
Upaya melakukan online resilience harus disadari dalam
diri dengan untuk tetap bertahan dalam kondisi kelam ini.
Jangan
selalu menuntut untuk produktif, jangan selalu bermimpi untuk bahagia, jangan
selalu berfantasi dengan rencana akan berjalan lancar saja. Beginih kehidupan
nyata harus tetap bertahan mengikuti kekuatan alam tidak seperti ruang publik
virtual dapat dimodifikasi dengan angan-angan.
Bertahan saja sudah cukup dalam
kondisi yang kelam ini. Ya cukup bertahan saja tidak lebih. Tetap bertahan di
rumah saja.