Ada Berapa Banyak Emosi yang Kita Miliki?



Di Katakerja, beberapa hari yang lalu – saya bersama Aan Mansyur dan Nurhady Sirimorok berbincang tentang emosi.Berbeda dengan kelas-kelas psikologi, percakapan terasa lebih cair. Ada spekulasi, juga sejumlah pikiran-pikiran yang mengganggu. Semua ini bermula saat Nurhady Sirimorok mengulang pernyataan, “Orang-orang perlu belajar psikologi!” Kira-kira ada tiga atau empat kali dia mengatakan itu. Hingga pembahasan selanjutnya beralih ke istilah “Baper” 

Aan Mansyur sempat bercerita anggapan kebanyakan orang pada dirinya, “sering buat baper” padahal puisi-puisi baginya adalah matematika bahasa.  Butuh waktu lama untuk memikirkan satu kata yang dia gunakan, kurang lebih seperti itulah yang dia ceritakan. Orang-orang mudah baper dan terbawa suasana begitu saja.

“Orang selalu menggunakan perasaan tapi tidak dengan pikiran!” kata Nurhady. Percakapan berlanjut dan kami mulai melihat situasi ini dari berbagai arah. Kami pun melihat emosi dengan cara yang berbeda. Membicarakan tentang pengaruh media sosial dan keterbelahan kita dengan situasi. Sejumlah perilaku baru setelah internet datang. Serta pembahasan lain yang terkait.

Salah satu hal menarik yang kemudian membuat saya menulis ini adalah pertanyaan, “Ada berapa banyak emosi yang kita miliki?” Kita juga sempat menduga, jika pengalaman kita memahami emosi begitu terbatas. Senang dan sedih, itu saja. Selain itu dari faktor bahasa, kita kerap sulit menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi emosi yang kita alami.  

Bila merujuk pada pandangan Paul Eckman, seorang peneliti psikologi yang berfokus pada emosi, dijelaskan bila terdapat enam emosi dasar yang ada secara universal. Enam emosi tersebut adalah happiness (kebahagiaan), sadness (kesedihan), disgust (jijik), fear (takut), surprise (terkejut), dan anger (marah). Baru setelah itu, dia mengembangkan daftar emosi dengan menambahkan emosi seperti pride (bangga), shame (malu), embarrassment (memalukan), dan excitement (amat senang).

Tak lama setelah temuan ini, kita kemudian mengenal istilah “wheel of emotions” yang diperkenalkan oleh Robert Plutchik. Seperti halnya warna, emosi dapat bercampur dan membentuk emosi yang baru. Kira-kira seperti itulah konsep sederhana yang dijabarkan oleh Plutchik. Konsep ini tetap mengakui adanya emosi dasar yang juga berpotensi sebagai penopang utama atas emosi. Emosi yang kompleks, sebenarnya lahir dari sejumlah emosi yang bercampur. Misalnya saja, emosi joy bercampur dengan trust dapat menciptakan love.

Di film Inside Out pun, kita bisa belajar tentang emosi dengan hadirnya berbagai karakter yang berdasar dari lima emosi. Ada karakter yang menggambarkan bahagia, sedih, takut, jijik, dan amarah. Melalui film animasi berdurasi 1 jam 42 menit itu, kita bisa melihat bagaiamana emosi bergantian menguasai pikiran seseorang. 

Dan begitulah, emosi sebenarnya perlu dikenali dan dipelajari. Kita harus melepas sempitnya kata yang membuat emosi menjadi sangat miskin makna. Bahkan, saya sering dengan “Eh jangan emosi!” emosi dalam hal ini diasosiasikan dengan emosi marah. 

Di tahun 2017, dua peneliti psikologi dari Universitas California yaitu Alan S. Cowen dan Dacher Keltner, menemukan bahwa terdapat emosi yang jauh lebih mendasar daripada yang diyakini sebelumnya. Dalam studi yang diterbitkan dalam Prosiding National Academy of Sciences, para peneliti mengidentifikasi 27 kategori emosi yang berbeda. Setidaknya memahami emosi bukanlah perkara yang mudah.

Lalu, mengapa orang mudah terbawa perasaan atau baper? Seperti yang selalu dicurigai Nurhady, “orang-orang tidak terbiasa lagi dengan berpikir” – kita butuh belajar untuk berpikir.

Jebakan-jebakan yang ada di sekitar kita memang berpotensi untuk membuat kita lupa dengan banyak hal. Selepas percakapan malam itu, saya kembali melihat beberapa catatan tentang emosi, membaca sejumlah penelitian, membuat spekulasi baru. Memikirkan emosi setidaknya membuat kita bisa lebih sadar dengan kendali atau perilaku serta respon terhadap sesuatu.

Saya juga kembali menulis puisi, bermain matematika dengan bahasa. Dan saya merasa, puisi punya kekuatan lebih untuk membuat kita memahami perasaan maupun pikiran secara berimbang. Walaupun, tidak mudah menemukan keseimbangan itu. Orang-orang mungkin perlu belajar puisi, membaca sebanyak-banyaknya puisi dan memikirkan emosi yang ada di dalamnya. Bila terbawa perasaan, kita mesti berpikir – mengapa penulis atau penyair bisa merasakan hal seperti itu. 

Bagaimana pun, kemungkinan ini bisa jadi ruang belajar yang baru. Besok, ada emosi baru yang akan kita dapatkan, tapi kerap tak kita kenali dan pada akhirnya kita abaikan begitu saja.

Selain baca puisi, ada banyak hal yang bisa kita lakukan tapi puisi bagi saya saat ini adalah menyeimbangkan pikiran dan perasaan sebaik-baik mungkin. Bila gagal, gagal lagi, dan sadar secepatnya. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel