Saat Pikiran Kita Kemana-mana dan Corona Masih Dimana-mana




Berada di dalam rumah dalam waktu yang tak ditentukan jelas meresahkan. Beberapa di antara kita bahkan mulai mengeluh dan mengutuk apa saja. Beberapa orang merasakan hal sebaliknya, ingin di rumah tapi tuntutan pekerjaan memaksa harus keluar rumah. Sekarang pikiran kita kemana-mana.


Beberapa waktu lalu, saya memikirkan sebuah pesan Kurt Vonnegut dalam bukunya yang berjudul Fates Worse than Death. Dalam sebuah kesempatan, Kurt mengatakan “Keputusasaan adalah ibu dari kesejatian” Saya tak tahu apa yang dia maksud Kurt Vonnegut dengan kalimat itu. Namun mengingat situasi hari ini, saya merasa apa yang disampaikan Kurt ada benarnya.

Sejak lama saya mengidam-idamkan menjadi pribadi yang tak mengenal putus asa. Tapi di lain waktu, saya merasa begitu berbakat untuk mudah menyerah dan menyalahkan banyak hal di sekitar saya.

Dan sekarang, menghadapi wabah pandemi Corona (Covid-19) ini, tak ada jalan selain putus asa. Mungkin ini cara saya untuk memaknai pesan dari Kurt Vonnegut. Walau pun saya tak mengerti sepenuhnya dengan semua yang akan terjadi. Kecuali, Corona masih dimana-mana.

Baiklah, biar semua ini menjadi lebih sederhana. Berada di rumah jelas membuat kita merasa terbatas untuk melakukan beberapa hal. Tapi Corona telah memberi dampak baik dan buruk bagi kehidupan kita. Lapisan Ozon konon tertutup akibat usaha manusia di berbagai belahan dunia yang terpaksa berdiam diri atau beristirahat untuk tidak mengeluarkan polusi seperti biasa.

***

Pesan Kurt itu sebenarnya adalah esai yang dia buat untuk antologi dari karya beberapa orang yang berada di lembaga penanganan kesehatan mental. Sebuah refleksi atas tanggapan Kurt melihat mental itu sendiri. Atau lebih tepatnya, memikirkan manusia yang terasing.

Sebelum Kurt mengatakan pesan itu, dia sempat berbicara tentang kebebasan. Dia mengutip seorang penyair bernama, Kris Kristofferson: "Kebebasan hanyalah kata lain dari ‘tak ada yang tersisa untuk kehilangan’."

Kita yang kini berada di masa ketidakpastian akibat Corona barangkali bisa merenungi kebebasan kita masing-masing. Bahwa ada banyak kehilangan yang menanti dan itu pertanda jikalau kita tak pernah mampu menikmati kebebasan. Bahkan terbebas dari Corona sekali pun.

Kemarin, saya harus memperhatikan dua orang kawan saya berdebat di grup whatsapp. Mereka memperdebatkan apakah Corona adalah konspirasi atau bukan? Pikiran kita jelas kemana-mana.

Saya lalu membaca beberapa jurnal penelitian psikologi, mengapa kita bisa percaya dengan konspirasi? Karen M. Douglas dari University of Kent menjelaskan tiga alasan utama di jurnalnya yang berjudul The Psychology of Conspiracy Theories.

Ada tiga alasan utama, yaitu kebutuhan akan pemahaman dan konsistensi (epistemik),  kebutuhan akan kontrol (eksistensial), dan kebutuhan untuk memiliki atau merasa spesial (sosial). Hal baik yang saya temukan dari kawan saya yang percaya jika wabah Corona ini adalah konspirasi, dia merasa lebih tenang secara psikis. Dia merasa memiliki kontrol-salah satu alasan untuk percaya konspirasi-di tengah situasi yang tidak pasti seperti sekarang.

Kawan saya yang satunya, terlihat lebih waspada, penuh perhitungan. Meminta data dan argumen untuk menjelaskan klaim dari kawan satunya. Dan seperti itulah, Corona membuat pikiran kita kemana-mana.

Semakin mencari, kita mungkin merasa mulai dekat dengan putus asa. Sudah menjadi hal yang wajar kita menjadi cemas, saat berada di situasi genting dan tak menemukan harapan sedikit pun. Seperti itulah yang terjadi pada saya. Pasrah mungkin bukan kata yang begitu tepat, sebab putus asa tidak lahir begitu saja.

Ada usaha yang dilalui dan proses yang sulit diterjemahkan. Jika saja Kurt Vonnegut benar adanya, kesejatian itu bukanlah sesuatu yang selama ini kita pikirkan. Bahwa manusia yang hendak mencari sesuatu, pada akhirnya mesti jujur untuk menerima segala hal yang dilalui.

Corona hari ini masih ada dimana-mana. Kita cemas, wajar saja. Namun, seberapa jauh lagi langkah kita sebelum mencapai putus asa? Mengharap pemerintah menolong orang-orang yang mesti terkena dampak Corona sepertinya sulit. Kesadaran sosial pun terasa belum sepenuhnya bekerja. Manusia benar-benar akan merasakan keterasingan.

Namun, manusia yang sejati, sepertinya adalah mereka yang berani untuk bertaruh dan jujur menerima hasil yang dicapai. Dan kehadiran Corona, sepertinya tengah menggiring kita untuk melihat seberapa sejati sosok manusia di muka bumi ini.

Dan perlahan, kita akan mulai memahami bagaimana makna putus asa yang sebenarnya. Lalu, sampai kapan wabah Corona menyerang kita? Barangkali Corona ingin membantu manusia menerjemahkan pesan Kris Kristofferson di atas. Dan semua ini bukanlah tentang pesan dari Kurt Vonnegut, melainkan Corona itu sendiri.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel