Puasa dan Kesehatan Mental


WHO mewartakan bahwa 3.6% penduduk dunia mengalami gangguan kecemasan pada tahun 2015. Sebanyak 4.4% orang mengalami depresi, dan hampir separuh dari orang-orang itu tinggal di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Depresi juga jadi penyebab utama bunuh diri, dengan jumlah kasus mendekati 800.000 orang per tahun.

Di Indonesia, hasil riset Kementerian Kesehatan menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 6% atau 14 juta orang.

Angka itu terus meningkat. Hasil utama Riskesdas pada tahun 2018 menunjukkan, bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas mencapai 9.8%. Sementara, prevalensi depresi untuk usia 15 tahun ke atas berada pada angka 6.1%. Selain itu, proporsi rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang mengalami gangguan skizofrenia atau psikosis mencapai 7%. Jumlah itu juga meningkat dari angka 1.7% pada tahun 2013. 

Ada banyak faktor yang menyebabkan depresi dan kecemasan. Daniel Pompa, seorang dokter detoksifikasi alami, pada tahun 2018 menyatakan dalam tulisannya, Fasting for Mental Health: A Viable Option? bahwa salah satu penyebab yang tidak diperhatikan adalah makanan yang kita makan.

Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menemukan bahwa 77.3% penduduk Indonesia berusia 10 tahun ke atas gemar mengonsumsi bumbu penyedap, 40.7% gemar makanan berlemak, dan 53.1% suka makanan atau minuman manis. Sementara, sebanyak 93.5% kurang makan buah dan sayur. Jumlah itu meningkat menjadi 95.5% menurut data Riskesdas pada tahun 2018.

Jenis makanan yang kita makan, menentukan kadar toksin di tubuh. Makanan kaya lemak dan gula menyebabkan organ tubuh bekerja keras mencerna dan menetralisir toksin, sementara toksin dari dalam tubuh semakin meningkat. Hal itu dinyatakan oleh Hardinsyah, guru besar IPB, dalam buku Puasa Sambil Detoks yang terbit pada tahun 2011.

Jika usus dan hati tidak mampu menyaring toksin, toksin akan memasuki pembuluh darah dan mengalir ke otak. Hal itu dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) di otak sehingga menghambat metabolisme otak. Akibatnya, otak dan usus mengalami kekurangan gizi.

Robyn Cosford, pengajar di University of Newcastle, menyatakan bahwa ketika usus atau otak kekurangan gizi, proses metabolisme neurotransmiter tidak dapat berjalan optimal. Hal ini dapat menyebabkan gangguan psikologis dan saraf. Gangguan pada fungsi otak menyebabkan seseorang sulit berkonsentrasi, mudah lupa dan panik, cepat marah, dan paranoid.

Salah satu cara mengurangi, bahkan menghilangkan toksin dari dalam tubuh adalah berpuasa. Dalam sejarah peradaban manusia, puasa adalah teknik detoks tertua, juga teknik yang terbukti aman dan efektif.

Selama melaksanakan puasa—tidak makan dan minum mulai terbit fajar hingga matahari terbenam—organ pencernaan istirahat, dan sebagian sel serta jaringan tubuh bekerja lebih ringan menjelang siang dan sore. Sel dan jaringan tubuh memiliki kesempatan melakukan metabolisme toksin, dan menghilangkan zat yang tidak berguna.

Daniel Pompa menyatakan hal serupa. Ketika berpuasa, kita memberi tubuh waktu menyembuhkan dirinya sendiri dari dalam secara alami. Selain menghilangkan toksin, puasa dapat membersihkan sel jahat dari tubuh melalui proses autophagy, yaitu tubuh akan memakan sel dan jaringan jahat lebih dulu, sebelum memakan yang baik untuk mendapatkan energi.

Gabriel Cousens, seorang dokter Amerika, pernah melakukan penelitian tentang pengaruh puasa pada otak. Hasilnya terlihat setelah peserta penelitian berpuasa pada hari ke-empat. Para peserta merasakan konsentrasi meningkat, mereka lebih kreatif, bebas dari depresi, kecemasan menurun, dan pikiran lebih tenang. Penyebabnya: ketika toksin di otak dibersihkan, otak mampu bekerja lebih baik.

Puasa Ramadan, selain merupakan ibadah, adalah kesempatan istimewa. Selama berpuasa, organ-organ di dalam tubuh dapat melakukan proses detoks secara optimal. Mengutip Mahatma Gandhi, “puasa akan menyucikan jiwa kembali… cahaya dunia akan menerangimu saat berpuasa dan menyucikan diri.”

Tidak seperti antidepresan yang punya efek samping dan hanya menekan gejala, puasa langsung menyasar sumber penyebab kecemasan dan depresi. Puasa menyerang sel-sel jahat yang mengganggu kondisi mental. Dan itu, menurut Daniel Pompa, adalah dasar dari hidup yang sehat.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel