Mewaspadai Kebijakan Sekolah Tatap Muka



Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengumumkan kebijakan barunya yang mengizinkan sekolah tatap muka mulai Januari 2021. Melalui konferensi pers digital, Nadiem menjelaskan beberapa hal penting, terkhusus tentang syarat yang mesti disiapkan untuk sekolah tatap muka.

Di tengah pandemi Covid-19 yang masih berkecamuk, langkah tersebut patut diwaspadai. Dalam panduan penyelenggaraan pembelajaran yang disampaikan, dimuat pula sejumlah alasan mengapa sekolah tatap muka harus lekas dilaksanakan. 

Tiga alasan utama yang menjadi pembahasan dalam panduan tersebut diantaranya, menghindari ancaman putus sekolah, menghindari kendala tumbuh kembang, serta tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga hal tersebut bukan tanpa alasan, masalah itu memang kerap kali mencuat dan beberapa kali menyita perhatian kita. Namun, pertanyaan yang kemudian akan mencuat adalah, apakah keputusan sekolah tatap muka adalah langkah yang tepat?

Berdasarkan data dari UNESCO, lebih dari satu miliar peserta didik di dunia harus menerima dampak dari penutupan sekolah-sekolah di berbagai negara. Artinya, sekitar 60,5 persen pelajar harus merasakan dampak dari pandemi.

Sementara langkah untuk kembali mengadakan sekolah tatap muka sebenarnya sudah ditempuh beberapa negara, misalnya saja Korea Selatan, Hong Kong, Jepang, Amerika Serikat, Prancis, dan beberapa negara lainnya. Meski telah menerapkan aturan protokol kesehatan yang ketat, proses penyebaran virus sulit untuk diatasi. Buktinya, lonjakan kasus terjadi bahkan kian parah dari sebelumnya.

Di Prancis misalkan, saat lebih dari 12 juta siswa kembali ke sekolah, Kementerian Kesehatan Prancis melansir bahwa lebih dari 7.000 kasus infeksi virus corona baru dalam 24 jam, untuk kedua kalinya dalam dua hari. Lonjakan itu bahkan melebihi tingginya penyebaran di negara eropa lainnya. Di Korea Selatan pun demikian, pemerintah langsung menutup 200 sekolah setelah terjadi penyebaran virus corona.

Belum lama ini, Amerika Serikat pun mengalami hal serupa setelah beberapa negara bagian membuka sekolah. Institut kesehatan Universitas Washington bahkan memprediksikan perihal jumlah korban meninggal akibat Covid-19 di AS akan menyentuh angka 410.000 hingga akhir tahun ini. Dari sejumlah negara yang terpaksa menutup kembali sekolahnya, semua bermula dari jumlah kepadatan penduduk dan kepatuhan protokol kesehatan.

Di Indonesia, untuk masalah jumlah kepadatan penduduk, tidak diragukan lagi hal ini akan menjadi tantangan tersendiri. Sedangkan tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) selama sepekan terakhir ini terbilang cukup baik. Sebanyak 91,98% responden menyatakan sering atau selalu memakai masker demi mencegah virus corona Covid-19. Survei tersebut dilakukan selama sepekan pada 7-14 September 2020 terhadap 90.967 responden.

Akan tetapi, kita tak dapat bergantung pada hasil survei tersebut. Pasalnya, kepadatan yang ada di Indonesia terbilang sangat tinggi. Lingkungan sekolah amatlah berpeluang untuk menjadi sumber penyebaran virus corona baru. Ditambah lagi, pemerintah kurang memberi perhatian pada kondisi psikologis siswa yang nantinya akan kembali ke sekolah.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jaime Brown beserta koleganya di Ontario, Kanada, menemukan bahwa kondisi psikologis anak dan remaja ikut berdampak buruk selama masa karantina. Mulai dari kecemasan, kebosanan, kemarahan, dan kesulitan untuk menerima situasi yang tidak pasti.

Penelitian yang dilakukan Jaime Brown berlanjut hingga melihat kemungkinan upaya yang dapat dilakukan sebelum kembali ke sekolah. Bersama tim penelitinya, dia kemudian menganjurkan penerapan dukungan sosial bagi para siswa yang akan masuk ke sekolah. Membuat asesmen dan melihat kebutuhan psikologis setiap siswa yang ada.  Selama menjalani masa karantina, tiga alasan yang disebutkan di awal kiranya dapat dipetakan dan diberi jalan keluar.

Tentu saja saat sekolah kembali di buka para siswa dituntut untuk mampu beradaptasi dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi hal sulit tersendiri. Tidak semua siswa mampu untuk memahami situasi yang terjadi. Kepadatan siswa di tiap sekolah juga patut untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

Selagi vaksin belum ditemukan, langkah ini kiranya sebentuk eksperimen yang dilakukan pihak pemerintah. Tapi sayangnya, ini menyimpan risiko yang terbilang tinggi. Diperparah lagi, pemerintah tidak mengupayakan evaluasi menyeluruh atas strategi yang dilakukan selama proses belajar di rumah. Keputusan untuk tatap muka, seperti upaya penyelamatan diri pihak terkait semata. Terlebih lagi kebijakan dikembalikan ke Pemerintah Daerah (PEMDA) masing-masing, yang dapat dibayangkan, bila terjadi kasus peningkatan virus, jelas siapa yang disalahkan.

Sebab itu, langkah ini terkesan terburu-buru dan bukan solusi yang tepat. Sudah saatnya kita belajar dari langkah negara yang sama dan tak perlu mengulangi kesalahan mereka. Apakah tak ada lagi proses evaluasi serta strategi untuk mengatasi masalah yang kerap terjadi selama proses belajar dari rumah?

Memikirkan strategi yang tepat selama proses belajar dari rumah tentu tidak mudah, tapi peran pemerintah, terkhusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah sepantasnya untuk bekerja dan mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam memecahkan situasi pelik ini. Dibanding harus bertaruh nyawa sekian banyak jumlah siswa yang akan kembali ke sekolah atau malah mendekati peluang terjangkit virus corona.

Hari ini, jumlah kasus di Indonesia masih terbilang tinggi. Tanpa kewaspadaan dan kebijakan yang matang, kita akan benar-benar menghadapi dua pilihan, antara melawan virus corona dan kebijakan pemerintah yang tak kalah menakutkannya. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel