Internet yang Mengubah Cara Makan Kita
INDOPOSITIVE.org—Pada
satu titik, internet punya sisi yang luhur; mendemokratisasi pengetahuan,
membuatnya jadi akses untuk semua kalangan. Pada titik yang lain, internet
merubah lebih banyak tatanan; struktur pasar, cara interaksi manusia, mobilitas,
dan banyak hal lain. Ketika Nielsen Consumer Media
View merilis sejumlah data di
tahun 2017, kita mendapati ilustrasi tentang sebuah disrupsi besar dalam industri
media; media konvensional cetak tumbang satu persatu di saat konsumsi informasi
lewat media daring semakin menjadi.
Temuan Nielsen, di
tahun 2017, tingkat pembelian koran secara personal mengalami penurunan 20%,
yang di 2013 masih mencapai 28%. Jumlah
media cetak juga berkurang 23%, dari 268 media cetak pada 2013, tersisa 192
pada 2017.
Dalam berita yang tayang
tahun lalu di katadata, Direktur Eksekutif Nielsen Media Indonesia Hellen Katherina,
menyebut anggapan bahwa media harus gratis membawa penetrasi media digital ke
angka 6 juta orang pembaca hingga 2017. Lebih banyak dari pembaca media cetak
sebanyak 4,5 juta orang. Padahal, jumlah pembaca media cetak pada 2013 bisa
mencapai 9,5 juta orang. Sementara, yang membaca media cetak dan digital secara
bersamaan hanya 1,1 juta orang.
Indonesia, sendiri punya 47.000 media terdaftar, dari cetak,
radio, televisi dan media online. Itu berdasarkan keterangan Ketua
Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo saat puncak peringatan Hari Pers Nasional 2018
pada tanggal 9 Februari, bahwa dari 47.000 itu, 2.000 adalah media cetak, 674 radio, 523
televisi termasuk lokal, dan selebihnya 43.803 adalah media daring.
Dengan 43.803 media daring terdaftar tanpa menghitung sumber
lain yang bisa diakses lewat tapak maya, bisa dibayangkan betapa lalu lintas
informasi menjadi sangat padat di masa jaya internet. Era ini benar-benar membuka ruang bagi
siapapun untuk menjadi sumber informasi. Tentu saja dengan biaya yang lebih murah.
Ini bukan lagi era ketika mesin cetak sangat dibutuhkan untuk
menyebar berita atau beriklan. Tidak ada lagi yang terlalu butuh radio atau televisi
untuk mengudara. Semua orang bisa, dimanapun, kapanpun, asal ada koneksi
internet. Dan yang paling mengesankan adalah lalu lintas informasi itu,
meskipun padat, tapi bergerak sangat cepat. Jauh lebih cepat dari gerak
kemacetan ibukota.
Dalam hal mendemokratisasi pengetahuan atau membuat informasi
menjadi akses, internet telah mencapai tujuan luhurnya. Tapi itu bukan sesuatu
yang terus maju tanpa konsekuensi. Internet meski menyediakan setiap informasi
yang dibutuhkan, disaat bersamaan adalah parade dengan tayangan informasi di
luar kebutuhan, iklan.
Iklan
seringkali muncul bersamaan dengan informasi yang dicari. Itu menghadirkan
banyak pilihan, menstimulasi banyak keinginan, dan akhirnya mendesak siapapun
untuk menambahkannya dalam daftar kebutuhan. Salah satu temuan yang diterbitkan
pada tahun 2009 oleh Journal of Medical Internet Research menjelaskan
hubungan antara intensi penggunaan internet dan obesitas.
Temuan itu adalah
hasil pengujian terhadap 2650 orang dewasa di Adelaide, Australia yang menyelesaikan
kuesioner tentang item tinggi dan berat badan mereka, ingatan tujuh hari
terakhir mengenai aktivitas fisik waktu senggang, penggunaan Internet dan
komputer, dan perilaku santai lainnya. Waktu luang Internet dan penggunaan
komputer dikategorikan tidak ada gunanya, penggunaan rendah (kurang dari tiga
jam per minggu), atau penggunaan tinggi (tiga jam atau lebih per minggu).
