Konseptualisasi Harapan (Hope) Menurut Snyder



Setelah penelitian tentang harapan berkembang, para peneliti kemudian mengkaji lebih dalam tentang harapan. Berbagai konsep pun ditemukan dan salah satunya dikemukakan oleh Snyder. 


Konseptualisasi tentang hope atau harapan menurut Snyder dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kategori berbasis kognisi dan berbasis emosi. Namun pada akhirnya kita bisa melihat gabungan antara kognisi dan emosi.


Hope: Berbasis Emosi


Beberapa peneliti telah menempatkan 4 model hope berbasis emosi yang di dalamnya memasukkan komponen kognitif. 


Misalnya Averill, Catlin & Cohn mendeskripsikan teori emosi mereka sebagai sebuah emosi yang dikendalikan oleh kognisi. Para peneliti melihat hope sebagai hal yang layak untuk diraih apabila tujuan-tujuannya; a) secara beralasan mampu untuk diraih; b) di bawah kontrol, c) dipandang penting oleh individu; d) dapat diterima oleh sosial dan moral. 


Diderivasi dari latarbelakang konstruksionis-sosial, teori ini bersandar pada norma dan nilai sosial di masyarakat dalam mendefinisikan makna yang benar dalam sebuah harapan. Karena itu Averill, dkk percaya bahwa harapan hanya dapat dipahami dalam konteks sosial-dan budaya.


Mowrer’s di sisi lain lebih memandang hope dari sudut pandang perilaku, dengan hope sebagai sebuah bentuk afektif dari pengukuhan skunder. Dalam penelitiannya terhadap binatang Mowrer’s mencatat bahwa ketika bekerja dalam sebuah paaradigma stimulus-respon, emosi harapan akan muncul pada subjek ketika sebuah stimulus diasosiasikan dengan sesuatu yang terjadi secara menyenangkan. 


Pada saat bahan afektif ini muncul, para binatang terlihat mengantisipasi terjadinya kondisi yang menyenangkan sebagaimana terlihat dari meningkatnya aktivitas. Dengan demikian, hope meneruskan perilaku yang diinginkan dengan cara menyumbangkan pengukuhan terhadap stimulus aslinya. Bertolak  belakang dengan pandangan Mowrer’s, Marcel lebih memandang hope sebagai perasaan yang hadir ketika individu menghadapi kondisi yang tampaknya akan mengarah pada keputusasaan.


Hope : Berbasis Kognisi


 Hope sebagai sebuah kognisi lebih banyak memperoleh perhatian dalam penelitian dibandingkan dengan hope sebagai emosi. Erikson misalnya menyatakan bahwa hope merupakan elemen perkembangan kognisi yang sehat. Hope didefinisikannya sebagai “the enduring belief in the attainability of fervent wishes, in spite of the dark urges and rages which mark the beginning of existence”. Dengan demikian hope merupakan sebuah pikiran atau keyakinan yang membolehkan individu untuk terus bergerak kearah tujuan-tujuan. Erikson menempatkan hope dalam konteks perkembangan. Konflik-konflik perkembangan yang muncul secara internal itu disebabkan oleh adanya harapan. 


Breznitzs juga menempatkan harapan secara kognitif-hope relates to a description of a cognitive state. Ia menyatakan agar sebuah harapan mempengaruhi individu maka harapan tersebut harus cukup kuat dan persisten untuk menyebabkan respon fisiologis. 


Peneliti lain lebih menekankan pada bagaimana perspektif dan harapan terlibat dalam pengharapan. Ia mengkonsepkan harapan sebagai sebuah ekspektasi yang lebih besar daripada nol dalam meraih tujuan. Dengan meminjam latarbelakangnya dari teori psikologi sosial dan skema kognitif, Stotland menambahkan bahwa tingkat harapan ditentukan oleh persepsi terhadap kemungkinan peraihan tujuan dan pentingnya tujuan itu sendiri. Jika level kepentingannya cukup dekat dengan tujuan tertentu maka hope akan ‘menyala’ yang diperantarai oleh keinginan dan tindakan aktual ke arah tujuan.


Hope : Emosi-Kognisi



Snyder dkk, mengemukakan tentang teori hope yang memadukan emosi-kognisi. Meskipun teori ini dasarnya adalah kognisi namun melibatkan pula emosi. Teori ini mendefinisikan hope sebagai berpikir untuk meraih tujuan, dimana invidu mempersepsikan bahwa ia mampu untuk menghasilkan rute-rute berpikir ke arah tujuan yang diinginkan (pathways thinking), serta menghasilkan motivasi yang diperlukan untuk menggunakan rute-rute tersebut (agency thinking).


Jalur-jalur pemikiran merefleksikan produksi aktual dari rute-rute alternatif ketika terhalangi, sebagaimana percakapan-diri positif untuk dapat mencapai rute-rute tujuan yang diharapkan, misalnya dengan kalimat “aku akan memperoleh cara untuk memecahkan masalah ini”. 


Sedangkan agency thinking merupakan komponen motivasional dari teori harapan. Orang dengan harapan tinggi menyepakati frase percakapan-diri, misalnya dengan pernyataan “aku tidak akan menyerah”. Agency thingking tersebut penting khususnya dalam memotivasi jalur yang memadai saat jalur tersebut dihadapkan pada rintangan. Dapat disimpulkan bahwa teori harapan dapat mendorong umpan balik mekanisme emosi yang mengatur kesuksesan individu dalam meraih tujuan.


Singkatnya, dapat dilihat bahwa teori harapan memiliki kedua umpan-maju dan mekanisme emosi sebagai sarat umpan balik yang memodulasi keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian kognisi dan emosi bekerja bahu-membahu dalam teori harapan untuk membantu orang mengejar tujuan yang didambakan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel