Mengapa Bullying atau Perundungan terjadi di Sekolah?

Mengapa Bullying atau Perundungan terjadi di sekolah?a





IndoPositive.org — 
Kasus bullying di sekolah ini bisa saja terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pembagian jenjang pendidikan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada Bab IV pasal 14 menyebutkan bahwa jenjang pendidikan formal yang berlaku di Indonesia terdiri dari pendidikan dasar yang mencakup tingkat Sekolah Dasar (SD) dan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Atas (SMA) ataupun Kejuruan, dan terakhir pendidikan tinggi yang mencakup tingkat Diploma, Strata Satu, dan seterusnya.

Terjadinya bullying di sekolah merupakan suatu proses dinamika kelompok, di mana ada pembagian-pembagian peran. Peran-peran tersebut adalah: Bully, Asisten Bully, Reinforcer, Victim, Defender dan Outsider

Bully, yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin, yang berinisiatif dan aktif terlibat dalam perilaku bullying. 

Asisten bully, juga terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia cenderung tergantung atau mengikuti perintah bully. 

Reinforcer adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi, ikut menyaksikan, mentertawakan korban, memprovokasi bully, mengajak siswa lain untuk menonton dan sebagainya. 

Outsider adalah orang-orang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli. 

Selain itu hal ini terjadi juga karena bully juga tidak mendapatkan konsekuensi negatif dari pihak guru atau sekolah, maka dari sudut teori belajar, bully mendapatkan reward atau penguatan dari perilakunya. Pelaku bully akan mempersepsikan bahwa perilakunya justru mendapatkan pembenaran bahkan memberinya identitas sosial yang membanggakan. 

Pihak-pihak Outsider, seperti misalnya guru, murid, orang-orang yang bekerja di sekolah, orangtua, walaupun mereka mengetahuinya akan tetapi tidak melaporkan, tidak mencegah dan hanya membiarkan saja tradisi ini berjalan karena merasa bahwa hal ini wajar, sebenarnya juga ikut berperan mempertahankan terjadinya bullying di sekolah-sekolah. Dengan berjalannya waktu, pada saat korban merasa naik status sosialnya (karena naik kelas) dan telah "dibebaskan melalui kegiatan inisiasi informal" oleh kelompok bully, terjadilah perputaran peran. Korban berubah menjadi bully, asisten atau reinforcer untuk melampiaskan dendamnya.

Iklim sekolah memberikan pengaruh bagi siswa untuk melakukan perilaku bullying. Sikap sekolah yang cenderung membiarkan dan mengabaikan perilaku bullying menjadikan pelaku merasa apa yang dilakukannya tidak melanggar dan boleh melakukan intimidasi pada siswa lain yang kurang memiliki kekuatan. Tingkat pengawasan pihak sekolah menentukan intensitas peristiwa bullying terjadi. Rendahnya pengawasan di sekolah berkaitan erat dengan berkembangnya perilaku bullying di kalangan siswa. Karakteristik sekolah yang mayoritasnya memiliki jenis kelamin yang sama juga menjadi faktor terjadinya perlaku bullying di sekolah. 

Dari beberapa permasalahan seorang siswa sangat memungkinkan terjadi bullying dengan berbagai bentuk dan tipologi bullying yang ada di sekolah yaitu, memukul, mendorong, mencubit, mengancam, mempermalukan, merendahkan, melihat dengan sinis, menjulurkan jari tengah, mendiamkan seseorang, dan bentuk-bentuk lain dengan tipologi berbeda-beda yang dilakukan antar siswa. Kekerasan bullying seperti ini bisa saja dilakukan secara perorangan atau kelompok, mereka yang melakukan secara mandiri biasanya memiliki kekuatan (power) berupa kekuatan fisik, ekonomi. Sementara, mereka yang melakukan tindak kekerasan bullying yang dilakukan secara kelompok, mereka melakukan tindakan tersebut karena motif menunjukan rasa solidaritas.

Tindak kekerasan bullying yang terdapat di sekolah bisa saja dilakukan oleh oknum guru seperti, kekerasan fisik yaitu mencubit, memukul, menampar dan tindakan lainnya yang dapat menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat terhadap fisik anak atau seseorang. Sementara kekerasan psikis yang dilakukan oleh guru dapat berupa kata-kata kasar, atau makian dan labelling (nama panggilan) yang kadang dianggap sebagai hal sepele. Tindak kekerasan berupa labelling yang biasanya berarti negatif dan dapat berbekas terhadap anak, misalnya menyebut siswa Si Bodoh, Si Gagap, Si Gaboh (gagah tapi bodoh) dan labelling lainnya dapat menyebabkan tekanan mental dan kurangnya rasa percaya diri siswa. Selain itu juga sering terjadi kekerasan berupa pemberian tugas yang berlebihan, pengancaman dan tindak kekerasan tak langsung berupa diskriminasi terhadap siswa.

Beberapa alasan kasus bullying di sekolah ini tetap terjadi antara lain:

Pertama, efeknya tidak tampak secara langsung, kecuali bullying dalam bentuk kekerasan fisik. Akan tetapi, ini pun tidak terendus karena banyak korban yang tidak mau melaporkan kekerasan yang dialaminya, entah karena takut, malu, diancam atau karena alasan-alasan lain. 

Kedua, banyak kasus bullying yang secara kasat mata tampak seperti bercandaan biasa khas anak-anak sekolah atau remaja yang dikira tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan-ejekan dan olok-olokan verbal termasuk dalam kategori ini. banyak orangtua dan guru yang mengira bahwa teguran saja mungkin sudah cukup untuk menyelesaikan bercandaan bocah- bocah itu. Padahal luka psikis dan emosional yang dialami korban kekerasan verbal itu jauh lebih dalam dan menyakitkan. 

Ketiga, sebagian orangtua dan guru masih belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bullying dan dampaknya bagi kehidupan anak. Sehingga sebagian orangtua dan guru benar-benar tidak tahu bahwa ada masalah serius disekitar mereka. 

Perlu adanya mekanisme penyelesaian khusus kasus bullying yang terjadi di sekolah, seperti menyelenggarakan semacam konferensi komunitas, membuat bentuk penalti non-fisik atau sanksi seperti menarik hak-hak atau fasilitas yang diterima siswa atau skorsing dan pemecatan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel