Apakah Berpikir Positif Selalu Baik Untuk Kita?
Sumber Gambar: io9 - Gizmodo |
INDOPOSITIVE.org — Sudah
tidak diragukan lagi, delapan dari sepuluh orang yang ada di sekitar anda
mungkin dengan mudah mengatakan,“cobalah berpikir positif!” saat sejumlah
masalah atau tantangan menghadang anda. Dan kejadian ini mungkin akan berulang
beberapa kali. Namun, apakah hal tersebut benar-benar baik untuk kita? Sejumlah
penelitian pun ikut memberikan kontribusi tentang bagaimana pengaruh berpikir
positif dalam kehidupan kita. Hasilnya?
Orang-orang
yang berpikir positif lebih mudah menghadapi masalah dibanding dengan yang
tidak melakukannya. Selain itu, berpikir positif dapat meningkatkan kesehatan,
mempercepat terjadinya resiliensi dan masih banyak lagi. Tapi kali ini, marilah
kita mulai dengan mencoba menjawab pertanyaan ini, “Apakah berpikir positif
benar-benar baik untuk kita?”
Selama
beberapa tahun belakangan ini, psikologi positif hadir dan terus melakukan
penelitian untuk mengembangkan berbagai topik seperti kebahagiaan, nilai-nilai
kebajikan manusia, kekuatan karakter dan berbagai hal yang jarang dijelaskan di
ilmu psikologi sebelumnya. Salah satunya tentang optimisme. Satu hal yang
paling berpengaruh dalam penerapan berpikir positif yang ada selama ini. Secara
tidak langsung, orang-orang diajak untuk menjadi optimis terhadap apa yang
dihadapinya. Martin Seligman, yang merupakan salah seorang pendiri Psikologi
Positif, pernah menuliskan dalam sebuah buku bahwa optimisme mampu mengabaikan
realitas yang ada dan menghalangi pengambilan keputusan yang tepat pada diri
seseorang.
Celakanya,
budaya berpikir positif mulai menggerogoti jalan pikiran kita dengan
mengganggap semuanya akan baik-baik saja. Hal yang akan hilang dari diri kita
saat itu terjadi adalah lemahnya antisipasi. Berbeda dengan
orang-orang pesimis yang dengan caranya sendiri, mencoba untuk menyiapkan
hal-hal yang mungkin akan menjadi sebentuk antisipasi yang lebih mapan dibanding
orang-orang optimis. Orang-orang optimis kemudian jauh lebih bersemangat dengan
antisipasi yang mereka lakukan. Kondisi ini dijelaskan dalam penelitian yang
dilakukan Julie Norem bersama koleganya tentang pesimisme. Sejumlah
penelitiannya kemudian dapat kita nikmati dalam bukunya yang berjudul The
Positive Power Of Negative Thinking.
Selain itu, penelitian tahun 2001 yang
dilakukan Martin Seligman dan Derek Isaacowitz pada kalangan usia lanjut
menemukan bahwa mereka yang pesimis tidak rentan terkena depresi setelah
menghadapi musibah besar seperti kematian orang terdekat. Mereka cenderung
menyiapkan diri dengan berbagai kemungkinan paling buruk yang akan menimpa
mereka di masa depan. Hal yang secara mental menguatkan dan membuatnya menjadi
lebih antisipatif terhadap berbagai ketidakpastian.
Hal menarik lainnya bisa kita pelajari
dari temuan Joanne Wood, seorang psikolog asal Universitas Waterloo. Bersama
rekan tim penelitinya, Joanne menjelaskan jika orang-orang yang mempunya harga
diri tinggi mengulang-ulang kalimat positif seperti “saya orang yang
menyenangkan” beberapa kali memang akan bermanfaat. Pengulangan itu menciptakan
suanasa yang jauh lebih positif. Hanya saja, orang-orang yang pada dasarnya
memiliki harga diri rendah, kemudian mengucapkan kalimat positif – itu akan
menjadi bumerang. Pasalnya, perulangan seperti itu secara tidak sadar membawa
mereka pada ingatan tentang kegagalan atau ketidakmampuan mereka sebelumnya.
Lalu,
bagaimana selanjutnya? Kita mungkin bisa hidup seperti Pollyanna dalam buku
karangan Eleanor H. Porter yang diterbitkan tahun 1913. Hidup dalam dunia
anak-anak yang dipenuhi dengan optimisme hingga lupa dengan dunia yang
sebenarnya. Namun, kita juga tentu harus memahami bagaimana kondisi realitas
yang sebenarnya. Istilah Pollyannaism kemudian digunakan dalam menjabarkan
sikap positif bias yang cenderung menyerang kita hari ini. Pertanyaan
selanjutnya yang penting untuk direfleksikan adalah, “Bagaimana cara kita menggunakan
positive thinking atau negative thinking dalam waktu yang bersamaan?”