Syukur sebagai Pengalaman Afek
Syukur
sebagai pengalaman afektif digolongkan secara hierarkis oleh Rosenberg (1998)
sebagai sifat, emosi dan suasana hati. McCullough, Emmons, dan Tsang (2004)
mengemukakan bahwa sifat syukur menjadi predisposisi yang stabil untuk selalu merasakan
syukur. Sebagai emosi, syukur dapat dirasakan secara tiba-tiba dan intens.
Sebuah reaksi ketika menjadi penerima kebaikan orang lain. Sebagai suasana
hati, syukur juga ditemukan memberikan efek yang dalam, luas dan durasi yang
lebih lama terhadap kondisi kesadaran seseorang.
Roberts
(2004) mengemukakan bahwa seseorang bisa saja menemui pengalaman dan
mengekspresikan syukur namun belum tentu memiliki perasaan syukur. Syukur dapat
menjadi emosi yang kuat atau sikap yang samar, namun juga bisa menjadi sistem
nilai, ritual-ritual terperinci, dan kebiasaan sehari-hari. Emmons (2007:14) memberi istilah pada syukur
sebagai fenomena “hypocognized”. Hal
tersebut menjelaskan bahwa syukur tidak begitu sering dimaknai dalam beberapa
masyarakat.
Weiner
(1985) dalam teori emosi-kognitif membagi dua jenis emosi yakni, outcome-dependent dan attribution-dependent. Emosi seperti
marah dan senang termasuk dalam outcome-dependent,
karena hadir dan bergantung langsung pada sebuah peristiwa yang buruk dan baik.
Sedangkan syukur, termasuk dalam attribution-dependent,
sebuah perasaan yang hadir dalam pola tertentu. Syukur hadir ketika seseorang
melihat kejadian baik dan memunculkan atribusi bahwa orang lain terlibat
sebagai penyebab kejadian baik tersebut. Hal tersebut menjadikan syukur berada pada dua langkah proses kognitif yakni
(a) menyadari bahwa seseorang telah memperoleh sesuatu yang baik, dan (b)
menyadari bahwa terdapat sumber dari luar dalam memperoleh sesuatu yang baik
itu.
Barbara Fredrickson mengemukakan bahwa syukur merupakan sebuah emosi positif, serangkaian
pengalaman syukur tidak hanya merekatkan ikatan sosial namun juga akan membuat
seseorang membentuk watak untuk berpikir kratif mengenai cara membalas pemberi
(benefactor) dan manfaat yang telah
diberikan oleh oranglain, serta menerapkan hal tersebut dalam tindakan. Emosi
positif merupakan sesuatu dengan efek perasaan menyenangkan, berlawanan dengan
emosi negatif yang memberikan seseorang efek tidak nyaman dan rasa sakit.
McCullough,
Emmons, Kilpatrick dan Larson (2001) menemukan syukur sebagai afek moral yang memiliki
tiga fungsi. Pertama sebagai moral barometer, sebuah persepsi yang berkembang
karena kesadaran bahwa seseorang telah menerima bantuan dari seorang agen moral
lain. Kedua sebagai motif moral, menggerakkan seseorang untuk melakukan
perilaku prososial, baik secara resiprokal maupun kepada orang lain. Ketiga sebagai
fungsi reinforcer, menjadi penguat
bagi pemberi untuk tetap melakukan perilaku prososial dilain waktu.