Pandemi dan Pemerintah Kita yang Kerap Geram



Penyebaran kasus positif Covid-19 di berbagai tempat kian meningkat di awal tahun 2021 ini. Di akhir tahun, kita harus menerima berbagai kabar buruk tentang pandemi ini, seperti kabar bahwa sejumlah Rumah Sakit mulai penuh, pemakaman penuh, hingga tenaga kesehatan pun berguguran. 

Bahkan gugurnya tenaga kesehatan di Indonesia sebanyak 521 jiwa (yang tercatat IDI) selama periode Maret 2020-Desember 2020 menjadi peringkat ke-5 tertinggi di Asia.

Sayangnya, kabar-kabar buruk di akhir tahun itu tidak berakhir seperti yang diharapkan. Bahkan, di awal tahun ini, kita harus bersiap secara mental untuk menerima berbagai kabar buruk yang menyerang. 

Kasus semakin parah, ditambah lagi ketersediaan ruang rawat inap di rumah sakit berkurang, terbukti dari data Bed Ocupancy Rate (BOR) bahkan mencapai 64,10% per tanggal 28 Desember 2020, melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang semestinya 60%. Di beberapa kota data akan kabar buruk pandemi ini terus meningkat tajam.

Dari sekian banyak kabar buruk lainnya, salah satu yang mengancam dan berbahaya adalah munculnya kluster keluarga yang beberapa hari terakhir menjadi sorotan. Tentu saja, masalah ini hadir dari serangkaian upaya pencegahan yang kurang maksimal sejak awal. 

Berdasarkan data dari Kemenkes, selama sepuluh bulan kasus Covid-19, Indonesia baru melakukan testing ke 1,84% penduduknya. Sementara standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), strategi testing dalam melacak penyebaran virus covid-19 ini sekiranya satu tes per 1.000 per minggu.

Munculnya klaster keluarga baru-baru ini kiranya dapat dipahami dengan baik dan serius oleh masyarakat dan pemerintah. Ini juga menjadi tanda bahwa potensi penularan semakin tinggi. 

Dalam situasi genting seperti sekarang, tentu dibutuhkan langkah strategis dan upaya memahami situasi dengan lebih baik. Selain melihat kasus ini dari sudut pandang kesehatan, ada baiknya kita juga dapat melihat pandemi melalui perspektif psikologi.

Sejumlah pengamat serta peneliti telah beberapa kali membahas tentang efek psikologis yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 ini. Termasuk membicarakan perilaku yang kurang disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan, sikap egois individu atau kelompok, yang kemudian belakangan membuat pemerintah menyalahkan masyarakat. Pada akhirnya, pemerintah geram melihat perilaku masyarakat Indonesia hari ini. Bahkan beberapa kali, pemerintah terus-terus menyalahkan masyarakat dan disampaikan sejumlah media. 

Namun dari berbagai kajian yang sejauh ini dipublikasikan, salah satu jurnal tentang Covid-19 yang menarik berjudul “COVID‐19 in context: Why do people die in emergencies? It’s probably not because of collective psychology” Penelitian ini mencoba menjelaskan hal penting yang dapat dipikirkan kembali oleh pemerintah dalam menghadapi kasus Covid-19 di Indonesia. 

Bahwa dari sekian banyak klaim yang menyalahkan perilaku masyarakat, jurnal ini hadir menjelaskan tiga hal yang menjadikan pemerintah patut melakukan hal lebih, yang memang semestinya mereka lakukan.

Para peneliti ini percaya bahwa Covid-19 mesti dipahami dengan tiga poin penting penyebab dari kematian yang akan meningkat. Poin pertama, kurang bereaksi terhadap ancaman. Kita lebih sering meremehkan risiko dan mengabaikan kemungkinan sinyal bahaya. Peneliti mencontohkan seperti halnya yang terjadi saat kejadian 9/11 di dalam World Trade Center, beberapa orang melihat benda-benda jatuh dari langit di luar awalnya tidak mengenalinya sebagai potongan pesawat yang menabrak gedung mereka. 

Kelambatan untuk memahami ancaman mengakibatkan penundaan langkah untuk segera melarikan diri. Beberapa orang bahkan meluangkan waktu untuk mematikan komputer mereka sebelum mereka berusaha meninggalkan gedung. Di Indonesia, kita tentu masih ingat bagaimana reaksi awal pemerintah ketika kasus Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi di tingkat global. Barangkali lebih buruk dari orang-orang sempat mematikan komputer saat kejadian 9/11.

Poin kedua, keadaan darurat bersifat sistemik. Peneliti mencontohkan kebakaran yang terjadi di Menara Grenfell, kebakaran terburuk di Inggris sejak perang dunia kedua. Bagi kelompok masyarakat yang memiliki sumber daya lebih, mereka mendapat perawatan selayaknya. Sedang yang miskin, perawatan yang diterima akan lebih buruk. Di Indonesia, jauh sebelum Covid-19, kita kerap mendengar kabar orang miskin bermasalah dengan urusan adminstrasi rumah sakit atau biaya pengobatan yang begitu mahal. 

Tanpa peran pemerintah, masalah ini tidak akan teratasi dengan baik. Sekiranya, masyarakat Indonesia bisa mendapat jaminan kesehatan sebaik yang dilakukan Denmark, Kanada, Jepang, dan Cile. Dalam kasus Covid-19 sendiri, kondisi ini jelas bersifat sistemik. Bagi keluarga yang pendapatannya kurang memadai atau para buruh yang harus bekerja untuk biaya hidup sehari-hari, kebijakan lockdown tentu saja merugikan. Sementara pemerintah tidak melakukan kebijakan yang memecah masalah ini, bahkan bantuan sosial pun harus menjadi santapan koruptor.

Poin ketiga, mengapa keadaan darurat sering berakhir begitu buruk adalah mismanagement. Misalnya saja, dalam suatu ruangan terjadi kebakaran. Pintu darurat terkunci, jendela ditutup, dan tidak ada rambu evakuasi. Maka, kematian yang terjadi bukan akibat orang-orang yang berkumpul atau berada dalam ruangan tersebut, melainkan manajemen ruangan yang kurang baik dan dapat dituntut sebagai pengabaian undang-undang bangunan. 

Dalam kasus Covid-19 sendiri, meminta masyarakat untuk menjaga diri sendiri dengan mengikuti protokol kesehatan tak ubahnya memasukkan mereka ke dalam ruangan kebakaran dengan pintu darurat dan jendela yang terkunci. Tanpa ada usaha untuk mengatur komunikasi yang lebih baik dan menyusun sistem penangan yang lebih serius, jumlah korban akan terus meningkat.

Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah populasi yang terbesar di dunia. Dalam konsep evakuasi massal, semakin besar kelompoknya, semakin lambat jalan keluarnya. Sekiranya, pemerintah mulai serius menghadapi kasus ini sebelum semua terlambat. Para peneliti tentu telah memberi banyak saran dan rekomendasi untuk pemerintah, kecuali hasil temuan peneliti terabaikan begitu saja. 

Salah satu cuitan Neil deGrasse Tyson di twitter seperti ini, “You know it’s true…Every disaster movie begins with a scientist being ignored.” Semoga saja Indonesia bukan “disaster movie” yang dimaksud beliau. Pun jika itu terjadi, pemerintah Indonesia layak mendapat Oscar di masa mendatang.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel