Melihat Pandemi dari Karya Sastra




Pada akhir abad ke-14, Wabah Hitam atau Black Death menjadi pandemi luar biasa yang pertama kali melanda Eropa. Pandemi itu bahkan membunuh seperti hingga dua pertiga populasi Eropa. Dampak dari pandemi itu sungguh dahsyat. Black Death pun mampu mengubah struktur sosial di Eropa.

Wabah ini mengakibatkan perburuan dan pembunuhan terhadap kaum minoritas seperti Yahudi, pendatang, pengemis, serta penderita lepra. Berbagai kondisi dan ketidakpastian itu pun diabadikan oleh seorang penulis Italia bernama Giovanni Boccaccio dalam karyanya yang berjudul, The Decameron.

Novel itu ditulis setelah epidemi pada tahun 1348, dan selesai di tahun1353. Karya ini bahkan disebut sebagai karya terbesar dari prosa klasik awal Italia.

Dalam novel yang ditulis Giovanni Boccacio, dia mampu menggambarkan keadaan abad pertengahan di Eropa pada masa itu dengan jelas. Masa ketika orang-orang berusaha untuk menyelamatkan diri hingga nyaris kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Ketakutan disertai cemas berlebih membuat manusia kehilangan akal sehatnya.

Giovanni Boccacio dalam karyanya itu menceritakan tentang tujuh orang wanita dan tiga orang pria, mereka melarikan diri dari Florence yang dilanda wabah pada tahun 1348. Pada masa pelarian itu, mereka menghabiskan waktu dengan saling bertukar cerita, satu orang satu cerita. Ada 10 cerita setiap hari dan berlangsung selama dua minggu; hingga total cerita ada sebanyak 100 cerita.

Konsep yang digunakan Giovanni Boccaccio mirip yang digunakan dalam buku Kisah Seribu Satu Malam. Melalui bingkai 100 cerita itulah, penulis dengan baik menceritakan masa-masa yang berat selama masa itu. Namun dengan caranya yang jenaka, pembaca akan terbawa dengan cerita-cerita menarik di dalamnya. Berbeda dengan Kisah Seribu Satu Malam, kisah-kisah yang ada di dalamnya lebih menggambarkan realisme sosial yang terjadi di Italia tanpa ada unsur magis.  

Bila berbicara tentang pandemi, karya ini memperlihatkan usaha manusia itu menghindar dan terus mencari cara untuk tetap menjaga kewarasannya. Pampinea, seorang tokoh utama dalam The Decameron, memilih berkumpul dan bertukar cerita di atas bukit sebuah pedesaan sampai lupa dengan situasi pandemi yang sebenarnya.

Cerita-cerita yang terbingkai di dalam novel ini sepertinya jadi tali yang menghubungkan berbagai perilaku pada masa itu. Meski demikian, berbagai cerita di dalamnya tetap menyimpan pesan yang dapat kita pelajari di masa sekarang. Secara umum, kita akan menemukan tema-tema menarik tentang kemanusian, identitas, agama, sosial budaya hingga politik.

Selain Giovanni Boccaccio, kita juga bisa menikmati karya Albert Camus yang berjudul La Peste (Sampar). Berbeda dengan karya Giovanni, Camus lebih memperlihatkan absurditas manusia dalam karyanya.

Salah satu kekuatan penting dari karya Camus adalah kemampuannya dalam memperlihatkan berbagai karakter manusia dalam menghadapi pandemi. Seperti halnya yang terjadi di masa pandemi covid-19 ini, ada yang mengambil keuntungan dengan menjual masker, ada yang terjerat himpitan ekonomi akibat phk, dan tentu saja ada beberapa golongan yang mampu baik-baik saja di situasi ini.

Berbeda dengan sikap Giovanni Boccacio, Camus lebih menyiratkan usaha untuk menghadapi masalah itu. Seperti yang tersirat dalam karakter dokter Rieux. Dengan berlandas kemanusian, dia mencoba untuk berjuang keras menghadapi sampar.

Pandemi dan Pilihan Kita

Lalu, bagaimana kita menyikapi pandemi hari ini?

Dalam dua karya besar ini, baik Giovanni Boccacio maupun Albert Camus, manusia digambarkan menyimpan ketakutan besar terhadap kematian beserta hal-hal yang tak pasti. Kita bisa mencoba untuk menertawakan diri atau memilih berjuang untuk melawan.

Melihat pandemi dari karya sastra setidaknya membuat kita bisa mengerti pola pikir dan perilaku manusia yang sebenarnya. Bahkan meski terpisah jarak yang cukup jauh antara karya Camus dan Coccacio, pola antara kepanikan, ketakutan, dan egoisme itu tetap saja terlihat jelas. Tentu kita pun sepakat bila hari ini, hal-hal yang ada di dalam karya sastra tersebut masih dengan mudah kita temukan.

Sekiranya bila tidak ingin terperangkap pada kondisi buruk seperti dulu, kita mesti paham jika pandemi tidak akan teratasi tanpa adanya perlawanan kolektif. Memilih untuk melawan secara kolektif dapat menjadi pilihan di masa-masa pandemi ini.

Bila belajar dari karya sastra di atas, kita akan paham bila manusia memiliki ego yang begitu kuat. Peluang manusia untuk mementingkan diri sendiri dan tak peduli dengan orang sekitarnya sangatlah besar. Bila terus menerus berpijak pada pola pikir demikian, kita sepertinya tak belajar banyak dari peristiwa sejarah maupun sastra.

Melewati masa sulit dengan menyelamatkan diri sendiri hanya memperparah situasi. Pilihan itu sama saja dengan membunuh nilai-nilai kemanusian kita. Sementara pada masa pandemi ini, hal terbaik yang dapat kita pelajari adalah menguji empati dan keberpihakan kita pada orang-orang yang memang membutuhkan.

Membantu sesama dengan menggalang donasi, menyediakan sembako bagi orang-orang yang membutuhkan, saling memberikan dukungan sosial kepada sesama akan menjadi harapan kita untuk melihat situasi ini jadi lebih baik. Indonesia tentu saja negara yang menjunjung nilai-nilai kemanusian dan gotong royong. 

Masa pandemi ini sekiranya dapat menjadi kesempatan untuk membuktikan, sejauh mana nilai tersebut masih kita pegang teguh. Atau barangkali, kita akan sadar jika hal tersebut telah tergerus bahkan hilang sama sekali.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel