Bagaimana Instagram Bekerja Pada Teman-teman Saya


Instagram, Facebook, dan Whatsapp sulit diakses. Itu terjadi pada Kamis dini hari, 14 Maret 2019. Di beberapa negara, akun Instagram tidak bisa log-in dan mengunggah. Orang-orang membahas itu di Twitter hingga tagar #instagramdown masuk daftar trending topic Twitter Indonesia.

Untuk beberapa orang, itu tentu saja berita buruk. Tapi bagi beberapa yang lain, itu mungkin berita baik. Itu bisa jadi alasan yang memaksa rehat sejenak dari media sosial—sesuatu yang, mungkin, ingin dilakukan sejak dulu.

Hari itu, akun Instagram saya bisa diakses, tapi linimasanya tidak bisa diperbarui. Saya membuka Twitter, dan secara kebetulan menemukan cuitan Sam Lansky, penulis dan editor TIME. Ia menulis, what if Instagram just never come back how much freer would be all be.
Bagaimana jika Instagram tidak pernah kembali, betapa—sebentar—hm, mengapa twit itu diretwit hingga 1768 kali, dan disukai 16.000 akun?

Sehari setelah Instagram sulit diakses, saya bertemu dua orang teman. Malam itu, di dalam mobil, saya bertanya pada mereka, dan teman saya yang duduk di kursi kemudi menjawab tidak tahu, bahwa Instagram sempat redup. Ia menghapus Instagram dari ponselnya: Ia ingin rehat, mencegah diri dari kecanduan yang lebih akut.

“Saya juga deh mau coba nonaktifkan akun,” teman saya yang lain, yang duduk di samping pengemudi, menimpali. Ia pun sepakat, bahwa Instagram telah mencuri banyak waktu dan perhatiannya.

Mengapa Instagram mampu melakukan itu? Tristan Harris, seorang desainer yang bekerja di Google, dalam esainya, How Technology Hijacks People’s Minds—from A Magician and Google’s Design Ethicist, menjelaskan mengapa aplikasi membuat orang kecanduan.

Perancang teknologi mengubah aplikasi menjadi mesin judi! Ya, cara itu memanfaatkan faktor psikologis dengan menggunakan konsep yang disebut intermitten variable rewards.
Agar pengguna aplikasi kecanduan, perancang teknologi menautkan tindakan pengguna—seperti menarik tuas mesin judi—dengan hadiah yang diperoleh. Kita menarik tuas dan mendapat, atau tidak mendapatkan hadiah sama sekali. Kecanduan semakin kuat jika hadiah yang kita dapatkan bervariasi.

Konsep itu bekerja di Instagram. Saat mengusap jari di ponsel untuk memperbarui linimasa, kita seperti memutar mesin judi. Kita menunggu untuk melihat gambar apa yang muncul selanjutnya. Apa yang kita dapatkan, menguatkan perilaku kita. Akhirnya, kita membuka Instagram sekali lagi, dan sekali lagi.

Selain intermitten variable rewards, faktor lain yang membuat kecanduan adalah tanggapan sosial. Kita ingin pengakuan orang lain. Disetujui, dihargai dan dimiliki adalah salah satu kebutuhan kita—dan Instagram memanfaatkan itu.

Saat kita mengunggah gambar atau video, kita berharap orang lain menyukai dan mengomentari unggahan itu. Kita senang saat orang melihat dan menanggapi stories kita. Jika tanggapan sosial tidak kita dapatkan, dampaknya bisa merugikan.

Saya bertanya pada teman lain saat kami bertemu pada 16 Maret 2019. Di taman kampus, ia mengaku tidak kecanduan Instagram. Tapi, masalah lain muncul setelah ia mengunggah foto. Ia cemas membayangkan tidak ada, atau sedikit, yang menanggapi fotonya. Jika itu terjadi, ia bertanya-tanya pada diri sendiri, “kenapa ka’ ini?,” dan, akhirnya, membikin ia merasa rendah diri.

Selain dampak itu, sebagai media sosial, Instagram tentu punya dampak positif. Media sosial bisa meningkatkan kebahagiaan dan kesehatan mental. Tapi itu berlaku dalam penggunaan setengah sampai dua jam di luar kegiatan akademik. Setelah dua jam, kebahagiaan terus menurun, dan dampaknya tambah buruk pada pengguna yang menghabiskan sebagian besar waktu untuk online.

Itu dikemukakan Jean M. Twenge, profesor psikologi dari San Diego State University, dan dimuat oleh TIME, sebagai kesimpulan terhadap empat penelitian besar tentang remaja di Amerika dan Inggris.

Banyak faktor yang menyulitkan kita lepas dari media sosial. Yang paling berbahaya adalah notifikasi yang memenuhi layar ponsel. Justin Rosenstein, pencipta tombol like Facebook, menyatakan itu kepada redaksi VICE. Ia bilang, push notification bisa mengganggu. Itu memaksa kita membuka ponsel, dan tersesat di dunia maya yang sebenarnya bisa menunggu, atau tidak penting sama sekali.

Bukan hanya Instagram; segala sesuatu di dunia maya, seolah bersaing merebut perhatian kita. Celakanya, perhatian kita tidak bisa melayani itu semua. Perhatian kita terbatas. Jika kita tidak menyadari itu dan membatasi diri, kita mungkin masih bisa mengambil manfaat dari dunia maya. Tapi, dunia maya akan mengambil lebih banyak dari diri kita.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel