Orang Baik Konon Tak Bisa Menjadi Kaya, Benarkah?
INDOPOSITIVE.org—Selepas
mengedit sebuah tulisan di sebuah café dengan nama yang berasal dari Bahasa
Belanda, saya membiarkan kawan saya bercerita. Setelah sebelumnya saya sibuk
melihat paragraf demi paragraf, dan teman saya sibuk mengamati foto seorang
perempuan yang mungkin ingin dia dekati atau miliki. Sebelum saya mengedit,
perihal perempuan itu sudah dia ceritakan dan tidak akan saya tuliskan di sini.
Kawan saya
kembali bercerita, ceritanya mengalir deras setelah beberapa saat tertahan. Dia
bercerita tentang ayahnya yang hendak pensiun dini. Ayahnya juga ditawari
menjadi kepala desa, tapi ayahnya ingin hidup lebih tenang. Dan dia – sebagai
anak yang baik – mendukung keputusan ayahnya. Dia paham jika ayahnya adalah
sosok yang baik, bahkan terbilang orang yang sangat baik. Ayahnya rela menolong
keluarga atau teman dan mengabaikan kepentingan-kepentingan pribadi yang
dimiliki. Saya berharap, kawan saya yang bercerita itu pun bisa mengikuti jejak
ayahnya. Tapi sayangnya, di mata beberapa perempuan, dia terbilang jahat. Motor
vespa tua miliknya jadi saksi bisu beberapa aksi PHP yang dia lakukan.
Saya sempat
berpikir jika istilah baik dan buruk kadang digunakan dalam waktu yang kurang
tepat. Kekeliruan kadang atau mungkin selalu, datang lebih cepat dibanding
kebenaran. Hingga saat kawan saya bercerita tentang masalah ekonomi ayahnya,
dia meyakini jikalau kebaikan ayahnya tak mampu membuat beberapa bisnis atau
usahanya maju dan menjadi orang kaya. Dan sikap ayahnya mungkin menjadi sesuatu
yang buruk.
“Iya sih,
orang baik kadang susah kaya.” Kami terdiam sejenak “Ada penelitiannya itu!”
Saat mendengar saya mengatakan itu, dia langsung meminta saya untuk
menceritakan penelitian tentang orang baik yang sulit jadi kaya. Ya, itu
lantaran di akhir tahun 2018 kemarin, saya membaca penelitian dari Joe
Gladstone bersama rekannya Sandra Matz, penelitian itu dipublikasikan dengan
judul Nice guys finish last: When and why agreeableness is associated with
economic hardship. Setelah
mereka menganalisis data lebih dari tiga juta peserta lalu membandingkan data
kepribadian dan keuangan mereka. Dari penelitian itu, sekilas kita bisa
mengambil kesimpulan jikalau orang baik akan sulit menjadi orang kaya.
Penelitian
yang dipublikasikan dalam Journal of Personality and Social Psychology itu
menjelaskan bila orang-orang yang baik hati kemungkinan besar memiliki tabungan
yang lebih sedikit, utang yang lebih banyak, dan ketidakmampuan membayar utang
lebih baik dibanding mereka yang memiliki kepribadian yang kurang menyenangkan
atau tidak peduli dengan sesama. Hal itu terjadi karena mereka tidak memandang
nilai uang seperti para pemburu kekayaan lakukan.
Tapi,
sepulang dari café saya merasa bersalah. Perbincangan itu seolah menegaskan
bahwa kekayaan dan kebaikan sulit untuk dipertemukan. Atau bisa jadi membawa
pikiran kami pada pernyataan, orang kaya kebanyakan (mungkin semua) adalah
orang jahat. Mungkin saya keliru. Setelah saya pikir-pikir, saya punya beberapa
orang kaya yang juga baik hatinya (berdasarkan penilaian subjektif saya).
“Sepertinya
penelitian itu harus saya baca lagi” saya membatin, sembari mengumpulkan tenaga
untuk menulis sebuah esai yang singkat saja. Sebelum tenaga saya terkumpul, saya membuka
dan membaca artikel penelitian tentang masalah tadi. Sialnya, saya semakin
menemukan banyak penelitian yang serupa dengan temuan Joe dan Sandra.
Saya sendiri
belakangan mencoba untuk belajar menjadi orang baik dan kaya, tapi sejumlah
penelitian ini dan itu membuat usaha saya terasa sulit tercapai. Benarkah orang
baik sulit menjadi kaya? Saya malah menemukan jawaban dari penjelasan bagaimana
perilaku orang kaya dan sikapnya yang buruk.
Dalam sebuah
kesempatan, Paul Piff salah seorang peneliti dari University of California,
Berkeley menceritakan sebuah penelitiannya yang menggunakan permainan Monopoli.
