Mengapa Bullying atau Perundungan terjadi di Sekolah?
IndoPositive.org —
Terjadinya bullying di sekolah merupakan suatu proses
dinamika kelompok, di mana ada pembagian-pembagian peran. Peran-peran tersebut adalah: Bully, Asisten Bully, Reinforcer,
Victim, Defender dan Outsider.
Bully, yaitu siswa yang dikategorikan
sebagai pemimpin, yang berinisiatif dan aktif terlibat dalam perilaku
bullying.
Asisten bully, juga terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia
cenderung tergantung atau mengikuti perintah bully.
Reinforcer adalah
mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi, ikut menyaksikan,
mentertawakan korban, memprovokasi bully, mengajak siswa lain untuk
menonton dan sebagainya.
Outsider adalah orang-orang tahu bahwa hal
itu terjadi, namun tidak melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli.
Selain itu hal ini terjadi juga karena bully juga tidak
mendapatkan konsekuensi negatif dari pihak guru atau sekolah, maka dari
sudut teori belajar, bully mendapatkan reward atau penguatan dari
perilakunya. Pelaku bully akan mempersepsikan bahwa perilakunya justru
mendapatkan pembenaran bahkan memberinya identitas sosial yang
membanggakan.
Pihak-pihak Outsider, seperti misalnya guru, murid,
orang-orang yang bekerja di sekolah, orangtua, walaupun mereka
mengetahuinya akan tetapi tidak melaporkan, tidak mencegah dan hanya
membiarkan saja tradisi ini berjalan karena merasa bahwa hal ini wajar,
sebenarnya juga ikut berperan mempertahankan terjadinya bullying di
sekolah-sekolah. Dengan berjalannya waktu, pada saat korban merasa
naik status sosialnya (karena naik kelas) dan telah "dibebaskan melalui
kegiatan inisiasi informal" oleh kelompok bully, terjadilah perputaran peran. Korban berubah menjadi bully, asisten atau reinforcer untuk
melampiaskan dendamnya.
Iklim sekolah memberikan pengaruh bagi siswa untuk melakukan
perilaku bullying. Sikap sekolah yang
cenderung membiarkan dan mengabaikan perilaku bullying menjadikan pelaku
merasa apa yang dilakukannya tidak melanggar dan boleh melakukan intimidasi
pada siswa lain yang kurang memiliki kekuatan. Tingkat pengawasan pihak sekolah menentukan intensitas peristiwa
bullying terjadi. Rendahnya pengawasan di sekolah berkaitan erat dengan
berkembangnya perilaku bullying di kalangan siswa. Karakteristik sekolah yang
mayoritasnya memiliki jenis kelamin yang sama juga menjadi faktor terjadinya
perlaku bullying di sekolah.
Dari beberapa permasalahan seorang siswa sangat memungkinkan terjadi
bullying dengan berbagai bentuk dan tipologi bullying yang ada di sekolah
yaitu, memukul, mendorong, mencubit, mengancam, mempermalukan,
merendahkan, melihat dengan sinis, menjulurkan jari tengah, mendiamkan
seseorang, dan bentuk-bentuk lain dengan tipologi berbeda-beda yang dilakukan antar siswa. Kekerasan bullying seperti ini bisa saja dilakukan
secara perorangan atau kelompok, mereka yang melakukan secara mandiri
biasanya memiliki kekuatan (power) berupa kekuatan fisik, ekonomi.
Sementara, mereka yang melakukan tindak kekerasan bullying yang
dilakukan secara kelompok, mereka melakukan tindakan tersebut karena
motif menunjukan rasa solidaritas.
Tindak kekerasan bullying yang terdapat di sekolah bisa saja dilakukan oleh
oknum guru seperti, kekerasan fisik yaitu mencubit, memukul, menampar
dan tindakan lainnya yang dapat menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat terhadap fisik anak atau seseorang. Sementara kekerasan psikis
yang dilakukan oleh guru dapat berupa kata-kata kasar, atau makian dan
labelling (nama panggilan) yang kadang dianggap sebagai hal sepele.
Tindak kekerasan berupa labelling yang biasanya berarti negatif dan dapat
berbekas terhadap anak, misalnya menyebut siswa Si Bodoh, Si Gagap, Si
Gaboh (gagah tapi bodoh) dan labelling lainnya dapat menyebabkan
tekanan mental dan kurangnya rasa percaya diri siswa. Selain itu juga sering
terjadi kekerasan berupa pemberian tugas yang berlebihan, pengancaman
dan tindak kekerasan tak langsung berupa diskriminasi terhadap siswa.
Beberapa alasan kasus bullying di sekolah ini tetap terjadi antara lain:
Pertama, efeknya tidak tampak secara langsung, kecuali
bullying dalam bentuk kekerasan fisik. Akan tetapi, ini pun tidak terendus
karena banyak korban yang tidak mau melaporkan kekerasan yang
dialaminya, entah karena takut, malu, diancam atau karena alasan-alasan
lain.
Kedua, banyak kasus bullying yang secara kasat mata tampak seperti
bercandaan biasa khas anak-anak sekolah atau remaja yang dikira tidak
menimbulkan dampak serius. Ejekan-ejekan dan olok-olokan verbal
termasuk dalam kategori ini. banyak orangtua dan guru yang mengira bahwa
teguran saja mungkin sudah cukup untuk menyelesaikan bercandaan bocah- bocah itu. Padahal luka psikis dan emosional yang dialami korban kekerasan
verbal itu jauh lebih dalam dan menyakitkan.
Ketiga, sebagian orangtua dan
guru masih belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bullying
dan dampaknya bagi kehidupan anak. Sehingga sebagian orangtua dan guru
benar-benar tidak tahu bahwa ada masalah serius disekitar mereka.
Perlu adanya mekanisme penyelesaian khusus kasus bullying yang terjadi di
sekolah, seperti menyelenggarakan semacam konferensi komunitas,
membuat bentuk penalti non-fisik atau sanksi seperti menarik hak-hak atau
fasilitas yang diterima siswa atau skorsing dan pemecatan.