Apa Kata Psikolog soal "Foto Narsis" di Jejaring Sosial?
Ilustrasi Selfie |
Selfie atau memotret diri sendiri untuk kemudian mengunggahnya ke jejaring sosial saat ini menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan, istilah selfie kini sudah masuk dalam kamus dan ditempatkan sebagai Oxford English Dictionary's 2013 Word of The Year.
Perilaku narsisme di media sosial ini pun sudah berlaku universal. Tak cuma masyarakat biasa, kalangan elite seperti presiden, pejabat, dan selebriti pun sudah ketularan perilaku ini. Survei dari Pew Internet & American Life Project menyatakan, 54 persen pengguna internet punya kebiasaan mengunggah potret dirinya ke dalam Facebook, Twitter, atau jejaring sosial lainnya.
Menurut psikolog dan direktur Media Psychology Research Center, Dr Pamela Rutledge, keinginan memotret, mem-posting, dan mendapatkan "likes" dari situs jejaring sosial merupakan hal yang wajar pada setiap orang.
“Keinginan ini dipengaruhi rasa kita pada hubungan sosial. Hal ini sebetulnya sama dengan saat orang mengatakan betapa bagus baju yang kita kenakan. Secara biologis, pengakuan sosial merupakan kebutuhan, bahkan ada area pada otak yang dikhususkan untuk aktivitas sosial,” kata Rutledge.
"Wabah" selfie sebetulnya tidak dimulai saat marak penggunaan smartphone. Menurut infoBBC, selfie pertama kemungkinan dilakukan di tahun 1800-an menggunakan cermin atau menggunakan self-timer. Selfie kala itu tidak melibatkan obyek tunggal seperti saat ini, tetapi dalam kelompok besar seperti berfoto dengan teman atau keluarga. Beberapa melakukan ide kreatif, misalnya dengan menggunakan cermin, untuk mendapatkan gambar terbaik dirinya.
Namun dengan teknologi yang kian berkembang, selfie semakin maju hingga tak bisa lagi diprediksi. Gaya yang digunakan semakin beragam baik menggunakan cermin seperti tahun 1800-an, atau membalikkan kamera. Di awal era media sosial, foto dikirim untuk teman atau demi kesenangan semata.
Efek selfie
Menurut pendapat beberapa ahli, selfie ternyata memiliki dampak negatif dan positif. Penelitian di Inggris menyatakan, membagi terlalu banyak foto ke jejaring sosial termasuk fotoselfie, berpotensi memperburuk hubungan atau membuat pengunggah foto kurang disukai.
“Peneliti kami menemukan, seseorang yang secara berkala mem-posting foto miliknya di media sosial berisiko membahayakan hubungannya di kehidupan nyata,” kata pimpinan riset Dr David Houghton. Hal ini menurut Houghton dikarenakan tidak semua orang berhubungan baik dengan orang yang mem-posting foto personalnya.
Beberapa ahli menyatakan, mem-posting foto di jejaring sosial, termasuk foto selfie, bisa memengaruhi karakter dan tingkah laku orang dewasa. Misalnya untuk narsis, yang ditemukan pada beberapa selfie, obyek dalam keadaan bersenang-senang. Meski begitu, peneliti menganggap selfie bisa menimbulkan kesan kesendirian yang amat dalam pada obyek foto.
Bagaimanapun, sejumlah psikolog berpendapat, selfie tak sepenuhnya hanya menguntungkan diri sendiri. Psikolog Peggy Drexler menganggap, selfie bisa menguntungkan banyak orang bila digunakan dengan tepat. Misalnya foto seusai menjalankan kebiasaan hidup sehat dibanding sebelumnya.
Dengan kata lain, orang yang kerap selfie bisa berperan sebagai penyebar pesan positif dan artistik ke populasi yang lebih luas, seperti halnya seorang fotografer. Dengan hal itu pula,selfie dapat dibedakan dari cara pria dan wanita mengambil foto.
Menurut Rutledge, bila dilakukan dengan benar, selfie bisa menjadi cara mengeksplorasi kepercayaan diri. “Saya percaya selfie bisa memberi dukungan pada orang dengan cara berbeda. Pada wanita misalnya, ketika dia merasa terpuruk, selfie membantu mereka melihat keadaan tersebut sebagai sesuatu yang normal, sama halnya pada pria,” ujarnya.
Secara umum Rutledge mengatakan, selfie intinya adalah menciptakan keseimbangan dan membuka pikiran kita untuk mengerti. Menurut Rutledge, ada sisi menguntungkan yang diperoleh bila melakukan selfie dengan benar. Bila merasa lebih baik dengan selfie, tentu hal ini baik untuk memperbaiki kondisi psikologis seseorang.
Sumber :