Dia ingin melihat bagaimana perilaku orang yang memiliki banyak uang dengan
orang yang hanya memiliki sedikit uang. Sebelum permainan dimulai, peneliti
telah menentukan orang kaya dan diberikan uang dan kesempatan lebih banyak
dibanding yang miskin.
Paul Piff
kemudian melihat bahwa mereka yang memiliki banyak uang dalam game monopoli
ini, memiliki perilaku yang tampak berubah. Mereka mulai dominan, keras, dan
agresif. Mereka bicara sesukanya, menikmati kue cemilan yang disediakan lebih
banyak dan berbicara dengan suara yang keras. Yang menarik, di akhir permainan
kelompok orang kaya berpikir jika kemenangan itu diraih karena keterampilan dan
strategi mereka yang apik. Peneliti kemudian menemukan bahwa orang kaya cenderung
merasionalisasi keberhasilan mereka, kemudian percaya jika itu pantas mereka
dapatkan. Mereka kemudian mengejar kepentingan pribadi dan tanpa disadari
menjadi serakah. Kondisi ini mungkin akan membenarkan, mengapa orang kaya,
cenderung kehilangan kebaikan hatinya.
Tunggu, saya
masih menyimpan keyakinan jika ada orang baik yang kaya. Dan pernyataan itu
mungkin telah dibuktikan oleh para peneliti. Haruskah kita berakhir pada
kesimpulan “menjadi baik akan berbahaya bagi urusan finansial kita” dan
berusaha memilih menjadi orang jahat dan kaya atau orang baik tapi miskin.
Sederhananya, kita mungkin akan berpikir jika orang baik cenderung sulit untuk
menolak dan kadang mengorbankan finansial mereka sendiri. Seperti yang Joe dan
Sandra temukan, bahwa orang-orang seperti itu tak terlalu memberi perhatian
pada nilai uang.
Beruntungnya,
ada beberapa orang-orang lepas dari berbagai temuan penelitian tadi. Mereka
yang baik tapi tetap aman dari masalah finansial. Sebuah penelitian terbaru
menemukan bahwa, orang yang seperti itu malah lebih banyak berjuang. Ini
membuat kita tak harus berpikir jika ingin kaya harus menjadi jahat. Kita hanya
perlu memperhatikan uang dengan lebih baik dan memikirkan strategi yang tepat.
Miriam
Gensowski, dari University of Copenhagen mencoba memecahkan masalah ini. Dia melakukan
peneliti dengan melihat kepribadian dan jumlah pendapatan finansial yang
diterima. Secara umum, Gensowski mengulang temuan bahwa orang baik memiliki
penghasilan yang lebih rendah dan sulit untuk mencapai karir pemimpin dalam
sebuah perusahaan. Orang-orang baik kadang sulit untuk berkata jujur dan
memberikan umpan balik. Mereka cenderung pasif dan kurang peduli dengan hal
yang dilakukan orang-orang lain.
Mungkin
menggunakan istilah orang baik dan jahat kurang tepat, tapi sejauh ini, untuk
memudahkan penyampaian penelitian ini, itu mungkin akan lebih tersampaikan
dengan jelas.
Kabar baiknya
adalah, Miriam Gensowski menjelaskan bahwa bukan sikap baik yang menghalangi
penghasilan seseorang. Atau tak perlu menjadi orang jahat untuk menjadi kaya.
Orang-orang baik dengan kepribadian tertentu, cenderung memiliki keterampilan
sosial yang baik. Keterampilan sosial mereka kurang baik dalam menghadapi
berbagai situasi. Sehingga, dia mencoba untuk memberikan saran pada proses
perkembangan anak agar memberi perhatian lebih pada masalah keterampilan
sosial.
Mungkin kita
harus belajar dari Igor Grossmann, bagi dia – sulit sekali menentukan jika
perilaku A atau B layak disebut baik dan buruk. Sebagai seorang peneliti dalam
topik kebijaksanaan, Igor selalu berpesan, yang terpenting dalam hidup adalah
sejumlah alasan yang menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu. Belum ada
perilaku yang bijak, tapi alasan bijak mungkin ada. Dan memindahkan alasan ke
dalam bentuk perilaku yang sebenarnya – adalah sebuah tantangan besar bagi
kita. Saya yang mungkin ingin menjadi kaya atau merdeka secara finansial
memiliki alasan tersendiri, tapi menyelamatkan alasan itu hingga berwujud dalam
perilaku menjadi ancaman atau ketakutan tersendiri bagi saya.
Kawan saya
itu, mungkin akan kembali mengajak saya ngopi di café berbeda. Lalu dia akan
kembali bercerita tentang perempuan-perempuannya. Dan keinginannya menjadi kaya
dan baik hati. Saya juga akan memintanya membaca beberapa buku tentang masalah
finansial, mencari siasat menghadapi gempuran media yang juga mengabarkan
berbagai temuan bahwa kaum milenial akan bermasalah dengan keuangan. Saya
mungkin juga akan mengajaknya bermain monopoli.