Orang dewasa dengan penggunaan komputer dan internet
waktu senggang yang tinggi lebih mungkin mengalami kelebihan berat badan atau
obesitas, bahkan jika mereka sangat aktif dalam waktu luang mereka dibanding
partisipan yang tidak menggunakan internet atau komputer. Hal yang sama
juga dikonfirmasi terjadi pada pengguna televisi.
Dennis Rosen pada tahun 2009 menulis di Psychology
Today tentang penelitian terbaru yang terbit dalam The American
Journal of Clinical Nutrition. Temuan itu menjelaskan bahwa semakin banyak
waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi, semakin besar kemungkinan
anak-anak menjadi lebih gemuk dan kurang aktif secara fisik. 89 anak-anak dari Skotlandia antara usia 2-6 tahun direkrut
untuk studi, di mana pengeluaran energi total dan aktivitas fisik diukur. Orang tua diminta
mengisi kuesioner yang merinci kebiasaan menonton televisi. Para peneliti
menemukan hubungan yang signifikan antara jumlah jam menonton TV perhari dan
massa lemak tubuh, dengan setiap waktu luang setiap hari dihabiskan menonton televisi
terkait dengan peningkatan 2,2 pound dalam lemak tubuh.
Kedua penelitian tampaknya menekankan kegemukan sebagai
akibat dari berkurangnya aktivitas fisik. Dan pada studi tentang televisi
disimpulkan faktor tambahan seperti perubahan pola makan yang terkait dengan
aktivitas menonton. Sayangnya, kedua penelitian luput menyebutkan, bahwa
baik aktivitas berselancar di internet maupun menonton adalah sebuah kondisi
motivasi.
Untuk
memahami cara kerjanya, Maslow dalam Motivation
& Personality menyebut kondisi motivasi sebaga siklus konstan, tidak
pernah berakhir, berfluktuasi, dan rumit. Itu
adalah karakteristik yang hampir universal dalam hampir semua keadaan
organisme, dan akan terus bekerja selagi ada informasi yang diterima dan diolah
menjadi desakan baru. Ketika satu keinginan dipenuhi, yang lain muncul untuk
menggantikannya. Itu bekerja seperti kutukan Sisifus.
Motivasi
manusia tidak hanya bekerja secara naluriah, ia dipelajari. Kondisi kekenyangan
tentu tidak menghentikan seseorang, tertarik pada gambar dan iklan makanan
menggiurkan yang tayang lalu lalang di seluruh media sosial daring. Meskipun
tahu dia sama sekali tidak membutuhkannya. Motivasi bukan hanya tentang
kebutuhan, tapi tentang desakan untuk mencapai keseimbangan.
Nielsen
Cross Platform Report 2017, sebuah studi konsumen digital
yang berfokus pada pengguna internet dan perilaku pemakaian multi
media khususnya dalam mengakses konten digital untuk area Asia
Pasifik. Menemukan lebih 60 persen konsumen dalam studinya, di
kelompok usia 21-49 tahun seringkali melakukan pencarian lebih lanjut setelah
melihat Iklan video online.
Separuh
konsumen juga mengaku, biasanya mereka akan melakukan kunjungan ke toko
secara langsung setelah melihat Iklan video online dan peluang
terjadinya pembelian pun cukup besar pada saat konsumen melakukan kunjungan ke
toko (mencapai hingga 28% di kelompok usia 30-39 tahun).
Lantas apa
yang bisa dikatakan? Internet merubah cara makan manusia masa kini. Dengan
segala pilihan menarik yang ditawarkan, selalu ada alasan untuk makan, dan
akibat seperti kegemukan. Beberapa agama menawarkan cara mengatasi kegemukan
dengan berpuasa, itu benar. Tapi di era internet, itu tidak cukup. Di luar puasa
konvensional, masyarakat internet perlu puasa alternatif sebagai pendukung;
puasa informasi.