Konsep Hedonic dan Eudaimonic Dalam Syukur
INDOPOSITIVE.org — Syukur merupakan emosi
positif dan berbagai penelitian membuktikan bahwa rasa syukur mampu meredakan
stres. Selain itu peningkatan syukur juga berkorelasi positif terhadap tingkat
well-being. Ada juga yang menyebutkan bahwa kemampuan bersyukur merupakan
sebuah watak dan telah menjadi bawaan individu. Namun, rasa syukur juga dapat
dipengaruhi oleh waktu, kejadian, serta berbagai hal. Sehingga, setiap individu
memiliki variasi syukur yang berbeda-beda.
Namun
ada dua konsep yang wajib dipahami yaitu hedonic dan eudaimonic. Hedonic
dikaitkan dengan kesenangan, sedih atau bahagia, sedangkan eudemonic lebih
kepada aktualisasi diri dan flourishing serta makna hidup. Kebanyakan
penelitian mengukur hedonic pada syukur dan jarang pada eudaimonic, sehingga
penelitian yang berjudul A daily diary
study of relationships between feelings of gratitude and well-being, bertujuan
untuk mengukur dua hal tersebut. Penelitian tersebut melibatkan 130 mahasiswa
yang diminta untuk menuliskan diary dalam waktu dua minggu.
Dalam
bahasa Yunani eudainomia εὐδαιμονία memiliki arti kebahagiaan. Kata ini terdiri
dari dua suku kata "eu" ("baik", "bagus") dan
"daimōn" ("roh, dewa, kekuatan batin"). Secara harafiah
istilah ini mengacu pada kondisi kebahagiaan oleh perlindungan roh yang murah
hati.Pada mulanya konsep eudemonic dikembangkan dari pemikiran Aristoteles
seelah sebelumnya dijelaskan oleh Sokrates dan Plato. Baginya, kehidupan yang
baik terjadi ketika kita menjalaninya dengan baik dan melakukan sesuatu yang
bermanfaat untuk kehidupan sekitar kita.
Dalam
eudaimonisme, pencarian kebahagiaan menjadi prinsip yang paling dasariah. Jadi
menurut eudaimonia, kebahagiaan dapat kita capai bukan dengan bersenang-senang
tapi melakukan berbagai hal yang bermakna. Pengertian 'bermakna' bisa jadi
berbeda-beda pada setiap orang namun pada intinya semua tindakan yang dirasakan
ada manfaatnya entah bagi diri sendiri atau bagi orang lain dapat dikatakan
memiliki makna dan makna inilah yang memunculkan perasaan positif atau bahagia.
Kebahagiaan yang dimaksud bukan hanya terbatas kepada perasaan subjektif
seperti senang atau gembira sebagai aspek emosional, melainkan lebih mendalam
dan objektif menyangkut pengembangan seluruh aspek kemanusiaan suatu individu (aspek
moral, sosial, emosional, rohani). Konsep tersebut pun berkembang dan
dipelajari hingga hari ini. Beberapa teori lahir dari pengembangan eudaimonic
sendiri. Seperti Self-determination theory (akan dijelaskan pada postingan
selanjutnya) yang dikemukan oleh Ryan and Deci.
Sementara
itu bahagia yang diusung oleh konsep hedonic diperkenalkan oleh Epicurus,
seorang filsuf yang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah kombinasi dari
perasaan relaks, terbebas dari rasa sakit atau khawatir dan dikelililingi oleh
teman-teman dekat. Konsep hedonic menawarkan kebahagiaan yang lebih cepat dan
lebih mudah dicapai sehingga mudah dipahami dan disukai banyak orang . Jadi
tidak mengherankan jika sampai saat ini banyak orang yang menjadi penganut
hedonic.
Hasil
penelitian pada 130 mahasiswa tersebut memperlihatkan bahwa dari aspek hedonic
dan eudemonic memiliki perbedaan setiap hari. Selain itu syukur juga dapat
bervariasi sebagai fungsi dari apakah syukur diukur dalam lebih hal afektif
atau kognitif. Namun pada akhirnya, eudemonic dapat memberikan kita perasaan
yang lebih mendalam dibandingkan hedonic yang cepat dan tak begitu mendalam.
Hanya saja, dalam kehidupan sehari-hari kita jarang melihat konsep eudemonic di
sekitar kita, lebih banyak yang masih menjadi penganut hedonic.