Kau Adalah Perantau yang Meninggalkan Desa Selama Belasan Tahun.
INDOPOSITIVE.org—Ingatan
terakhir tentang kampung halaman adalah leretan pohon rimbun, sawah keemasan di
dua sisi jalanan kampung, kicau burung di pagi hari, suara air mengalir yang
menenangkan. Rasanya sejuk, udara segar menjauhkanmu dari batuk.
Semua
kenangan itu membuatmu ingin pulang. Karena itu, kau bergegas memesan tiket
penerbangan dalam waktu dekat. Di dalam pesawat, kau menulis hal-hal yang akan
kau lakukan ketika tiba di desa.
Tapi,
saat kau tiba, itu bukanlah desa yang kau ingat.
Leretan
pohon telah jadi tiang listrik. Sawah-sawah menjelma jejeran rumah. Tidak ada
kicau burung, hanya suara knalpot bising. Sungai-sungai kering. Cuaca terasa
membakar, dan udara membuatmu terbatuk-batuk. Di kejauhan, kaulihat sebuah
pabrik berdiri, asap hitam membumbung di sekitar.
Tiba-tiba
dadamu bergejolak. Kau rasakan sesuatu. Perasaan yang harusnya, hanya muncul
saat kau kehilangan orang terkasih. Kau berlari hingga ke rumah. Menerima
sambutan orang tua, dan bergegas ke kamar untuk menenangkan perasaan.
Ponselmu
bergetar, sebuah pesan masuk. Kau membuka ponsel dan menemukan percakapan di
satu grup obrolan. Teman-temanmu meributkan sebuah video baru. Kau berharap itu
video slapstick yang akan membuatmu
tertawa. Kau berpikir, tertawa akan membuat gejolak itu lenyap.
Tapi
video itu membuat perasaanmu makin berkecamuk. Kau berpikir, ini salahmu karena
tidak memeriksa obrolan sebelum membuka video. Durasi video itu dua menit lebih. Isinya
adalah rekaman seorang anak, usianya kira-kira sepuluh tahun yang menangis
tersedu dalam mobil sambil mengocehkan sesuatu.
“The
planet is gonna be wrecked, people are just being rude to it. They throw trash
on the ground, they cut down trees. They make forest into places, into roads.
They need to think about what they are doing,” kata anak itu.
*
Dua
hari kemudian, kau harus kembali ke ibu kota karena urusan pekerjaan, dan
membawa perasaan aneh selama di desa sebagai cendera mata. Itu masih
mengganggumu hingga berminggu-minggu. Membuatmu tidak nyaman dan
bertanya-tanya: apa yang sedang terjadi?
Ketika
tiba akhir pekan, kau memutuskan mencari jawaban lewat cara termudah. Internet.
Di mesin telusur, kau mengetik dua kata kunci dalam bahasa inggris, “kesedihan”
dan “lingkungan”.
Video
anak kecil yang kautonton saat di desa menempati hasil pencarian teratas. Di
urutan berikutnya, beberapa artikel dan sejumlah penjelasan.
Dari
beberapa artikel, kau mendapatkan penjelasan tentang perasaanmu. Mereka
menamainya “kedukaan ekologis”. Ada yang lebih canggih menamainya “berkabung
ekologis”.
Artikel
pertama yang kaubaca adalah Hope
and Mourning in The Anthropocene: Understanding Ecological Grief di
laman The Conversation. Ditulis oleh dua orang peneliti, Neville Ellis dan
Ashlee Cunsolo.
Mereka menyebut nama Aldo Leopold, seorang naturalis
dari Amerika, sebagai salah satu yang pertama menulis tentang korban emosional
dari kerugian ekologis.
Dalam
buku yang terbit di tahun 1949, A Sand
County Almanac, Leopold menulis: “Salah satu hukuman dari kesadaran
ekologi,” kata Leopold, “adalah hidup sendiri di dunia yang melukaimu."
Ellis
dan Cunsolo juga menulis ringkasan temuan penelitian mereka tentang komunitas
adat Inuit di Kanada. Setelah wawancara panjang dengan orang-orang Inuit, mereka menyimpulkan bahwa perubahan ekologis
pada iklim dapat memicu pengalaman duka dalam beberapa cara.
“Orang-orang
berduka karena hilangnya bentang alam, ekosistem, spesies, atau tempat-tempat
yang membawa makna pribadi atau kolektif,” tulis Ellis dan Cunsolo.
Selama
beberapa tahun, pencairan es laut menghalangi orang Inuit mengunjungi situs
budaya mereka untuk melakukan ritual , seperti berburu dan memancing. Gangguan ini,
menurut Ellie dan Cunsolo, memicu reaksi
emosional yang kuat pada masyarakat Inuit, termasuk kesedihan, kemarahan,
kesedihan, frustrasi dan keputusasaan.
Selain
itu, keluarga petani Inuit yang diwawancarai menjelaskan kekhawatirannya tentang
masa depan. Ada kesedihan yang muncul untuk mengantisipasi kerugian ekologis
yang memburuk.
Tautan
lain yang kau temukan adalah ulasan sebuah buku, Mourning Nature: Hope at The Heart of Ecological Loss and Duka. Kau
menemukan editornya adalah Ashlee Cunsolo, penulis dari tautan sebelumnya. Kali ini, ia bersama dengan rekannya yang
lain, Karen Landman.
Buku
itu berisi sebelas bab yang merinci berbagai temuan tentang kedukaan ekologis dari
berbagai negara. Temuan Ellis dan Cunsolo adalah salah satunya.
Di
antara semua itu, yang menarik minatmu adalah eksplorasi Nancy Menning tentang
penggunaan ritual berkabung yang diambil dari tradisi Yahudi, Buddha Tibet dan
Syiah, sebagai cara mengekspresikan dan menyembuhkan duka ekologis. Kau ingin
mencobanya.
Dari
ulasan tentang buku itu, kau juga mengetahui bahwa kedukaan ekologis seringkali
disertai dengan rasa bersalah, malu, dan rasa gagal. Kau ingin tahu lebih banyak lagi.
Tapi ulasan itu sangat terbatas. Hal itu memberimu gagasan untuk membeli buku ini.
*
Setahun
lewat sejak kau memulai pencarian tentang kedukaan ekologis. Banyak hal terjadi.
Ada perang yang terus berlangsung dalam dirimu sejak kedukaan itu. Tapi, hari
ini, tekadmu sudah bulat. Sekarang kau berdiri di depan pintu atasan bersama
surat pengunduran diri di genggaman.
Dengan
penuh kesadaran, kau memutuskan untuk berhenti. Meninggalkan kota dan kemewahan.
Melepaskan pekerjaan di sebuah perusahaan tambang berpenghasilan seratus kali lipat
dari upah seorang petani penggarap.
Kau
ingin pulang dan melihat: apakah kau bisa melakukan sesuatu untuk
mempertahankan yang tersisa—sebelum kehilangan semuanya, selamanya.