Sembilan Minggu di Asrama
Semuanya serba baru, tinggal di tempat baru dan dengan orang baru. Tidak pernah terpikirkan akan tinggal ditempat baru tapi saya akhirnya memilih untuk mencoba. Menerima sebuah lingkungan baru demi untuk mendapatkan ilmu. Mungkin bagi orang lain tanpa mengikuti, kita akan mendapatkan ilmu tersebut. Tapi sekali lagi, saya akan mencobanya.
Tepatnya
tahun 2010, bulan Februari-Maret berkisar Sembilan Minggu memutuskan memilih
ikut bimbingan belajar disalah satu lembaga bimbingan di Makassar dan memilih
tinggal asrama. Pada awalnya memang terasa membosankan dan bagi saya semuanya
hambar. Dari makanan yang dibuat bersama teman hingga sampai melewati hari
pertama bermalam di asrama. Yah, hambar pun dinikmati dan mencoba bertahan sembari
sambil menghitung berapa hari lagi untuk bertahan.
Namun,
tiba-tiba ada yang berubah. Berbeda dengan hari kemarin seperti diwaktu awal
saya tiba di tempat ini. Semakin betah meski terkadang ada saja yang berbeda
dengan keinginan saya. Yah, mereka. Orang-orang yang saya kenal dari dulu
karena berasal dari sekolah yang sama ditambah dengan orang baru dari berbagai
daerah di Sulawesi Selatan. Orang-orang baru yang senantiasa berbagi
pengalaman. Mereka penghuni asrama kamar satu dan dua. Mereka khususnya teman-teman
seperjuangan di kelas Avicena dan umumnya satu bimbingan belajar. Saya tak
menyangka kebersamaan mereka diwaktu merupakan pengalaman yang tak bisa saya
lupakan dan selalu saya nantikan kembali. Tapi saya sadar waktu tak bisa
diputar.
Masih
teringat bagaimana aktivitas diwaktu
itu, pagi-pagi sudah bangun dan antri untuk mandi. Antrinya pun berdasarkan jam
masuk kelas. Barangsiapa yang masuknya sangat pagi, pastinya dia yang dapat
nomor satu. Begitupun antrian terakhir diperoleh untuk teman asrama yang
masuknya siang. Mudah untuk mengaturnya tapi terkadang juga bisa ditolerir.
Tergantung apa keperluannya dulu. Selain itu kegiatan yang bikin kita jadi
akrab sesama penghuni asrama saling berbagi makanan. Apalagi ada diantara kami
yang pulang ke kampong halaman atau ada diantara kami yang dikunjungi baik dari
keluarga maupun teman, pastinya dapat rezeki juga. Selain itu belajar bersama
dan nontong bareng dikamar. Masih Ingat filmnya “3 Idiots” dan akhirnya
nangisnya bareng-bareng juga. Bagi saya menarik dan sederhana tapi buat saya
menyukainya. Mungkin saya harus membenarkan bahwa bahagia itu sederhana
tergantung kita sendiri untuk interpretasikan.
Seperti
cerita saya dengan teman asrama dan itu belum lagi cerita dari tentor. Yah,
mereka adalah bagian dari cerita ini. Cerita saya yang banggakan dan akan saya
ingat. Saya dan anak asrama tinggal bersama tentor. Mereka berada dilantai
satu. Mereka yang senantiasa mengawasi, menjaga, dan memberikan arahan kepada
kami. Mereka adalah orangtua kami. Membuat aturan yang arahnya mengajarkan kita
disiplin. Tapi namanya juga masih tergolong muda, terkadang melanggar. Maafkan
kami. Mereka adalah mahasiswa yang senantiasa berbagi pengalaman. Berbagi
tentang informasi kampus buat kami yang waktu itu adalah calon-calon mahasiswa
yang lagi berjuang untuk persiapan ikut SNMPTN. Mereka berbagi tentang dunia
kampus, dimulai dari menjadi maba hingga menjadi senior. Saya masih ingat
cerita mereka dan hari ini saya katakan cerita kalian dulunya adalah pegangan
saya sekarang. Banyak cerita yang mereka bagikan kepada kami dulunya, kini
kujumpai di kampus. Semuanya berharga bagi saya. Teman asrama, kakak tentor,
dan teman kelas.
Apalagi
malam perpisahan waktu itu. Bakar-bakar ikan dan makan bersama bersama teman
bimbel dan tentor. Semuanya serba sederhana, tapi sangat diapresiasi.
Membanggakan dan menjadi kenangan yang tak bisa dilupakan. Asrama selalu ada di
hati saya dan kami.
Tulisan ini juga dimuat di sini
*Haryati, Penulis adalah Mahasiswa Universitas Hasanuddin.