Ihwal Gizi dan Pelajaran Manusia Pengembara



INDOPOSITIVE.org—Masalah gizi datang silih berganti. Berbeda di tiap lokasi. Bikin pusing pembuat regulasi.

Kementerian Kesehatan Indonesia, misalnya, pernah merevisi kebijakan pedoman pola konsumsi gizi. Dahulu, antara tahun 1950 hingga 1995, sehat itu berslogan “4 sehat, 5 sempurna”. Jargon itu mahsyur berkat Prof. Poerwo Soedarmo, Bapak Gizi Indonesia.

Tetapi di kemudian hari, stunting sebaga imbas dari gizi kurang tercatat banyak, dan obesitas akibat gizi lebih angkanya juga melonjak tinggi. Sporadisnya evolusi pusragam penyakit, bikin jargon gizi disadari tak mampu menjawab beban ganda persoalan gizi yang berkembang di masyarakat.

Persoalan kebijakan gizi 4 sehat 5 sempurna, salah satunya bermula tatkala mengabaikan integrasi aspek kinestetik. Untuk bisa berstatus sehat, manusia tak bisa hanya bersandar pada apa yang masuk lewat mulut. Manusia butuh bergerak. Sehat tak cukup dengan semata makan daging, sayur, dan susu, tiga kali sehari. Tubuh juga perlu asupan olahraga agar tubuh pun sehat paripurna.

Sehat mengharuskan aktif, bukan malas-malasan. Kalori yang dihasilkan makanan dalam tubuh, butuh dibakar agar tak terjadi penumpukan lemak. Sebab, kalori menggunung bisa mengundang tamu jahat berjuluk obesitas, darah tinggi, stroke, beserta sekutunya.

Pemerintah baru menyadari kebijakan itu mesti diperbaiki, setelah usianya hampir mencapai 50 tahun. Hasil International Congress of Nutrition sedunia di Roma tahun 1992, jadi titik pijak pemerintah mengubah arah kebijakan perbaikan gizi. Melalui agenda Repelita 5 tahun 1995, slogan 4 sehat, 5 sempurna berubah jadi Pedoman Gizi Seimbang. Sayangnya, sosialisasi pemerintah kurang masif saat itu. Alhasil, masih banyak orang yang tak kenal akrab konsep dan praktik Pedoman Gizi Seimbang. Sampai pada sebelum tahun 2009, sebelum pemerintah secara resmi dan eksplisit menetapkan Pedoman Gizi Seimbang dalam Undang-undang Kesehatan No. 36, masih begitu ramai orang-orang setia mengacu pedoman 4 sehat, 5 sempurna.

Dalam konsepsi Pedoman Gizi Seimbang, orang diimbau untuk mengatur porsi makan bervariasi sesuai kebutuhan tubuh, membiasakan bergerak aktif, mengontrol berat badan, dan menjaga kebersihan diri juga lingkungan. Anjuran ini tentu saja integral dengan konsep kesehatan holistik. Lebih komprehensif daripada 4 sehat, 5 sempurna.

Pedoman Gizi Seimbang, memberi penekanan lebih pada dimensi kinestetik alias aktivitas fisik. Peningkatan status gizi tak akan signifikan jika acuh tak acuh pada urusan olahraga. Di titik ini, berolahraga jadi agenda utama dan istimewa. Olahraga perlu dimasukkan dalam daftar aktivitas di sela banyaknya kesibukan dan tugas kerja. Ia bukan lagi sekadar urusan hobi, permainan, dan hiburan belaka.

Di jazirah Indonesia, sejak Pedoman Gizi Seimbang disahkan secara hukum, pemerintah lewat institusi kesehatan terkait, mencoba memaksimalkan kampanye untuk lebih giat beraktivitas fisik. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa dari 2009 hingga 2015, ada peningkatan 5,85 persen penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berolahraga. Angkanya memang terbilang masih kecil. Namun, kabar ini mesti disambut baik. Masih ada optimisme.

Olahraga itu menyehatkan tubuh, menyegarkan jasmani, dan juga bisa menghilangkan stres. Termaktub dalam American Journal of Clinical Nutrition, para peneliti dari Universitas Cambridge membeberkan hasil studi selama 12 tahun. “Orang-orang yang jarang bergerak lebih berbahaya dari kelebihan berat badan”. Laporan itu memperlihatkan pula ada 676 ribu orang meninggal karena malas bergerak. Sedangkan korban meninggal gara-gara obesitas hanya sekitar 337 ribu kasus.

Penyakit hipokinetik akibat jarang bergerak jadi horor. Membunuh masyarakat secara pelan dan senyap. Penyakit ini berbeda dari rabies, leptospirosis, atau flu burung yang penularannya langsung dan disadari. Hipertensi, stroke, diabetes, datang tanpa mengetuk atau mengucapkan salam. Tanpa mengenal umur, deretan penyakit itu merupakan efek paling rajin mengampiri para orang-orang malas menggerakkan fisik.

Pesohor yang sedang moncer, Yuval Noah Harari, dalam karya monumental Sapiens: A Brief History of Humankind (2014), menyampaikan sebuah fakta menarik terkait urgennya aktivitas fisik. Petuah Harari agak mirip dengan pesan di konsep Pedoman Gizi Seimbang.

Dibandingkan manusia yang hidup menjelajah dan mengembara, nasib manusia zaman modern, menurut Harari, lebih cepat kelelahan karena kurang terbiasa beraktivitas fisik. Manusia pengembara selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Hari ini ada di tempat A, besok sudah di tempat B. Atau bahkan, ketika siang mereka di hutan yang satu, malamnya mereka sudah tak berada di lokasi yang sama. Intensitas aktivitas fisik yang berlangsung hanya dalam hitungan jam, tanpa jeda, tanpa banyak waktu istirahat, membuat daya tahan bio-fisiologis mereka lebih kuat, tidak cepat lelah, dan memiliki stamina prima.

Selain itu, makanan yang dikonsumsi manusia pengembara selalu bervariasi. Setiap waktu mereka menyantap jenis makanan berbeda sesuai dengan tempat persinggahan. Hal itu cukup kontras ketika fase perkembangan masyarakat sudah memasuki revolusi agrikultur. Makanan manusia melulu gandum atau jagung. Domestifikasi tetumbuhan itu bikin manusia terikat. Terjerat menu yang itu-itu saja.

Harari bahkan mengeluarkan pernyataan kontroversial, bahwa ternyata, si manusialah yang sebenarnya didomestifikasi oleh gandum, bukan sebaliknya. Makanan hasil revolusi agrikultur pun jadi tak beraneka ragam. Tak banyak pilihan. Dan jika hari ini ditimbang dengan kacamata kebutuhan gizi, manusia pengembara tentu lebih sehat secara asupan nutrisi dibanding manusia-manusia setelahnya, ujar Harari.

Masyarakat Indonesia masih punya harapan besar untuk bergerak ke arah hidup yang semakin sehat. Kita hanya butuh sikap disiplin dan konsistensi menjaga pola hidup sehat hari demi hari. Makan bergizi dan bervariasi, serta –yang cukup penting- bergerak; memungsikan otot tiap pagi dan sore hari. Kita pun teringat dengan pesan seorang jurnalis kawakan, Rusdi Mathari, sebelum wafat ia bilang: “Kalau fisikmu pengen sehat, bergeraklah. Kalau jiwamu pengen sehat, bergeraklah. Menentang arus seperti ikan.”

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel