Seni Belajar Bersyukur



Bersyukur adalah seni berpikir, atau dalam istilahnya, thanking is thinking. Tentu saja, karena bagaimana mungkin seseorang bersyukur tanpa mengetahui atas yang disyukurinya? Sejatinya, dalam bersyukur kita melibatkan diri kita dalam sebuah proses berpikir. Menyadari bahwa sesuatu terjadi dan mengakui bahwa kejadian tersebut hadir karena sebuah sebab.

Setiap pagi kita bangun dari tempat tidur, lalu mungkin menyiapkan sarapan atau mandi dan beraktivitas. Namun, sebagaimana biasanya rutinitas bekerja, ia mengalir dan membuat kita terbiasa secara perilaku, lalu merasa biasa secara emosional, dan menerima segalanya sebagaimana adanya (taken for granted). Kita bangun di pagi hari tanpa menyadari bahwa kita “hadir” di dunia ini. Sarapan yang kita santap, air yang mengalir, pakaian yang kita kenakan, dan berderet hal lainnya, bukankah itu semua tidak mungkin hadir begitu saja. Si petani dan tukang kebun yang menanam dan merawat padi  dan sayur-mayur agar bisa dikonsumsi, pegawai PDAM yang memastikan air mengalir, si buruh pabrik yang menjahit pakaian kita, hingga mungkin kesempatan hidup yang Tuhan berikan, adalah sederat hal yang patut disadari agar kita mampu bersyukur. Itu baru di awal, bagaimana saat kita telah keluar dan berinteraksi secara interpersonal dengan orang lain?

Memang, ada banyak tantangan dan kesulitan dalam keseharian, namun kebaikan sebenarnya bertebaran bahkan jauh lebih banyak. Hanya saja mungkin kita tidak menyadarinya, karena kita sedikit tidak memikirkannya saja. Perhatikan saja, ketika kita bersyukur, kita akan lebih mudah mengapresiasi berbagai hal dalam hidup, juga akan lebih mudah menolong orang lain. Hal tersebut juga telah dikaji dalam penelitian [1], bahwa syukur membuat seseorang termotivasi dalam melakukan perilaku prososial. Boleh dikata bahwa bersyukur itu dapat membuat sebuah rantai kebaikan dalam lingkungan sosial.   

Bahkan bersyukur dapat menjadikan kita lebih lebih produktif dan kreatif. Saat kita bersyukur, maka akan hadir rasa ketenangan dan kedamaian, otak akan menghasilkan serotonin, endofin dan dopamin, yang akan mengaktifkan pikiran-pikiran kreatif. Kreatif disini bukan sekedar menjadi lebih kreatif dalam menghasilkan produk atau menemukan metode belajar menyenangkan. Bahkan kita akan lebih kreatif dalam menolong sesama. Dengan memperhatikan beberapa hal ini, wajar saja jika Diener berkata bahwa kebahagiaan adalah sebuah proses dan bukanlah destinasi tujuan.

Ada cara menyenangkan yang bisa kamu coba aplikasikan langsung mengenai latihan syukur, yakni Jurnal Syukur. Setiap malam, menjelang beristirahat tuliskanlah hal-hal yang kamu syukuri di hari itu. Kamu bisa membuat dengan metode daftar singkat seperti poin-poin yang lebih sederhana, atau membuat narasi atas kejadian atau pengalaman tersebut. Hal ini bisa saja terlihat sederhana, namun sebenarnya berdampak cukup besar. Dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal American Psychological Association[2], menuliskan hal-hal yang disyukuri setiap harinya dapat memberikan seseorang pandangan yang lebih positif dalam hidupnya. Lebih optimis melihat hari-hari yang akan mereka jalani kedepan, memiliki intensitas perilaku menolong yang lebih tinggi, dan menjalani hidup yang lebih sehat (dalam hal ini meningkatnya latihan olahraga harian). Selamat mencoba!


Penelitian Terkait

[2] Emmons, R.A., & McCullough , M.E. (2003). Counting blessing versus burdens: An experimental investogation of gratitude and subjective well-being in daily live. Journal of Personality and Social Psychology, American Psychology Association, 84, 2, 377-389.  

[1] Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (Eds.). (2004). The psychology of gratitude. New York: Oxford University Press.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel