Kekerasan atau Pelecehan Seksual, Salah Siapa?



Siapa yang dapat kita salahkan atas maraknya kasus pelecahan seksual di sekitar kita? Saya tidak menjamin akan memberikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini, tapi kira-kira seperti ini:

Beberapa tahun lalu, tepatnya di tahun 2016, saya berkesempatan mengikuti salah satu kegiatan yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Kegiatan itu merupakan, Temu Nasional Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak, yang kemudian disingkat “Puspa” dan berlangsung di Yogyakarta selama 30 Mei hingga 1 Juni 2016. Bagian menarik dari kegiatan ini adalah pemaparan data dan berbagai program yang telah dijalankan berbagai pihak dalam mencapai harapan bersama, yang pada kegiatan ini termaktub dalam program unggulan Three Ends dari KPPPA. Program itu berharap mampu mengakhiri tiga hal yang kerap terjadi,  yaitu akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia, dan akhiri ketidakadilan akses ekonomi untuk perempuan.

Baca juga: Catcalling, pelecehan seksual secara verbal dan dampak psikologisnya

Meskipun acara tersebut terbilang singkat, tapi saya merasa menemukan beberapa hal baru yang kerap mengganggu di pikiran saya. Di meja makan sekalipun, saya secara tidak langsung kerap terlibat dalam pembicaraan yang membahas tentang pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan dan anak. Seperti biasa, saya bukan pembicara yang baik tapi sesekali ibu-ibu di meja makan tertarik mendengar pandangan seorang lelaki dan pada saat itu, jumlah perempuan dan laki-laki dalam kegiatan ini memang tak seimbang. Dapat kalian bayangkan, betapa kemungkinan seperti ini berulang di beberapa kesempatan saat sesi santai atau makan siang dan malam.    

Pada bagian ketika saya diminta bicara, terasa agak berat dan sulit. Pertama, saya pada awalnya diundang bukan sebagai pemerhati masalah kekerasan atau pelecehan seksual sehingga pengetahuan saya terkait itu masih kurang. Pun dalam kelas psikologi kami belajar tentang masalah psikis pelaku atau korban, modal itu tak membuat saya merasa nyaman untuk menjawab atau berkomentar. Biarlah, setidaknya saya bisa mendengar cerita dan pengalaman ibu-ibu yang ada di sekitar saya pada waktu itu. Di meja makan hingga panggung pemaparan data, saya pun sadar jika pelaku pelecehan atau kekerasan seksual, sebagian besar dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Sampai detik ini, kasus pelecehan atau kekerasan tentu saja masih terjadi bahkan semakin meningkat. 

Setiap tahun guna memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) 2019, berdasarkan catatan atau temuan tersebut, kekerasan terhadap perempuan dinyatakan meningkat. Tahun ini Catahu diluncurkan dengan judul “Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara” Dari Catahu  2019 ini, ditemukan bila ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu sejumlah 406.178 kasus.

Baca juga: Melawan kekerasan seksual pada anak

Saya merasa mengikuti kegiatan Puspa 2016 benar-benar menyiksa, tapi ternyata yang jauh lebih menyiksa adalah setelah kegiatan tersebut berakhir. Saya mungkin beruntung lantaran mendapat kesempatan untuk belajar dan bertemu dengan sekelompok orang yang paham dengan kasus ini. Setelah mengerti jika sebagian besar kasus pelecehan atau kekerasan seksual sebagian besar dilakukan oleh orang terdekat, saya pun belajar jika korban pelecehan kerap disalahkan oleh orang sekitar. Dengan alasan perilaku atau pakaian yang digunakan korban, orang-orang dengan mudah menyalahkan, seperti: “Mengapa dia berpakaian seperti itu?” – “Mengapa dia pergi bersama orang itu?” dan berbagai pertanyaan yang berpusat pada korban. Maka terjadilah, victim-blaming. 

Nah, mengapa kita mampu berpikir seperti itu? Melvin J. Lerner, seorang profesor di bidang psikologi sosial beberapa kali menjelaskan masalah ini. Salah satu penjelasannya yang terkenal adalah “just-world phenomenon.” Kita sering berpikir bahwa dunia itu adil, atau menilai bahwa apa yang ditanam itu jugalah yang akan dituai. Pemahaman ini juga yang berperan dalam victim blaming.  

Baca juga: Mengenal body shame dan dampak psikologisnya

Melalui salah satu penelitian eksperimennya bersama Carolyn Simmons, kita dapat belajar terkait proses tersebut. Penelitian ini dibagi dalam dua kelompok dengan memperlihatkan sebuah monitor yang menampilkan partisipan lain menerima hukuman dengan disetrum karena melakukan kesalahan dalam game mengingat kata. Grup yang satunya pun melihat hal yang serupa, hanya saja mereka mampu bersuara untuk menghentikan hukuman setrum tersebut. Berbeda dengan grup sebelumnya yang tak memiliki hak tersebut. Di bagian akhir eksperimen, peneliti bertanya pada partisipan dan memperlihatkan hasil yang berbeda. Grup yang bersuara menganggap bila hukuman itu tak perlu, sedangkan grup yang tak bersuara menganggap bila hukuman itu pantas diberikan. Peneliti berkesimpulan bahwa orang-orang yang tidak memiliki peran atau terlibat langsung, cenderung melihat dunia sebagai sesuatu yang adil. Salah berarti dihukum dan layak menerima konsekuensi tersebut. Pada kasus victim blaming, manusia cenderung terperangkap dengan proses berpikir seperti itu.  

Setelah terlibat dengan beberapa kasus terkait pelecehan atau kekerasan seksual, saya tentu masih diserang berbagai pertanyaan. Menjadi korban dari kasus seperti itu sungguh lebih berat dari apa yang kita bayangkan. Betapa menyedihkan rasanya, bila beberapa kasus hanya berakhir dengan proses atur damai belaka. Budaya kita tentu saja punya peran dalam berbagai keputusan-keputusan terkait dengan masalah ini. Bagaimana budaya patriarki bekerja dalam masalah ini? Sampai kapan kita memutuskan bila kasus seperti ini cukup didiamkan saja? Apa yang harus kita lakukan hari ini untuk menjaga orang-orang sekitar kita, entah itu anak atau perempuan? Sejauh mana pemerintah berperan dalam mengatasi masalah ini? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang mengganggu dan selalu butuh jawaban lebih. Demikianlah.  

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel